Mandala membuka mata saat indera penciumannya membaui aroma harum dari luar kamar. Dia melihat ke sekelilingnya, bingung dengan posisi selimut yang menutupi tubuhnya serta sosok Mandira yang tidak berada di dekatnya.
Mungkin sama Ibu, pikirnya sambil menguncir asal rambutnya lalu mencoba beranjak ... dan terhuyung. Sambil mendesis, Mandala memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Bukan hanya kepala, tetapi penglihatannya menjadi buram. Hidungnya pun terasa penuh sehingga dengan menguap saja, Mandala tahu suaranya menjadi sengau.
"Nyanyanyah! Nyah!"
Suara Mandira yang begitu bersemangat membuat Mandala tidak sabar untuk ikut berkumpul ke ruang tamu. Dia ingin menyapa Ibu lalu memeluk putrinya.
"Iya, betul. Kalo yang ini namanya hiu."
Kepala Mandala menoleh. Dia menatap pintu dengan sebelah alis terangkat. Yang barusan didengarnya bukan suara Ibu, melainkan suara Genta.
"Uuuh! Uh!"
"Ikan hiu."
"Buuh!"
Kedua kaki Mandala masih lemas, tapi dia memaksakan untuk keluar kamar. Di sana, di ruang tamu rumahnya, rupanya memang ada Genta dan putrinya. Mereka duduk saling berhadapan di kursi. Yang pria tampak memakai kaus dengan warna agak kusam dan celana panjang, sementara yang kecil memakai piyama kuning dengan tudung menyerupai bebek.
Ibu udah nggak ada, Man ... batin Mandala sambil menyaksikan bagaimana dua orang di ruang tamu bercanda. Mereka menertawakan obrolan mereka yang terdengar tidak berhubungan satu sama lain. Setelah menelan ludahnya—yang kemudian dia sesali karena itu menyakiti kerongkongannya—dia memanggil dengan suara parau, "Dira?"
Genta terkejut dengan kehadiran Mandala di ruang tamu, tapi seulas senyum kembali menghiasi wajahnya. Wajah yang lelah dengan kantung mata besar yang terbingkai kacamata berfigura hitam.
"Kita berisik, ya?"
Mandala membalas dengan gelengan lemah. Dia duduk setelah melihat ruang tamu kini tampak rapih.
Tidak ada lagi karpet dan tikar digelar di lantai. Kursi dan perabotan sudah kembali di posisi semula. Bahkan terpal yang kemarin terpasang untuk melindungi para pelayat serta kursi plastik sudah tersusun di sudut halaman rumahnya. Tampak siap untuk dikembalikan.
Lalu perhatian Mandala kembali pada pria yang ada di hadapannya. "Kamu semalem nginep? Nggak ke puskes? Ini udah jam—"
"Delapan lewat," sela Genta sambil berjalan menuju dapur. Dia kembali dengan segelas air hangat, dua butir obat, dan sepiring makanan. "Minum dulu. Kepala kamu pasti sakit."
Seperti ingin meledak, batin Mandala.
"Karna udah ujian, saya nggak perlu ke puskes lagi. Paling nanti sore saya balik ke rumah sakit untuk perpisahan stase," papar Genta sambil mendudukan diri di samping Mandira yang masih menatap buku bergambar. "Semalam temen saya sama pacarnya ke sini. Mereka yang bantu beresin ini semua dan nyiapin makanan."
"Sekarang mereka di mana?"
"Udah pulang. Robyn harus follow up pasien, pacarnya masih sekolah."
Tanpa menjawab, Mandala menerima obat yang Genta berikan. Dia terdiam sebentar memandangi gelas di tangannya lalu menenggak habis isi gelas.
"Ma! Ma!" panggil Mandira. Dia menyingkirkan buku bergambar lalu mencoba berdiri untuk menggapai sang ibu. Dengan tanggap Genta menangkap tubuh Mandira sebelum jatuh lalu menggendongnya sampai di pangkuan Mandala.
"Tadi Dira udah mandi dan sarapan," lapor Genta sebelum membereskan mainan Mandira yang tersebar di meja dan kursi.
Sang ibu mengecup pipi putrinya dan lama menempel sampai si anak sendiri yang mendorongnya menjauh. Dengan sabar Mandala mendengarkan putrinya mengoceh dengan dua tangan yang aktif bergerak-gerak. Pun kedua kaki kecilnya menginjak-injak penuh semangat. "Kamu nggak bikin Kak Genta repot, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi dari Mandala
Chick-Lit[21+] [Chicklit / Romance / Medicine] [Follow + Vote + Komen = Early update!] Seorang dokter muda yang patah hatinya. Seorang mahasiswi yang menghidupi buah hatinya. Mereka bertemu tanpa sengaja dan berbagi kisah suka dan duka. Sejak pertemuan itu...