34: Even If It's Just A Lie

1.6K 293 165
                                    

CHAPTER 34
Even If It's Just a Lie

[Playlist: Cheon Dan Bi – Stay With Me]

***

Gelap masih menyelimuti sebagian kota yang menjelma mati terbunuh derasnya hujan. Segelintir makhluk masih berkeliaran di luar. Dua anak kucing menggigil kedinginan di emperan tanpa induk peneman. Penjaga toko kelontong segera membereskan dagangan dan menutup tirai baja. Sementara, pemilik kafetaria asyik mengukir hiasan pada latte di cangkir yang segera disesapnya sendiri lantaran papan kecil di pintu telah terbaca 'tutup.'

Masih saja, langit tak berkenan meredakan tangisan. Maka, sebagian besar orang memilih berteduh di kediaman—apartemen bertingkat atau rumah sederhana pun akan terasa nyaman asal tidak menyebabkan badan kehujanan—menyeduh kopi di pinggir perapian, menyantap ramyun dengan asap yang masih mengepul langsung dari panci, atau segera menemui ranjang dan pelukan orang terkasih yang lebih-lebih hangat dari apa pun, barangkali.

Lantas, mari kita tengok sebuah hunian megah di balik pagar besi menjulang dengan taman bertatanan luar biasa elok. Butir-butir bunga dipaksa lepas dari tangkai, berjatuhan di atas rerumputan hijau. Aroma wangi khas alam membaur bersama udara malam yang lantas dihantarkan menuju penciuman sosok perempuan di balik jendela tak tertutup tirai sebuah ruang temaram.

Duduk di atas sofa panjang sembari memeluk tungkak, sepasang netra tertuang pada pekatnya suasana di balik kaca jendela. Sementara di belakang punggung kecil perempuan itu, terbaring seorang pria di atas ranjang yang tengah dihisap mimpi-mimpi kotor.

Keheningan menyapa lantaran hujan di luar sana berangsur mereda. Maka, detak jarum jam bisa terdengar lebih-lebih kerasnya ketimbang berpuluh-puluh menit silam. Saat dentangan waktu menunjuk pukul dua dini hari, suara yang tercipta sanggup mengeluarkan Jeffrey dari jerat jaring-jaring lelap yang sukar terurai.

Dua kelopak terbuka pelan. Iris berpendar lantas jatuh tepat pada perempuan bersurai sebahu dalam balutan gaun tidur satin abu-abu yang duduk membelakanginya di ujung sana. Kala pandang bergulir, Jeffrey sedikit tertegun mendapati sendirinya pun masih berpakaian lengkap dengan setelan piyama senada.

Sehembus napas mengudara lega ketika sadar bahwa sesungguhnya tak ada percakapan yang terjadi di antara dia dan Rosé yang berhujung pada sebuah perdebatan dan pembuktian perasaan. Tidak. Jeffrey ingat betul, semalam, sehabis membacakan novel fiksi sejarah, ia tertidur dengan segera setelah memutuskan meneguk sekaleng isotonik dari dapur.

Dua kali hembusan napas, Jeffrey lebih-lebih leganya manakala ia paham betul bahwa kenikmatan bercinta yang beberapa waktu lalu ia rasakan hanya sebatas bunga tidur belaka. Mengapa, sebab jika hal tersebut adalah realita, maka Jeffrey tak bisa menjamin keberlangsungan hidupnya dalam hari-hari yang akan datang.

Karpet bulu import menjadi pijak kaki Jeffrey usai memutuskan untuk menyingkap selimut dan pergi menemui titik di mana Rosé berada. Langkah berderap, suaranya menyebabkan Rosé memutar kepala. Mata bertemu mata, Jeffrey kini merelakan sepasang lutut bersenggema dengan dinginnya pualam.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Tuturan lemah lembut diujar. Sepasang bibir manusia di hadapan terkatup rapat tanpa tanda-tanda hendak mengurai jawaban.

Tak kunjung menyerah, Jeffrey kembali melontar tanya pelan, "Mengapa tidak pergi tidur?"

Senyap masih menjadi satu-satunya hal yang diterima telinga Jeffrey. Jemari terulur naik. Jeffrey menggapai helaian rambut yang sedikit menutupi wajah Rosé untuk kemudian ia sematkan ke belakang telinga perempuan itu seraya berujar, "Kamu tidak bisa tidur, hm?"

SILHOUTTE: After A Minute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang