Tamu terakhir yang datang untuk melayat sudah pulang begitu jam menunjukan hampir pukul 4 sore. Rumah yang semula dipadati tamu dan dari radius beberapa meter dapat terdengar lantunan doa kini tampak kosong melompong. Deru sepeda motor pun bisa begitu jelas terdengar sekarang.
Di ruang tamu, Mandala duduk seorang diri. Dia duduk di atas tikar sambil memeluk lututnya.
Dunia Mandala seolah hancur menjadi kepingan.
Di hari yang sama dia bertengkar dengan Ibu karena hal sepele—ya, sepele. Masalah perkuliahan menjadi benar-benar sepele dan kini Mandala menyadari betapa bodohnya dia harus memperdebatkan masalah tidak penting ini dengan Ibu—dia harus kehilangan Ibu.
Dia bahkan tidak sempat meminta maaf atau mengakui dia menyesal sudah menentang kemauan Ibunya.
Dia tidak ada di sisi Ibu ketika wanita yang telah menemani di masa-masa sulitnya itu kesakitan.
Dia sibuk bersenang-senang di luar sana.
Meskipun sudah terlambat untuk mengakuinya, Mandala merasa menyesal.
Dengan amat sangat.
"Ibu ...," panggil Mandala dengan suara serak. Dalam hati kecilnya, dia masih berharap semua kejadian ini hanyalah mimpi.
Biasanya, ketika dia memanggil, Ibu memang tidak menjawab. Setelah dua-tiga kali dipanggil, barulah wanita paruh baya itu akan menjawab dengan nada jengkel.
"Kamu itu ba-bu-ba-bu, sini temui Ibu kalau memang mau ngomong."
Tetapi hari ini, berapa kali pun dipanggil, Mandala tidak bisa mendengar celetukan bernada jengkel itu.
Di kamar, di kamar mandi, bahkan di dapur sekali pun ... sosok wanita itu tidak bisa Mandala temui walau dia sangat ingin.
Tidak akan ada lagi denting alat masak bertumbukan dari arah dapur.
Tidak akan ada bau harum masakan yang menggugah selera dan membuat Mandala rela menelantarkan tugas-tugasnya agar bisa mencicipi.
Tidak akan ada suara nyaring ketika memanggil tetangga yang lewat di depan rumah.
Juga tidak akan ada lagi teguran atau omelan atau segala nasihat panjang yang membosankan.
Setetes air mata kembali tumpah dari sudut matanya.
Setelah menahannya karena harus mengurus kepentingan pemakaman, rasa kehilangan yang sempat terlupakan itu datang lagi dan membuat Mandala merasakan dingin yang menusuk di sekujur tubuhnya.
Sambil meringkuk, Mandala memeluk tubuhnya yang bergetar hebat.
Dia membiarkan tangisnya tumpah ruah karena tidak sanggup lagi ... akan jadi apa hidupnya setelah ini?
Satu-satunya sosok yang tidak pernah lelah menasihatinya telah pergi. Sosok yang sempat menetap di kala semua orang pergi itu pada akhirnya meninggalkannya juga.
"Maafin Manda, Bu," isak Mandala sebelum dia meraung pada keheningan.
---
"Maafin Manda, Bu."
Genta berhenti di ambang pintu saat mendengar isak tangis Mandala di ruang tamu. Dia mengurungkan niatnya untuk keluar kamar untuk mengabari bahwa Mandira sudah tidur dan mereka bisa mulai membereskan ruangan. Itu pun, rencananya, Genta ingin melakukannya sendiri karena dia tahu Mandala butuh istirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi dari Mandala
ChickLit[21+] [Chicklit / Romance / Medicine] [Follow + Vote + Komen = Early update!] Seorang dokter muda yang patah hatinya. Seorang mahasiswi yang menghidupi buah hatinya. Mereka bertemu tanpa sengaja dan berbagi kisah suka dan duka. Sejak pertemuan itu...