"Ketahuilah! Sakit rasanya apabila terlanjur memberi harapan. Namun dipatahkan. Semua harapan harapan yang telah berjajar rapi. Mungkinkah akan terhempas begitu saja? Jika kita akhirnya tidak bisa bersama juga. Apakah berpisah menjadi satu satu nya jalan?"
-Merindu Kalam Surga-
Langit mulai temaram, segerombolan anak hujan itu tengah menunggu perintah. Aku termagu dalam keheningan. Merunduk menatap jajaran semut yang asyik mengumpulkan makanan. Sangat istimewa. Bekerja sama tanpa berebut. Aku jadi teringat Mbak Maya. Apa kabar dia? Bagaimana kehidupannya dirumah?
Aku yang selalu tak mau kalah darinya. Merasa menang sendiri ketika bapak pulang dari pengajian. Ah! Aku rindu keluargaku.
Dari sekian banyak kursi berderet, tidak ada satupun penghuni. Ya, aku benar benar sendiri. Sembari menunggu hujan turun membasahi bumi. Jadwalku memang kosong hari ini. Tapi aku sungguh bosan dirumah. Alhasil, aku ke kampus. Itung itung ya, bisa lihat cogan lewat.
Astagfirullah!
Nah kan, benar apa kataku. Percikan air itu mulai menggenangi trotoar. Aku mendekap tas slempang rapat rapat. Mengusap seluruh wajah yang sempat terkenanya. Untung saja, ada atap kecil. Aku bisa meneduh dengan damai dan tenang. Disela sela kegiatanku yang sangat unfaedah ini, melipat kertas sampai berbentuk kecil. Sorot mataku meruncing saat atensiku jatuh tepat pada sosok didepan. Kurasa, ia sedang kelimpungan mencari tempat persinggahan.
"AWASS!!!"
Eh copot copot, aku tersentak disaat mobil itu nyaris menabrak sosok perempuan disana. Dengan sigap aku berlari sekuat tenaga dan merentangkan tanganku ditengah jalan itu.
"LARII!!"
"AKU MOHON JANGAN MELAMUN DULU. LARI KE PINGGIR DAN MELAMUNLAH DISANA!"
Emang ya, kenapa rata rata orang yang mau ketabrak itu. Harus cengo dulu? Kenapa tidak langsung lari aja? Secara kan, kendaraannya masih jauh. Ck! Aku gregetan sendiri jadinya. Mobil itu semakin mendekat. Sedikit sisa tenaga yang ada, aku mendorong kuat tubuhnya. Hingga ia terdorong dan jatuh di pinggir jalan. Tepat di hamparan rumput liar.
"Hosh hosh hosh," ngos ngosan sih. Jelas! Bagaimana tidak, aktivitas ini cukup mendapat penolakan dari jiwa magerku.
"Eh, kamu tidak apa apa?"
"Tidak apa apa kok. Em, itu telapak tanganmu luka," perempuan itu menatapku dengan raut kasihan. Aku menoleh ke tanganku yang lumayan perih sih.
"Tidak masalah. Ini bisa diatasi."
"Ini."
Kulihat, ia mulai mengerluarkan dua lembar uang merah dan dihadapkan padaku. Aku terpengarah. Ia menarik pelan pergelanganku lantas menaruh uang itu diatas. Dengan sigap, aku menghempasnya. Ingat ini! Aku memang membutuhkan uang. Tapi bukan begini caranya, aku sungguh ikhlas menolongnya.
"Aku ikhlas," ujarku tersenyum tulus.
"Terimalah. Aku juga ikhlas."
"Ah, tidak usah. Maaf aku buru buru. Daa!!"
Berdebat disini tidak ada ujungnya. Aku segera berdiri membersihkan kotoran menempel dibaju. Memandang perempuan itu sekali lagi. Dia tidak luka sama sekali. No problem Haura! Kamu kuat. Aku mengusap telapak tanganku diujung jilbab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merindu Kalam Surga (END)
Fiction généraleSarjana-sukses-bahagia Impian Haura sederhana, hanya ingin akhir bahagia dan dapat membungkam ocehan orang orang yang merendahkannya. Wanita itu punya sejuta cara untuk mewujudkan mimpi. Karena keterbatasan ekonomi, Haura kabur dari rumah tengah mal...