Just One Kiss - Asphyxia
Panasnya cuaca di luar ruangan kelas tidak membuat mereka para remaja untuk melakukan aktivitas seusai pulang sekolah. Ada juga yang pulang, mengikuti ekstrakulikuler, dan bermain game online. Seperti Sandra dan ke dua temannya. Mereka memilih menghabiskan waktu pulang sekolah dengan bermain game online di depan kelas yang sudah di kunci.
"Bisa gak? Dasar noob." Gadis berambut cepol dengan kacamata bulat bernama Carla menepuk paha gemas.
"Bentar, Carl, pahlawan biasanya menang belakangan." Ucap Sandra percaya diri. Gadis berambut kepang asal dengan rambut acak-acak kan memasang wajah kusut fokus pada game online di ponsel.
"Yang kalah harus dihukum ya. Gak mau tahu." Tere mencoba memanas-manasi. Rambutnya yang separuh berwarna redplum tersentak. Bisa dibilang, dia merupakan idola sekolah karena kenakalannya. "Yosh! Aku menang! Glory Teresa!"
Melihat dirinya dan Tere memenangkan permainan sontak Carla ikut berseru senang. Sementara Sandra. Gadis itu membanting ponselnya pelan. Menggaruk rambutnya kasar tidak terima. "Why always me? Arrghh!"
"Yang namanya noob ya noob. Terima nasib deh, San." Carla saling bertos ria dengan Tere. Melihatnya Sandra berusaha memisahkan mereka berdua yang tengah bersuka cita.
"Berisik." Sandra berdecak pelan, berdiri perlahan namun kedua tangannya kembali ditarik kedua temannya. Sandra mendengus, "Aku mau pulang."
"Eits, kita pulang bareng. Hukumannya belum ditentukan." Tere merangkul Sandra. "Ya gak, Carl?"
Carla mengangguk semangat, ikut merangkul Sandra. "Kita pulang."
Entah bagaimana nasib Sandra yang selalu sial ketika harus beradu game online dengan semua temannya ini. Ia memang jago mengalahkan teman sekelasnya yang lain, namun melawan Carla dan Tere, rasanya ia harus berguru terlebih dulu pada beberapa gamers di luaran sana. Ia selalu kalah telak di setiap kesempatan. Dengan taruhan pula. Rasanya Sandra merasa menyesal berteman dengan mereka berdua.
Di sepanjang perjalanan, Sandra berusaha mencuri-curi kesempatan untuk kabur dari mereka berdua. Namun usahanya selalu gagal saat ia menyadari rangkulan tangan mereka berdua yang tak pernah lepas. Sandra melengos panjang, memutar mata ketika kedua temannya itu sesekali menggoda siswa sekolah lain yang sedang berjalan menuju stasiun kereta.
"Aku bisa jalan sendiri." Sandra menggerutu pelan. "Tere, aku malu."
Mereka berdua semakin mengacuhkan keluhan Sandra. Setelah membeli tiket kereta untuk pulang, Carla tak sengaja melihat pria berjaket hoddie abu-abu kusut yang sedang duduk sambil membaca koran tidak jelas. Wajahnya tidak terlalu jelas. Seperti sedang menunggu kereta jurusannya datang. Refleks tangannya mencolek lengan Tere antusias.
"Tere, Lihat."
Mendengar bisikan Carla, sontak Tere dan juga Sandra yang tak sengaja mendengar ikut melihat arah tunjuk Carla. "Siapa?"
Sontak Tere berdeham. "Target, Carl?"
Carla mengangguk semangat, mendorong tubuh Sandra. "Hukuman dimulai."
Sandra yang sadar akan arah pembicaraan mereka menggeleng tegas, "Dia orangnya? Enggak, enggak. Dia orang asing. Kita gak boleh ganggu orang asing apalagi di tempat umum."
"Eits, jangan lupa, Sandra. Dulu waktu aku dan Carla kalah, kita berani ciuman sama anak sekolah lain." Peringat Tere menepuk pundak Sandra pelan. "Tidak mau tahu, pokoknya kamu harus cium dia."
Sandra melotot tidak terima. "Kalian ini gila, ya. Ya jelas aku gak mau! Titik!"
Rasa takut mulai membuat Sandra berkeringat saking malunya. Ia berdeham, lantas berusaha untuk lari. Namun Carla menahannya dengan sigap. "Gak boleh sayang, itu hukumannya."
"Sebagai bukti bahwa kamu benar-benar bisa bertanggung jawab dengan kekalahanmu, Sandra. Come on, Baby, you can do it."
Merasa terdesak dengan keadaan, apalagi melihat Senyuman Carla dan tatapan Tere yang menusuk memaksa, ia menyerah. Menatap pria berjaket hoddie itu sudah meninggalkan tempat duduknya hendak pergi.
"Sandra, ayo!"
Dengan satu tarikan napas, Sandra berlari menyusul lelaki berjaket hoddie abu-abu itu.
"Aku harus bisa. Ayo Sandra, cuma lima detik, ah, tidak, tiga detik. Hanya kecupan kecil saja. Orang itu akan memanggilku gila dan memarahiku. Tidak, tidak. Dia akan benar-benar membenciku. Masa bodoh, hanya tiga detik. Sandra kau pasti bisa!"
Walaupun itu bukan ciuman pertama Sandra, namun rasanya seperti menginjak harga dirinya sendiri secara halus. Dengan sekali tarikan, ia menarik tengkuk lelaki itu lantas memejamkan mata mengecupnya perlahan. Sandra bisa merasakan sendiri keterkejutan dari pria itu. Mungkin bukan hanya pria itu saja, semua orang di sana menatap mereka risi. Tidak terkecuali Carla dan juga Tere. Butuh tiga detik untuk Sandra sadar dari perbuatannya lantas ia melepaskannya perlahan. Seketika tatapan mereka bertemu, jantung mereka silih bertalu satu sama lain. Sandra menutup mulut, menyadari pria yang barusaja ia lecehkan sangat tampan. Matanya yang berwarna hijau di balik rambut hitamnya yang kusut di sela-sela tudung jaket begitu menatapnya nanar penuh peringatan. Pria itu seumuran dengannya. Namun sebelum ia mendapatkan cacian dan makian keras dari pria itu, cepat-cepat ia merapatkan kedua tangan meminta maaf.
"Maafkan aku, aku mohon. Ini hanya taruhan saja. Aku mohon lupakan semuanya--"
Tidak lama, Sandra merasakan hidungnya tersendat, ia merasakan saluran pernapasannya sesak yang luarbiasa. Seperti tenggelam dalam air. Seketika Ia terjatuh, tangannya bergerak-gerak seperti hendak meraih oksigen yang berada di sekitarnya. Melihat Sandra terjatuh, sontak pria berjaket hoddie itu berusaha menyadarkan Sandra yang semakin terlihat kesakitan. Begitupun Carla dan Tere langsung berlarian menghampiri Sandra lantas ikut menyadarkan Sandra. Semua orang di sana yang semula kesal dan risi ikut mengerumuni hendak memberi pertolongan. Carla panik, ia berusaha meminta tolong pada pihak KRL untuk menelepon ambulance. Sementara Tere berusaha berteriak memanggil Sandra meraih tubuh Sandra yang sudah kejang-kejang.
"Sandra! Maafkan aku. Sandra aku mohon sadarlah."
Aku kenapa?
Kenapa rasanya sesak sekali?
Apa aku akan mati?
Kenapa harus sekarang?
Siapapun tolong..
Sakit sekali, aku tidak tahan..Sandra berusaha berteriak, menggeliat meraih apapun, namun nihil, ia merasa dirinya sudah tidak kuat lagi menahan sesak. Pendengarannya mulai meredam, keringat dingin mulai membasahi kening dan punggungnya. Ia sudah pasrah. Dan semuanya terlihat gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just One Kiss
FantasySandra, siswa kelas dua belas itu gagal dalam permainan game online. Ia nekat menyanggupi tantangan yang diajukan teman sekelasnya untuk mencium lelaki berjaket hoddie yang sama sekali tidak ia kenal di stasiun kereta. Tidak disangka, kecupan singka...