Suara ambulans terdengar meraung. Arin yang baru saja, menyelesaikan tugasnya mengantar pesanan makan malam di rumah sakit milik kakek Bara.
Teriakan khas para perawat IGD yang menginstruksikan penanganan darurat terdengar. Arin memilih menepi di dekat ruang para tenaga rekam medis yang berbatasan langsung dengan pintu masuk IGD.
"Lu resign terus kerja di tempat katering? Apa kabar sama sekolah profesi lu sih, Rin."
"Ya namanya rejeki kan bisa dari mana aja, sembari nunggu tawaran tempat lain."
Mata sang dara tak sengaja menangkap sosok berkaos putih dengan lumuran darah di area perut. Wajahnya terlihat kuyu. Dia dipapah dua orang lain yang tak asing.
"Astagfirullah, Mas!" pekik Arin.
"Siapa Rin? Kamu kenal?" tanya teman Arin yang tengah menikmati makan malam di sela dinasnya.
"Yun, aku ke IGD dulu," seru Arin sebelum berlari ke arah IGD.
Wajah penuh kecemasan tak bisa disembunyikannya.
"Pak, Mas Riko kenapa?" tanya Arin pada salah satu orang yang tadi terlihat memapah Riko.
"Rin!" panggil Eza yang muncul dengan seragam lengkap.
"Za, Mas Riko kenapa?" tanya Arin dengan wajah pucat penuh kekhawatiran.
"Bang Riko ...."
Eza menggantung ucapannya sembari melirik ke belakang punggung Arin. Setelah itu dia menggandeng Arin keluar dari area IGD.
"Eza! Mas Riko kenapa?!" ulang Arin dengan mata berkaca-kaca.
"Gimana ya ngomongnya," ucap Eza terlihat bingung.
"Aku liat Mas Riko dipapah masuk ke dalam bajunya berdarah semua."
Eza menatap lurus pada gadis di depannya yang mulai terlihat kacau itu.
"Eza!" pekik Arin gemas karena tak kunjung mendapat penjelasan.
Arin memutar tubuhnya dan berusaha mencari tahu sendiri tentang apa yang terjadi tetapi tubuhnya membeku. Sosok yang membuat air matanya tumpah berdiri tegak dua langkah di depannya.
"Kamu kenapa Rin? Kenapa di sini? Kok nangis kenapa?" tanya Riko sembari mendekat.
Arin terdiam. Eza terkekeh, dia menyadari sesuatu ada yang tidak beres di sana.
"Kamu kenapa itu?" tanya Arin sambil menunjuk baju Riko.
"Oh, ini. Kena punya orang tadi tuh."
"Terus kenapa kamu dipapah masuk?"
"Aku lupa naruh kuncinya dimana, tanganku keborgol sama tangan orang yang satunya. Mana dia kakinya pincang, jadi aku seret masuk tapi pas turun dari mobil dia keseret malah ambrukin aku. Kakiku kesleo. Untung kuncinya ketemu jadi bisa lepas."
Eza masih tertawa dan Arin tahu kalau pemuda itu menertawainya.
"Oh ya udah. Aku pulang dulu," ucap Arin datar setelah itu sebelum berbalik arah.
"Loh, nggak jadi khaㅡ"
"Gue racun lu," desis Arin sembari meninju perut Eza.
Riko masih tak mengerti apa yang tengah terjadi.
"Bang, Arin nangisin Abang. Dikira Abang kenaㅡ"
"NGGAK USAH BACOT LU. LU KIRA GUE TAKUT AMA SERAGAM LU!" ancam Arin yang terlanjur malu karena mulut Eza.
Riko seketika tersenyum miring sebelum tertawa.
"Oh pantes mewek. Ya udah ayo pulang sama aku," kata Riko.
KAMU SEDANG MEMBACA
Green or Pink (END)
Romance"Bu, besok aku mau punya seragam hijau. Foto cantik, sama Abang." "Kenapa hijau?" "Karena Abang seragamnya hijau. Kata Abang, seragam istrinya juga hijau. Kan Arin besok gede jadi istri Abang." "Arin, Arin. Jangan suka warna hanya karena seseorang...