4) Kalau lagi nggak bareng

1.1K 115 3
                                    

"Bi, gimana?"

"Nggak tahu, Ka, aku pusing."

Sabrina mengusap dahinya. Udah hampir menangis kala ditelpon Arka malam itu.

"Kamu keluar gih, atau nginep di temen kamu itu siapa namanya yang tinggal di situ? Fita? Biar nggak keikut emosinya."

Sabrina menghela napas. Harusnya setelah ibu pulang dari rumah sakit ia bisa merasa lega. Tetapi di rumah, bukan tenang yang ia temui, malah tensi lain sebab kedua orang tuanya yang saling membanting pintu.

"Bi, maaf ya."

"Maaf kenapa, Ka?"

"Maaf aku nggak di situ nemenin kamu."

Kalau dipikir-pikir. Walaupun mereka di kantor hampir nggak ngapa-ngapain selain lirik-lirikan sesekali dan curi dengar, kayaknya the presence of each other itself tuh udah jadi hal yang melengkapi. Jadinya ketika jauh, terasa ada yang kurang.

Seminggu Arka ke Kalimantan karena harus on site menangani sertifikasi galian tambang. Sabrina enggak ikut karena memang bukan bagian dari kelompok itu. Tapi, pas Arka udah balik ke Jakarta, giliran Sabrina yang terbang ke Surabaya untuk stay seminggu juga. Setelah itu harus mengambil cuti mendadak pula karena ibunya sakit. Dan sampai Sabrina tahu kalau sebenarnya, di rumah sedang tidak baik-baik aja.

Sabrina bukannya nggak dekat. Tapi dari dulu ya memang ia lebih sering menelpon kedua orang tuanya sendiri-sendiri. Bapak sendiri, ibu sendiri. Grup keluarga mereka pernah ada, tapi ya sepi karena Sabrina sibuk, Fadil juga lebih sibuk dan tak acuh. Bapak ibunya jarang ngobrol di sana juga jadinya.

Yang Sabrina nggak tahu adalah bahwa ternyata, kerenggangan itu buruk. Ibu sakit lambung gara-gara sebenarnya stress ingin cerai dari bapak. Sedangkan bapak, sudah tak acuh, malah berkata ajukan saja gugatan kalau memang benar ingin. Dan Sabrina nggak tahu apa yang harus dilakukan.

Iya, cinta itu pekerjaan yang susah. Cinta bukan kata benda yang diam begitu saja dan nggak habis. Cinta adalah kata kerja. Dan ketika nggak ada yang bekerja melakukannya lagi, ya kata itu hilang.

Sabrina nggak bisa menilai. Sabrina nggak tahu rasanya bagaimana di usia yang sudah tak muda lagi menjalani hubungan. Apakah ibunya sudah merasa teramat jenuh dengan sikap cuek bapak sampai nggak mau lagi melanjutkan pernikahan? Apakah bapaknya juga sudah terlalu bosan terikat dengan orang lain sehingga menikah atau bercerai sudah bukan lagi pilihan yang sulit? Apakah sendiri-sendiri adalah hal yang benar mereka tuju karena janji bersama sampai akhir hayat yang pernah terlontar itu tak lagi ingin dicapai?

Sabrina nggak melarang kalau memang bapak ibunya hendak bercerai. Sabrina tahu, perkara ini milik individu masing-masing. Ia pun sebagai anak tak mempermasalahkan dan tak meminta orang tuanya berkorban menjadi satu demi ia dan Fadil. Enggak.

Tapi senggaknya Sabrina ingin kalau memang akan bercerai, ibu dan bapak bisa berpisah dengan baik-baik saja. Karena berpisah dengan cara yang buruk hanya membuat satu berusaha membenci satu yang lain sebagai justifikasi perbuatannya. Dan berusaha membenci artinya membuat kita mengingat hal buruk saja dari orang lain. Padahal, Sabrina yakin, selama perjalanan menjadi teman hidup satu sama lain, pasti ada hal indah kan yang dirasakan orang tuanya? Saat mereka tertawa bersama, saat Sabrina lahir, saat Fadil lahir, saat Fadil belajar berjalan, berkejaran dengan Sabrina kecil, saat mereka masih bisa merasakan hangatnya sebagai sebuah keluarga. Sabrina cuma nggak pengen ingatan itu dihapus hanya karena sekarang mereka saling menghindari satu sama lain.

"Ka."

"Hmmm."

Mungkin kalau mereka sedang berada di ruangan yang sama Sabrina akan bisa berterus terang perihal apa yang mengganggu pikirannya. Mungkin, yah... ia bisa berbagi secara langsung dan mendengar apa pendapat pria itu. Lebih tepatnya, ingin tahu bagaimana Arka secara langsung berekspresi soal perceraian. Baik soal orang tuanya atau secara general, dan juga perihal pernikahan.

BackstreetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang