#4 Tantangan Bapak

15 0 0
                                    

Tidak ada suara, tidak ada keributan, sunyi seperti rumah tak berpenghuni. Malam itu menjadi malam yang tidak biasa. Wangi petrikor yang merupakan aroma khas saat rintik-rintik hujan mengenai tanah yang kering menambah kesunyian. Mereka keluarga Pak Kahar, masih asik dengan kesibukan masing-masing atau mungkin sudah tidur. Riuh keluarga tersulut ketika Mbak Sami, asisten rumah tangga keluarga tersebut baru menyadari kalau motor Koko tidak ada di garasi, tempat dimana diparkir motor tril warna hijau itu.

"Ibu, motor Koko kok tidak ada ya?" kata Mba Sami sambil menghampiri ibu yang sedang rebahan di kamar.
"Coba lihat baik-baik, Mba Sami. Siapa tahu ada di teras samping," kata Ibu.
"Iya, Bu tidak ada. Saya sudah mengeceknya." Jawab Mba Sami.
Mendengar pembicaraan mereka Kaila yang sudah tidur terbangun dan segera menghampiri mereka yang berada di ruang tengah.
"Ada apa, Bu kok rebut-ribut? Mengganggu orang tidur saja," kata Kaila sambil mengucek-ngucek matanya.
"Ini, Kaila, motor Koko hilang? Kata Mba Sami.
"Hah, apa iya ada maling? Sambung Kaila.
"Coba lihat Koko, Mba Sami. Apa dia ada di kamarnya?" kata ibunya.

Segera Mba Sami menelusuri tangga menuju lantai dua tempat kamar Koko berada. Kosong tak berpenghuni. Dia tidak ada di kamarnya.

"Tidak ada, Bu. Koko tidak ada di kamarnya?" Kata Mba Sami melapor sama Ibu.
"Kok bisa ya, ke mana dia. Tidak seperti biasanya dia meninggalkan rumah tanpa pamit," sambung Ibunya.

Ibunya memicingkan bola mata untuk meyakinkan bahwa matanya tidak salah melihat jam dinging yang tertempel di salah satu sisi ruang tamu itu benar. Di sana terlihat jarum pendek sudah berada di angka sepuluh dan jarum panjang hampir ke angka enam. Itu artinya sudah menunjukkan hampir pukul 22.30 wita. Alternatif satu-satunya adalah menghubungi hape Koko. "Kaila tolong telepon kakakmu," kata ibu sambil menyodorkan hape ke Kaila.

"Tidak bisa dihubungi, Ibu." Kata Kaila setelah setelah mendengarkam nada pertanda peringatan kalau nomer yang dia telepon sedang tidak aktif.

Ibunya duduk kemudian berdiri dan menuju ke arah teras rumahnya untuk menyakinkan keberadaan anaknya. Tidak ada jawaban, kemudian masuk ke ruang tamu lagi. Kali ini dia diam, di sana masih ada Kaila dan Mba Sami yang juga mengambil sikap yang sama, yaitu diam. Kaila berusaha menghubungi hape Koko, namun sama. Tidak bisa terhubung. Bahkan WA-nya pun tidak aktif.
Samar-samar terdengar suara mobil memasuki pekarangan rumahnya. Mba Sami membukakan pagar.

"Pak Koko belum pulang?" kata Ibu setelah Bapak masuk ke ruang tamu.
"Belum pulang?" kata Bapak sambil melirik ke arah jam dinding yang terpasang di salah satu sisi ruang tamu.

"Iya." Kata Ibu cemas.
"Keterlaluan kalau begini. Masa iya dia pergi sampai larut seperti ini. Memang dia pergi kemana, Bu?" tanya Bapak mulai bereaksi atas sikap Koko.
"Itu dia, Pak, Ibu tidak tahu. Dia tidak pamitan." Jawab Ibunya.
"Semakin berani, dia," kata Bapak.
"Mana hapenya tidak bisa dihubungi, bagaimana ini, pak. Ayo kita cari dia." Ajak Ibunya.
"Biarkan saja." Jawab Bapaknya.
                                                                             ***
"Selamat ya Koko, akhirnya kamu bisa menyusul aku ke kota Malang," kata Ikhsan sahabatnya.
"Iya. Tapi, aku ada sekidit masalah." Jawab Koko.
"Maksudmu?" tanya Ikhsan penasaran.
"Ikhsan, aku serius pada pilihanku di jurusan teknik informatika di kota Malang. Aku tidak diizinkan sama Bapakku. Bapak menginginkan aku kuliah di fakultas kedokteran. Egois kan? Bapak menjadikan aku sebagai tumbal cita-citanya yang gagal." Kata Koko melanjutkan pembicaraan dengan Ikhsan malam itu.

"Hah tumbal bagaimana?" kata Ikhsan tidak mengerti.
"Dulu kan Bapak sangat mengidolakan manjadi doker, karena waktu itu tidak ada uang sehingga cita-citanya kandas. Gitu lho, Bro." penjelasan Koko kepada Ikhsan.
"Oh mengerti ma," kata Ikhsan dengan aksen logat Makassar.

Terdengar panggilan boarding untuk penumpang pesawat tujuan Malang. Bergegas Ikhsan meraih rangsel dan kardus kecil dengan gambar khas rumah Toraja atau tongkonan, yang bertuliskan 'oleh-oleh khas Makassar'.
"Sudah ya Ko, aku sudah ada panggilan boarding. Terimakasih sudah diantar." Kata Ikhsan.
"Iya sama-sama. Semoga selamat sampai tujuan." Jawab Koko.
"Aamiin." Sahut Ikhsan.
Koko tidak menyadari kalau waktu kian larut. Segera dia menuju tempat parkir bandara dan bergegas pulang. Dinginnya udara malam ditambah dengan sisa hujan yang membasahi kota Makassar malam itu membuat suasana lebih sunyi. Jalanan sepi, sehingga tidak sampai tiga puluh menit Koko sudah sampai di rumah. Mba Sami sepertinya belum tidur. Dialah yang membukakan pintu dan pagar rumahnya, sesaat setelah mendengar bunyi motor tril Koko.

"Ko, duduk," kata Bapak.
"Saya mengantuk, Pak." Jawab Koko.
"Duduk," ulang Bapak sambil membalakkan mata.

Baru kali ini Koko mendengar suara Bapak dengan nada yang berbeda. Dia bisa merasakan tanda-tanda kemarahan. Tapi mengapa Bapak harus marah?

"Kamu sudah berani melawan ya? Kata Bapak mengawali pembicaraan mereka.
Koko diam membisu tidak tahu harus menjawab apa. Ibunya yang duduk tepat di samping Bapak juga memilih diam. Kemudian Bapak kembali bertanya:

"Kamu dari mana?"

Koko tidak berani menatap wajah Bapaknya yang sedang emosi atas sikap koko. Sambil menunduk dia menjawab:

"Dari bandara, Pak?"
"Bandara?"
"Iya, Pak. Mengantar Ikhsan." Jawab Koko.

Keluarga Koko memang telah mengenal Ihsan, sahabatnya sewaktu SMA. Mereka berdua sama-sama aktif di organisasi Paskibraka di sekolah Cerdas Cendekia. Bahkan setelah Ikhsan lengser sebagai ketua, Kokolah yang menjabat ketua berikutnya. Sepertinya keluarga Koko tidak mempersoalkan mengapa dia harus mengantar sahabatnya. Yang mereka persoalkan mengapa dia tidak pamit..

"Mengapa tidak pamit?"
"Iya kami dibuat panik, Koko," kata Ibunya.
"Sebenarnya aku mau pamitan tadi. Tetapi seisi rumah tidur, sehingga aku hanya pesan di chatt wa Ibu." Kata Koko.
Ibunya terdiam, hape miliknya low bat, sehingga tidak bisa segera mengecek jawaban ikhsan.

"Ya sudah." Kata Bapak.
"Iye," jawab Koko.
"Sudah sana tidur." Kata Bapak.
"Maaf Pak tanggal 3 Koko akan mendaftar ulang?" kata Koko.
"Maksudnya." Jawab Bapaknya tidak paham dengan apa yang Koko sampaikan.
"Aku akan mendaftar ulang di Malang." Jawabnya.
"Tidak, Bapak akan suruh kamu mendaftar lagi di fakultas kedokteran." Kata Bapak.

Sepertinya tidak ada jurusan lain di mata Bapak. Hanya kedokteran, titik. Memang Bapak tidak mempermasalahkan di perguruan tinggi mana yang penting kedokteran.

"Tapi, Pak kasihan sekolahku, kalau SNMPTN tidak dimasuki kan nanti akan kena sanksi," kata Koko.
"Tidak, kamu harus mendaftar lagi" sambung Bapak.
"Koko akan tetap mendaftar ulang pada tanggal 3 nanti, Pak." jawab Koko.
"Terserah." Jawab Bapak.
"Yang jelas kalau kamu tetap pada pendirianmu, Bapak tidak akan membiayai segala keperluanmu selama di Malang. Silakan mencari uang sendiri. Tunjukkan bahwa ilmu yang akan kamu tekuni adalah ilmu yang kamu kuasai. Bapak akan membiayai kuliahmu kalau kamu bisa memperoleh IP 4.0. Kamu sanggup itu, Nak?" lanjut Bapak.
"Insya Allah, Pak." Jawab Koko.

Malam kian larut, tawaran Bapak seperti tamparan yang tidak pernah dibayangkan oleh Koko. Tidak ada pembelaan. Ibunya diam. Sebenarnya berat bagi Koko, namun dia akan mencoba tantangan Bapak.

Sekitar empat hari lagi Koko akan ke Malang. Saat itu kemandirian sudah dimulai. Koko mengusahakan uang tiket dari tabungan yang dia miliki. Bismillah dengan konsekuensi yang tidak ringan dia menerima tantangan Bapaknya.

Bersambung....

DIA YANG TAK PERNAH PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang