Kelopak itu akhirnya kembali terbuka setelah tiga hari lamanya menyembunyikan manik kelam yang di rindukan sang terkasih. Mimpi panjang yang aneh dan menyesatkan telah ia lalui, dan ia kembali setelah mendengar ucapan rindu kekasihnya, namun setelah ia membuka mata mengapa hanya suara hujan yang menyapa?
Telapak tangannya terasa basah, Ja Phacara yang baru sadar dari tidur panjangnya menggerakkan kepalanya dengan susah payah untuk melihat apa yang menjadi penyebabnya.
Di sana ada First, tengah menangis dengan tubuh bergetar dalam hening. Kenapa kekasihnya menangis seperti itu? Ah—pasti karena hujan.
Ja ingin sekali beranjak dari ranjang itu, merengkuh dan memeluk erat si mungil. Namun seluruh tubuhnya terasa kaku dan juga sakit. Akhirnya ia hanya bisa menggerakkan tangannya yang di jadikan tumpuan tangis oleh si manis, untuk sekedar menghapus air mata di pipi kesayangannya.
Bisa Ja rasakan, bagaimana tubuh First menegang, merespon sentuhannya. Lalu kepala itu terangkat dan sepasang manik cokelat yang basah menatapnya penuh kerinduan dan kelegaan.
Ja mengulas senyuman tipis. Senyuman yang ia harap bisa menenangkan First, menggantikan pelukan yang belum bisa ia berikan. Namun First hanya diam sambil menggenggam dan mengecupi tangannya.
“Aku merindukan mu. Rindu First, rindu sekali,” ucap Ja dengan suara yang begitu lemah.
Sepenggal kalimat rindu telah Ja ucapkan dengan susah payah kerena tenggorokannya yang begitu kering dan sakit. Tapi mengapa First tak membalasnya?
First memundurkan kursi rodanya, membuat Ja cemas dan menahan tangannya. “Aku bilang aku rindu, kenapa tidak menjawabku? Dan kau mau pergi kemana?” tanya Ja dengan suara yang sedikit lebih jelas.
Tapi First-nya masih diam. Membuat hati pria tan itu semakin cemas. “First kenapa diam saja?”
Masih saja hening. Apakah First begitu marah padanya yang tidur terlalu lama? Pandangan Ja mengedar, dan ia terkejut melihat kaki First yang di balut gips. “First, apa kau terluka parah? Kenapa dengan kakimu?”
Hening. Ja benci di diamkan seperti ini. “First jawab aku sayang..” pintanya penuh permohonan.
Ja menatap kekasihnya, yang kini meraih catatan dan pulpennya di atas meja, lantas menulis dengan tangan gemetar.
–
Aku menjawabmu sejak tadi Phi, apa kau tidak mendengarku?
–Ja terdiam membaca tulisan First. Ia menatap lamat kekasihnya, tak ada kebohongan di mata cantik itu. “K-kau sungguh sudah menjawabku?”
First hanya mengangguk tanpa mengucapkan apa pun lagi.
Ada rasa sesak di hati Ja, dan juga rasa takut yang menyeruak tanpa di minta. Takut jika pada akhirnya ia tidak akan bisa mendengar suara indah First lagi.
“Seandainya hadiah dariku sudah tidak bisa berfungsi, apa kau akan kembali tidak percaya pada orang-orang?”
Tiba-tiba ucapan si Kakek ajaib dalam mimpinya terlintas di benak Ja. Dan ia mengerti, inilah maksud dari si Kakek. Beliau telah pergi, dan hadiah yang di berikannya tak lagi ada bersama Ja.
Ja menghela napas penuh penyesalan. Ia tatap First dengan lamat dan bibirnya bergetar. “First, aku tak bisa mendengar mu..” lirih Ja penuh sesal.
First tersenyum sendu, sepertinya Ja benar-benar di kirim untuk membantunya menyelesaikan semua masalahnya. Dan ketika itu semua selesai, semuanya kembali seperti semula.
“YA AMPUN!! Ja kau sudah sadar?!” pekik ibunya yang baru saja datang membawa beberapa kebutuhan mereka. Wanita paruh baya itu segera keluar dan kembali bersama seorang dokter. Membiarkan Ja mendapat beberapa rangkaian pemeriksaan dan menunggu bersama First di luar kamar Ja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Voice [M] END
Short StoryDunia Ja Pachara menjadi dua kali lebih berisik saat ia tak sengaja menolong seorang kakek tua di dalam hutan dan mendapat hadiah sebuah pendengaran. Sejak saat itu ada dua suara manusia yang bisa Ja dengar. Satu suara penuh kepalsuan yang senantias...