"Halo, Pak, bisa masuk ke stasiun?"
"Enggak bisa yah?"
"Yaudah cancel aja deh pak."
Kalau tidak salah ini sudah ke tiga kalinya dia membatalkan, dan alasannya masih sama karena taxi online tidak bisa memasuki stasiun. Sedangkan kondisi sedang hujan deras jadi, tidak mungkin kami harus jalan keluar stasiun. Mau pesan taxi konvensional uang kami tak cukup. Memang nasib sedang sial.
"Duduk sini deh, kita tungguin aja sampe hujanya agak reda," saranku padanya. Dengan wajah yang sudah sangat kusut, dia memilih mengalah dan duduk di sampingku.
"Nih, minum dulu kopinya. Udah nggak panas kok."
"Thanks yah Ken." Aku hanya mengangguk malas.
Jika dalam kondisi normal aku pasti sudah memukul pundaknya dengan keras, bisa-bisanya dia masih saja memanggilku dengan Ken.
"Heem, kopi dan hujan so swet yah, tapi sayangnya situasinya lagi nggak oke."
"Heem iya."
"Cuman heem doang?"
"Terus apa dong, Ayesha?"
"Ih, biasa aja dong nggak usah ngegas juga, Ken."
Sepertinya mood tuan putri sedang sangat jelek. Lebih baik aku diam, dan kembali menikmati kopi yang mulai habis. Ayesha juga sudah sibuk dengan smartphonenya. Kulirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul 21.00 wib, entah harus berapa lama lagi kami menungu di stasiun.
"Anjiir, kenapa pake mati sih hpnya," umpatan kekesalan keluar dari bibir manisnya.
"Eh, mulutnya Ay."
"Sorry-sorry, keceplosan pinjam hp, Ken buat pesen Grab."
"Nih, lagian sampe jelek juga itu abang grab nggak bakal bisa jemput disini."
"Sssstt diem"
Ayesha, seorang tuan putri yang takut sekali dengan air hujan. Tapi, dia selalu suka suasana hujan. Bahkan dengan pedenya dia menyebut dirinya seorang pluviophile. Padahal, kenyataannya terkena satu tetes hujan saja bisa membuatnya demam keesokan harinya.
"Halo, iya Mas, gimana bisa jemput kedalam? Please Mas?"
"Iya Mas, nggak apa-apa pake payung."
"Iya, nggak saya matikan telfonnya. Saya pake gamis warna pink pasminah hitam. Iya Mas, yang lagi berdiri, Mas, saya disini!" Berakhirlah obrolan panjang bersama Mas Grab.
Seorang laki-laki dengan rambut acak-acakan tapi terlihat keren, kaos hitam yang pas di tubuhnya yang tinggi besar, dipadukan celana jeans tiga perempat dan jangan lupakan kulit coklat khas laki-laki asia tidak terlalu putih tidak juga terlalu gelap. Dia berjalan kearah kami dengan memegang dua payung. Satu di tangan kanannya yang tidak dipakai, dan payung lainnya di tangan kiri sedang ia gunakan.
"Mbak Kenisha, yah?" Tanyanya pada Ayesha.
"Iya, Mas," jawab Ayesha cepat. Sepertinya dia tak mau terlalu lama mengenalkan bahwa aku lah Kenisha.
"Mas, payungnya cuman satu?" tanyaku.
"Oh, maaf mbak, saya kira cuman satu orang saja"
"Ken, kamu berdua sama Masnya yah? Aku kan nggak bisa kalau harus berdua, nanti aku kena air hujan. Kamu tahu sendiri kan?"
"Eh, aku tunggu sini aja. Gantian kan bisa."
"Terlalu lama Kenisha, ini sudah malam. Bisa-bisa kita dikunciin ibu kos." tanpa menungu aku menolak lagi, Ayesha telah berlalu meningalkanku dan driver grab.
"Mbak aja yang pakai payungnya, biar saya hujan-hujanan." Oh tidak, aku tidak setega itu. Dia sudah baik mau menjemput aku dan Ayesha.
"Nggak apa-apa Mas, ayok berdua. Paling enggak, kita nggak terlalu basah, kasihan mobilnya nanti."
"Ooh, kasian mobilnya yah, Mbak Ken?" ucapnya terdengar jahil, dengan senyum yang menampakkan giginya yang putih dan rapi. Senyum yang manis bahkan ada dua lesung pipit di sana.
"Astaghfirullah," ucapku dalam hati.
"Ayok Mas, kasian temen saya dia nggak kuat lama-lama kena hujan."
Kami bergegas menuju mobil bahkan sedikit berlari agar bisa menyusul Ayesha yang lebih dulu dari kami. Jika, ini adalah adegan romantis seperti yang sering ditulis Ayesha dinovel-novelnya. Mungkin, setelah ini kami akan memiliki takdir untuk bertemu kembali. Oh, tidak aku tak boleh berpikir bahwa akan ada pertemuan selanjutnya. Tapi, kenapa dengan jantung ini yang seakan berpacu lebih cepat dari biasanya. Bukan, ini bukan cinta. Aku hanya sedikit malu, tapi kenapa harus malu hanya berdekatan dengan laki-laki? bukankah aku juga sering bersama kawan-kawanku yang dominan laki-laki karena hobiku. Tiba-tiba tangannya menarik tangan kananku.
"Hati-hati Mbak Ken, lubang." Baru kali ini aku tak marah seseorang memanggilku dengan Ken. Aku mengangguk dan menunduk pura-pura memperhatikan jalan, padahal kenyatannya aku sedang menyembunyikan rona merah yang dengan seenaknya saja muncul di pipiku.
"Red cherries," ucapnya pelan, tapi aku masih mendengar. Oh my god, jangan sampai dia melihat pipiku yang bersemu merah. Ooh malunya aku. Aku segera berlari menuju Ayesha tanpa peduli dengan bajuku yang basah karena hujan. Ayesha sudah berdiri disamping honda brio merah, kemungkinan itu mobilnya. Terdengar suara alarm mobil, tanda mobil sudah tak dikunci. Ayesha buru-buru masuk.
"Kamu depan, temani Masnya ngobrol. Lumayan loh, masih mudah lagi. Siapa tahu jodoh sama kamu," ucapnya. Setelah itu menutup pintu belakang. Dengan dongkol aku membuka pintu depan dan duduk. Enak saja dia mendoakan aku berjodoh dengan Mas grab. Mentang-mentang dia sudah ada yang melamar dan sebentar lagi menikah. Apalah aku yang masih terjebak dengan masalalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ken & Ken
ChickLitKenisha Si gadis cerdas, sopan, dan sederhana. Hidupnya yang terlihat begitu sempurna nyatanya, tak sesempurna itu. Luka yang bahkan belum mampu ia sembuhkan sampai detik ini menjadikannya wanita yang amat kesepian. tapi, tak ada yang tahu bahwa dir...