Kalau ada istilah putus hubungan maka itu sebenarnya bukan kata baru di kamus hidup Arka. Pasti lah jaman SMP SMA Kuliah pernah yang namanya pacaran lalu putus. Tapi gimana ya, putus pas segalanya direncanakan sebaliknya itu ternyata efeknya beda banget dari sekedar putus karena udah nggak cinta lagi.
Arka masih, masih sangat mencintai perempuan itu ketika Sabrina mengutarakan kata putus. Ini membuatnya berantakan.
"Oke, lantas gimana menurut pendapat Mas Arka. Mas Arka, hello?" Bu Atina sudah menjentik-jentikkan jari di pandangan kosong Arka.
"Woy, Ka." Sampai Awan perlu menyikutnya keras ia baru mendapatkan fokus lagi pada rapat kali ini.
"Ah, Bu. Maaf-maaf. Saya izin 5 menit sebentar untuk cuci muka." Arka benar-benar merasa bersalah karena kehilangan sebagain besar fokusnya untuk bekerja.
"Okay, kita break bentar ya."
Sedangkan Sabrina. Diam-diam, di sela waktu kerjanya, ia mengetikkan surat resign-nya.
Arka nggak menjawab iya. Arka nggak menyetujui hubungan mereka berakhir demikian. Tetapi memangnya, apa sih yang bisa diharapkan?
Kalau Sabrina masih bisa mentoleransi kriteria lelaki yang menjadi suaminya. Ia sebenarnya tak bisa mengurangi kriteria calon mertuanya. Having parents in law is already hard to please, having parents in law that don't like you is just... a way to die.
Sebesar Sabrina mencintai Arka. Ia nggak mau kalau sampai harus berada pada situasi yang membuatnya makan hati tiap hari. Jadi mumpung belum terlalu jauh hubungan mereka, Sabrina berharap mimpi buruk itu nggak terwujud.
Tapi susah sekali bicara dengan Arka kalau Arka masih ngotot ingin dengan Sabrina. Padahal kan, yah, seperti kata mama Arka, suka itu perkara gampang. Arka pasti bisa suka kan sama Berlian yang disebut sebut lebih cantik, lebih pintar, punya keluarga utuh, punya rumah untuk mereka. Tak kurang seperti Sabrina.
"Aku masih bakal ngomong sama mama, kamu jangan buru-buru mengakhiri hubungan ini, Bi. Aku cuma sayang sama kamu. Jadi, please, Bi. Please, jangan. Ya?"
Tapi sayang aja kan nggak bisa bikin dunia jadi simsalabim aman sentosa. Arka sama Sabrina jadi saling diam sekarang untuk nggak melanjutkan diskusi buntu itu sampai mereka punya penyelesaian. Dengan status hubungan yang tak jelas. Yang jelas hanyalah mereka berada di kedua ujung tali yang berjauhan.
*
"Mbak, Dek Fadil cerita." Suatu hari ibu Sabrina menelepon. Ibu memang terbiasa memanggil Sabrina dengan Mbak, Fadil dengan Dek. Pembiasaan kan untuk anak-anaknya, tetapi jadi berlanjut hingga sekarang.
"Cerita apa, Bu?"
"Cerita kalau Mbak ke sana bareng pacar. Iya, Mbak udah punya pacar?"
Karena hubungan ini rahasia, Sabrina jadi nggak cerita juga sama ibu bapaknya. Nggak cerita karena ya takut aja ibunya cerita ke bude-bude yang lain yang berujung ia ditanya-tanya kapan menikah. Ibu dulu juga beberapa kali ingin Sabrina segera berumah tangga. Tetapi sejak rumah tangganya sendiri terguncang, ibu jadi nggak menuntut itu lagi. Ibu cuma pengin Sabrina bahagia.
"Dulu itu, Bu."
"Dulu gimana? Mbak bukannya ketemu Dek Fadil minggu lalu?"
Sabrina bingung harus mengatakan yang sejujurnya atau tidak. Ia nggak mau nambah ibu kepikiran.
"Iya, tapi kayaknya sekarang udah enggak."
"Mbak Sabrina putus? Kenapa? Lha Dek Fadil malah cerita kalau katanya.. Mas Arka ya namanya itu, kelihatan serius sama Mbak? Malah tanya-tanya juga sama Fadil alamat sini katanya mau bertamu."
Sabrina menghela napas. Ia jadi mengingat malam di hotel saat Arka mengutarakan kalimat yang menunjukkan tanda keseriusannya. Ya, sebelum hari itu memang segalanya terlihat baik. Tapi keadaan kan sudah berubah sekarang. Sabrina dan Arka sama-sama tahu apa sebabnya. Dan Sabrina rasa, itu sudah jadi alasan kuat kalau mereka memang harus benar-benar berpisah.
Sabrina bukannya nggak mau berjuang. But everything about life is already difficult, and she didn't want to love with difficulty. Hidup udah susah, kerja juga susah, ditambah cinta juga susah hanya menambah penderitaan. Better put one hardship aside.
Dan kalau memang cinta yang harus dilepaskan, ia akan berusaha ikhlas buat melepaskan itu. Makanya ia nggak berusaha apa-apa. Kalau memang takdirnya ia harus mengakhiri kisah dengan Arka, ya biarlah begitu.
"Ibu jadinya tinggal di mana?"
Sabrina belum dengar pasti. Tetapi kata Fadil memberi kabar kalau ibu akan cari kontrakan. Mereka belum resmi bercerai. Setelah mengajukan gugatan ke pengadilan kan nggak sehari dua hari langsung diproses. Banyak waktu yang biasanya memang diprogram agar pasangan bisa bermediasi sebelum ditetapkan bercerai. Bisa memakan waktu hingga 6 bulan.
Namun meski belum resmi, bapak dan ibu sudah memutuskan untuk pisah tak menempati tempat tinggal yang sama. Dan Sabrina dengar, justru ibu yang keluar dari rumah mereka.
"Ibu masih di sini, Mbak, karena masih kerja juga. Ayahnya Fadil yang jadinya cari rumah. Sepertinya pindah sekalian ke Batu atau di mana ibu belum ketemu lagi." Ibu Sabrina bekerja di dinas kota dan masih kurang tiga tahun lagi pensiun. Sedang bapak sudah pensiun, punya kebun apel di daerah Batu yang digarapnya.
Bisa ya memang, yang dulunya sama-sama jadi nggak saling bicara. Sabrina jadi tersenyum sendiri. Kenapa barengan gini sih. Fadil putus sama Eca, Ibu cerai sama bapak, dirinya pun pisah sama Arka.
"Bu, apa Sabrina pindah kerja ke Malang aja ya? Nemenin ibu di sana?"
"Kok gitu, Mbak? Kesempatan kerja di Jakarta kan banyak. Gajinya juga lebih besar. Orang pada cari kerjaan ke kota besar kok Mbak malah pengin pulang?"
"Ya, kan nggak semua orang ngejar gaji besar, Bu."
"Mbak mikir gini gara-gara Mas Arka itu ya?"
Sabrina mungkin kalut. Tapi memang kadang selain mencari perusahaan di sini, nggak sekali ia mencari lowongan di kota kelahirannya itu.
"Mbak, ibu mungkin bukan orang yang bener kalau ngasih nasihat begini, melihat pengalaman ibu. Tapi, kalau bisa Mbak jangan memutuskan sesuatu ketika Mbak lagi sakit hati. Mbak nangis kalau Mbak pengen nangis sepuasnya. Maafin Ibu ya Mbak, nggak nemenin Mbak di sana. Tapi Ibu yakin Mbak bisa menghadapi masalah Mbak di sana. Mbak bisa tegar. Mbak mandiri. Ibu percaya itu."
Sabrina tersenyum kecil. Entah lah, kata mandiri seperti bukan padanan kata yang tepat ia merasa. Sabrina nggak merasa benar-benar mandiri.
Sejak dulu ia cuma berusaha tegar saja. Hidup nggak bisa bergantung sama orang lain. Nggak mungkin. Makanya ia sering belajar, sering baca buku, belajar memasak, belajar keahlian untuk bertahan hidup supaya ya bisa nggak bergantung sama orang lain. Meski pada area tertentu, manusia memang selalu punya keterbatasan. Lihatlah ia sekarang. Linglung sendirian.
Sabrina ketika sedih jadi banyak menghabiskan waktu untuk membaca. Kegiatannya ya diisi dengan bangun pagi, masak, bekerja, pulang, baca novel. Ia berusaha menghibur diri dengan melupakan. Meski ternyata, pilihan bacaan yang selera sekarang untuknya adalah yang mengundang tangis. Supaya ia punya alasan lain untuk menangis, selain menangisi sakit hatinya.
Sebanyak usaha ia berkata bahwa, ia tak mengapa harus pisah dengan Arka, tapi hubungan dua tahun belakang sudah banyak menyisakan memori indah. Dan memori seperti itu jadi terasa lain ketika dikenang sebab tahu kalau kisah itu nggak akan terulang lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet
General FictionKalau Sabrina pulang bareng Arka, maka dirinya harus berjalan keluar kantornya, menyeberangi jembatan layang, lalu turun, berjalan lagi di trotoar tak ramah pejalan kaki hingga memasuki arena pertokoan lalu berhenti ketika sampai di depan kedai mie...