Adrian meraup wajah sekali lagi, menepuk punggung Fay dan melerai pelukan.
"Duduk dulu, biar tenang."
Fay berlalu ke arah sofa memegang ujung jaket yang diberikan Adrian. Gadis itu rupanya masih bergetar dan ketakutan. Sudah tidak mengeluarkan air mata, tetapi raut wajah dan tatapan matanya kosong.
Adrian beranjak ke dapur mengambil minum, memberikannya pada Fay. "Minum!"
Fay menerima gelasnya dan meneguk setengah isinya, kembali menunduk membuat Adrian menghela napas. Adrian mendekatkan tubuhnya, mengangkat dagu Fay agar menatapnya.
"Menangislah!"
Fay bungkam, gadis itu memandang lurus ke mata Adrian.
"Menangis dapat mengurangi stres, karena dengan menangis kamu mengeluarkan emosi yang tertahan sejak lama."
Fay mulai terisak pelan, menutup wajahnya enggan terlihat oleh lelaki di sampingnya. Ia tidak ingin terlihat rapuh.
"Masih dini, kamu tidur lagi ya?"
Fay menjauhkan tangan dari wajah, menggeleng keras menolak.
"Gue nggak mau tidur lagi, gue takut."
"Saya temani kamu di sini." Fay tetap menggeleng.
Adrian membiarkan Fay dengan duduk diam di situ. Tak lama, bahunya tertimpa beban yang ternyata merupakan kepala Fay. Adrian menoleh, menatap miris gadis yang sudah lelap itu dengan perasaan iba. Tangannya terangkat merapikan sejumput anak rambut yang menghalangi wajah sembab itu.
Adrian tersenyum, menggendong Fay dan memindahkannya ke kamar. Menyelimutinya kemudian ia mendudukkan diri di bibir ranjang sebelah Fay. Melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul dua lebih seperempat, ia keluar kamar. Berwudhu dan menunaikan shalat tahajud.
Di pekat malam, ia terpejam khusyuk menyebut satu nama dalam bait doa. Kepalanya menoleh ke belakang tempat Fay tertidur. Mengulang gerakan sujud satu kali, ia beranjak dan duduk di lantai berdampingan dengan Fay.
Kepalanya menumpu pada ranjang, tak lama mata itu ikut terpejam. Tangannya menggenggam erat lengan Fay.
Cahaya mentari menembus dari balik gorden, membuat manusia dalam kamar kecil itu menggeliat pelan. Fay membuka mata perlahan, dilihatnya Adrian yang masih memejamkan mata. Tangan sebelah kanan Fay yang bebas ia gerakkan untuk mengusap rambut hitam legam milik Adrian.
Adrian terusik, ia melenguh kemudian membuka mata. Tersenyum manis ke arah Fay. "Selamat pagi."
"Hm."
"Kamu mandi gih, nanti saya antar kamu ke kafe."
Fay bersandar pada kepala ranjang, kedua tangannya bersilang di atas dada. "Gue nggak sudi ke sana lagi."
Adrian beranjak berdiri, duduk di bibir ranjang.
"Kita ke sana, kamu buat surat pengunduran diri. Setidaknya kamu meninggalkan kesan yang baik bagi teman dan kafe itu, bukan untuk atasanmu."
"Ya."
Fay beranjak ke kamar mandi, Adrian keluar menunggu. Menuju dapur, Adrian berniat membuat sarapan. Membuka kulkas, hanya menemukan mi instan dan telur.
"Huh kemarin bilang ke alfamart beli keperluan, kok nggak ada apa-apa selain ini."
Adrian mengangkat mi dan telur, membawanya mendekat ke kompor. Mulai sibuk dengan peralatan itu hingga tercium bau masakan yang menguar sedap.
Membawanya ke meja, mengambil piring dan mendekati tempat beradanya rice cooker hendak mengambil nasi. Tapi ....
"Loh, tidak ada nasi?" Adrian berujar sendiri.
YOU ARE READING
Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)
RomanceKesakitan yang didapat dari kedua lelaki yang pernah dipanggilnya ayah juga kematian sang ibu dua tahun lalu, membuat Gilsha Faynara membenci seorang laki-laki. Pertemuannya dengan dokter muda melalui sebuah peristiwa membuat hatinya goyah. Dengan...