BAB III

25 7 2
                                    


"Ini mbak pesanannya," ucap seorang pelayan perempuan yang seketika membuyarkan lamunannya. 

" Ehh .. Emm ..  Iya mbak. Makasih." sahut Nadir agak gelagapan.

" Ish ngalamun aje lu," sahut Nala yang diam-diam memperhatikan Nadir yang tengah asyik mengingat pertemuannya dengan Arsya.

"Enggak papa. Gue mikir aja, bentar lagi kita bakalan lulus dari kampus ini. Padahal kayak baru kemarin jadi maba," sahut Nadir tak jujur.

"Lhah. Lo bukannya mau lanjut S2 disini juga?" timpal Nala, sembari bersiap menyantap makanannya. Dua piring ayam geprek lengkap dengan sambal dan lalapannya telah tersaji di atas meja juga dua gelas es teh. Aroma harum makanan menyeruak menusuk indra penciuman, menggugah selera makan siapa saja.

"Nggak tau sih jadi apa enggak, nggak punya uang gue. Yakali minta bapak sama emak gue lagi," sahut Nadir lantas ikut bersiap menyendok nasi.

"Yaelaah, sok sokan banget. Beasiswa sekarang banyak. Lo kan pinter pasti bisa kok cari beasiswa," ucap Nala spontan. 

"Doain aja lah," sahut Nadir sambil menyuratkan seulas senyum tipis pada sahabatnya itu. 

Percakapan ringan pun berlanjut, menyisakan tawa renyah yang sekali dua kali terdengar. Muka-muka persahabatan begitu terpancar pada keduanya bersamaan dengan denting sendok yang tak jarang beradu dengan piring. Mereka nampak sangat menikmati suap demi suap nasi lauk yang bertengger di meja, kadangkala menyeruput es teh yang kini tinggal separo. Lalu lalang manusia yang keluar masuk kedai tak meninggalkan jejak apapun bagi mereka. Satu dua kursi kosong terisi secara bergantian. Kedai semakin ramai karena jam makan siang. Pengunjung terus berdatangan baik dari kalangan muda-mudi yang hanya  ingin berburu Wifi hingga satu dua pasangan yang saling bergelayut mesra, bak orang lagi kasmaran. Entah memang lapar atau hanya alasan atas rindu yang bergejolak ingin bertemu.

***

Hari libur telah usai, awal pekan telah dimulai. Pagi ini, Nadir tengah bersiap untuk berangkat ke kampusnya. Ada jadwal bimbingan skripsi yang mengharuskannya berangkat pagi-pagi. Usai sarapan, seperti biasa, Nadir berpakaian ala kadarnya, kemeja kotak-kotak bernuansa biru muda dengan celana panjang longgar. Tas selempang hitam berukuran sedang pun telah tersampir rapi di pundaknya. Jika ditanya isinya, kurang lebih hanya ada sebuah laptop, handphone, dompet, alat tulis, dan buku diary. Hemat saja.

Sejenak, ia sempatkan menghadap cermin, menyisir rambut panjangnya yang tergerai sepinggang, lantas memakai bedak tipis-tipis untuk menutupi pori-pori pipinya yang tak pernah terkena mesin pemutih wajah. Tak lama kemudian, seulas senyum terpampang di balik cermin, mengisyaratkan bahwa ia siap berangkat, juga siap bertempur dengan apapun yang akan terjadi hari ini.

Segera ia kenakan sepatu hitam putih kesayangannya, keluar dari apartemen, kemudian melangkah perlahan menuju jalanan kota. Kali ini, Nadir memilih untuk berjalan kaki sambil menikmati udara pagi yang masih begitu asri nan segar. Lokasi kampus yang tidak terlalu jauh memang selalu menguntungkan bagi Nadir.

Melihat kesibukan jalanan kota pagi itu, terbersit dalam diri Nadir sebuah kerinduan pada kampung halamannya, yang terletak di desa kecil di ujung kota, anggap saja kota P. Setiap pagi Nadir selalu menyempatkan diri untuk mengelilingi desa, yah istilahnya jalan-jalan pagi. Hal ini ia lakukan sembari menikmati panorama alam yang terbentang di sekitarnya.

Sawah-sawah yang padinya mulai menguning, kawanan burung yang ramai berkicau merdu, kilau sunrise yang luar biasa cantik, dan keramahtamahan satu dua orang yang ditemuinya. Jalanan yang hanya setapak itu memang selalu ramai dengan orang-orang yang berangkat ke sawah atau ke tempat bekerja. Dalam hati, ia selalu mengagumi anugerah Tuhan yang sungguh memanjakan mata itu. Sekali lagi, Nadir rindu kampung halamannya.

Meskipun dari desa, Nadir adalah sosok yang cukup adaptif. Itulah mengapa ia sering menggunakan sapaan lo-gue ketika bertemu dengan teman-teman kampusnya tetapi tetap menggunakan bahasa aku-kamu ketika di rumah atau bertemu orang lain yang belum dikenalnya. Meskipun tidak selalu.

Hal ini ia lakukan supaya ia bisa cepat beradaptasi dengan banyak orang terutama di lingkungan kampusnya. Pada tahun pertama, ia sering menemui mahasiswa yang mengaku mengalami culture shock, kaget dengan budaya di kota tersebut.

Tak terasa, Nadir telah sampai di halaman depan kampusnya. Kampus yang cukup elite dengan gedung bertingkat empat yang menjulang tinggi. Beberapa mahasiswa nampak berlalu lalang menuju ruang mereka masing-masing, ada yang bergerombol, berdua, bahkan sendiri. Seperti dirinya saat ini.

Hari ini, Nala tidak menemaninya karena dosen pembimbing skripsinya berbeda dengan dirinya, otomatis berbeda jadwal bimbingan. Sembari terus berjalan menuju fakultasnya yang berada di sisi kanan kampus, ia melirik jam tangan hitam yang bertengger di pergelangan tangan kirinya. Oke, masih setengah jam lagi. Batinnya.

Tiba-tiba langkahnya terhenti, sebuah remasan kertas kecil dilempar oleh seseorang tepat mengenai kepalanya.

"Ah, siapa sih nih .. Jahil banget jadi orang!" ucapnya sambil sedikit menggerutu.

"Ehhhmm ..," sebuah deheman terdengar dari arah belakang. Nadir pun membalikkan badan.

Ah, sial. Ketemu nenek lampir lagi gue. Batinnya.

Tiga orang gadis dengan gaya sok cantik menghampiri Nadir sembari memasang muka licik. Rere, Sara, dan Tara, itulah nama mereka. Komplotan mahasiswi yang suka bikin rusuh bahkan suka membully sesama mahasiswa, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi juga tindakan fisik meski tak seberapa. Kampus ini masih punya aturan apalagi tentang tindakan bullying. Hanya saja, sejauh ini tak ada yang berani melaporkan tindakan mereka kepada pihak yang berwajib, pasalnya Tara, ketua geng mereka adalah anak dari seorang pimpinan kampus.

Mereka masih satu fakultas dengan Nadir hanya saja berbeda jurusan. Jelas, Nadir kenal dengan mereka bertiga karena ia juga sudah beberapa kali menjadi santapan manis mulut liar mereka. Namun, Nadir cuek-cuek saja, jarang sekali ia menggubris celotehan mereka. Baginya tidak penting mengurusi manusia-manusia yang rendah attitudenya.

Berbeda dengannya, Nala, sebagai teman baik, ia selalu membela Nadir bahkan berani melawan mereka bertiga jika tingkahnya sudah kelewatan. Karakternya yang suka ceplas- ceplos tak jarang menyebabkan perseteruan hebat di antara mereka. Dalam keadaan seperti ini, Nadirlah yang kerap menjadi pelerai, bahkan kadang dibantu mahasiswa lain.

Kali ini pun, tanpa pikir panjang Nadir berniat ingin pergi. Ia tak mau adu mulut dengan manusia bermulut pedas ini. Sialnya, Tara malah menjambak rambut Nadir dengan keras hingga membuatnya hampir terjengkang ke belakang dan mengaduh kesakitan.

"Heh .. Mau kemana lo," ucap Tara dengan nada setengah kasar.

Nadir tak bergeming sedikitpun, ia justru tengah merapikan kembali rambutnya yang berantakan usai dijambak si ketua geng itu. Ia sama sekali tak ingin menanggapi ucapan Tara.

"Lo, bisu ya!" ucap Tara dengan nada yang mulai meninggi. Sadar tak ada jawaban dari mulut Nadir ia lantas melangkah menghalangi jalan Nadir.

"Bisa nggak sih, nggak usah ganggu! Gue nggak ada urusan sama lo" kata Nadir dengan tegas. Ia berusaha mencari celah untuk keluar dari perseteruan ini. Namun, Sara dan Rere justru membantu Tara untuk terus menghalangi langkah Nadir.

"Gilaaa sih, emang blagu banget nih orang. Heh .. Gua punya urusan sama lo!" sahut Tara dengan mata melotot ke arah Nadir, tangannya bersedekap, sok berkuasa. Dalam hati, Nadir jijik melihat tingkah Tara yang sungguh tak beradab. Mahasiswa macam apa sih ni orang. Bisiknya lirih.

"Urusan apa?" sahut Nadir dengan tenang. Ia tidak ingin terlihat takut di depan ketiga nenek lampir ini karena hal itu hanya akan membuat mereka lebih leluasa bertindak semaunya terhadap dirinya.

"Gue kasih tau ya sama lo, jadi orang jangan caper. Panas kuping gue tau nggak, dengerin lo tu selalu aja dipuji sama semua dosen disini. Oke, lo emang pinter, katanya sih mahasiswa berprestasi, cantik sih, tapi masih cantikan gue lah. Lo tu harus tau, kalau lo itu cuman cewek kampungan yang bisanya cari muka doang disini!" celoteh Tara dengan gayanya yang selangit. Di setiap topik selalu hal ini yang dibahas. Nadir seakan malas mendengar celotehan tak berguna ini. Ia tahu, orang yang tidak suka padanya pasti akan selalu mencari celah untuk menjatuhkannya.

"Jadi lo iri sama gue?" sahut Nadir dengan nada tenang, kini mereka saling berhadap-hadapan.

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang