Segelintir lilin terkurung di dalam lemari kusam nan berdebu, menunggu ajal mengerikan yang terpampang jelas di bawah sana, di atas ubin. Entah berapa banyak kawan mereka yang telah menyusut dibiarkan begitu saja, tidak dibuang, mengeras, dengan sumbu padam yang sempat diduduki oleh lidah-lidah kematian.
Angin malam menyusup lewat jendela, sangat lembut sehingga seharusnya tidak membuat setiap dari mereka menggigil. Namun, embusan tenang itu tidak bisa menyapu imaji menyeramkan tentang lidah api yang makin membesar, membakar kawan-kawan mereka perlahan-lahan di dalam ruang hitam.
Mereka hanya bisa tertegun setiap kali sang pemilik rumah menyalakan tujuh, delapan, atau bahkan belasan lilin untuk menemaninya saat hendak tidur. Yang menjadi kepercayaan mereka sementara ini, satu-satunya manusia yang menghuni rumah angker ini tidak memiliki pekerjaan lain selain membeli lilin dan memboroskannya.
Ya, teori itu sangat betul, khususnya bagi sebatang lilin kurus nan tinggi yang bertingkah seolah-olah sesak napas setiap detik. Kegelisahan yang mengitarinya setiap saat belum membuatnya sakit jiwa. Namun, percayalah, bahwa hal pertama yang akan ia lakukan begitu diberi mulut adalah berteriak sekencang mungkin, melepaskan rintihan dari dadanya.
Sebenarnya, tidak ada benda mati yang memiliki mulut, tangan, kaki, dan semacamnya. Jadi, bila ada satu anggota tubuh yang disebutkan, itu semua hanya citra belaka. Tidak akan ada benda yang jatuh dari lemari, naik ke kursi, atau berpindah dengan sendirinya secara misterius dan ajaib dalam cerita ini. Tidak perlu reaksi curiga dari manusia dan insiden kerusakan di balik layar agar sampai ke akhir. Jelas?
Baiklah, mari kembali ke dalam cerita. Seperti yang digambarkan, lilin inilah yang rasa takutnya paling menonjol dibanding semua sesamanya. Ia kebetulan ditempatkan di sebelah lilin pendek nan tebal yang sudah lama terkurung di dalam lemari. Sang lilin pendek sering merasa bosan dengan si lilin kurus, dan sebentar lagi akan diterangkan alasannya.
Embusan udara malam ini tidak begitu membuat nyaman. Semua lilin merintih karena dingin, karena mereka sebenarnya lebih suka akan angin hangat yang telah menghilang sejak bulan lalu. Bagi sang lilin pendek sendiri, angin sedingin apa pun tidak mengusik, asalkan ia bisa berpindah sejauh mungkin dari lilin kurus di sebelah kirinya.
Akan tetapi, di antara mereka semua, si lilin kurus tidak henti-hentinya merasa seperti yang paling terhantam. Di kepalanya, masih jelas gambaran lidah-lidah api yang memakan para lilin, menggerogot setiap bertih yang lalu meleleh, mengalir pelan ke bawah lantai. Imaji ini terlalu membekas, sampai-sampai tidak bisa sepenuhnya hilang meski belum benar-benar terjadi kepadanya.
"Ada apa sebenarnya dengan kau?" tanya sang lilin pendek di sebelahnya. Ia hanya lelah, resah dengan tampang si lilin kurus yang selalu tegang bak penderita insomnia. "Sang pemilik rumah masih bisa terlelap, meski tampaknya tidak pernah bahagia. Tapi kau, mengapa kau selalu terjaga, seperti hendak dimangsa saja?"
"A-aku tidak bisa," jawab lilin kurus itu. "Kenapa ... kenapa harus kita yang ada di dalam lemari berdebu ini? Apa kau ... apa kau tidak m-memikirkan hal yang sama?"
Sang lilin pendek sontak berpaling dari si lilin kurus. Selalu butuh waktu sejenak untuk menenangkan diri agar balasannya tidak sepanas-atau bahkan lebih dahsyat-dibandingkan para api maut. Mulanya, pertanyaan itu masih bisa ditoleransi olehnya, tetapi makin sering didengar, makin menyebalkan kalimat retoris itu baginya.
"Apa kau tidak punya hal lain untuk dikhawatirkan selain ajal? Bukannya melelahkan memikirkan hal yang sama terus-menerus, setiap detik, setiap menit, setiap jam? Kau terus memenjarakan dirimu sendiri dengan isi kepalamu itu."
"Memenjarakan diriku? Apa lagi yang bisa kulakukan? Setiap malam banyak sesama kita yang dibakar! Sampai berapa lama lagi lilin-lilin seperti kita dibunuh sia-sia? Kau tahu, sekali dia menyalakan api, dia tidak akan pernah mematikannya! Hanya sebuah keberuntungan bahwa api itu tidak melahap seisi rumah dalam sekejap hingga kini!"
Sang lilin pendek menatapnya dengan tajam, tidak sudi membuang waktu untuk bertengkar lagi. "Terus, kalau begitu, memang mengapa? Kita memang tidak bisa mengubah kenyataan. Kau akan mati, begitu pula aku. Tidak peduli berapa lama kita hidup, kita pasti akan mati."
Si lilin kurus bungkam untuk sementara. Ia sebenarnya masih hendak protes, menumpahkan isi hatinya yang terus terombang-ambing. Ia tidak terlalu bodoh untuk menyadari kekesalan sang lilin pendek terhadapnya. Akan tetapi, ia terlalu bebal karena terus mengusik lilin di sebelahnya dengan rasa khawatir yang tidak kunjung habis.
Ketika keheningan belum pecah, terdengar bunyi derit pintu yang dibuka oleh tidak lain dari sang pemilik rumah sendiri. Tidak ada yang pernah bisa melihat wajahnya, bahkan yang telah dinyalakan di atas lantai sekalipun. Semua tentang manusia itu tetap menjadi misteri bagi berbagai macam batang parafin yang dinyalakannya setiap malam.
Sebagai sedikit perspektif dari dunia di sekitar manusia ini, tidak ada yang tahu bahwa dia menyalakan lilin setiap malam, entah apa tujuannya. Manusia aneh ini sendiri bukan orang yang mudah diajak bicara. Dia selalu bungkam, mengurung dirinya sendiri dalam diam. Mungkin karena itulah satu lilin tidak cukup untuk melindunginya dari kegelapan. Belasan lilin pun tidak cukup untuk menghapus kehampaan di benaknya.
Bagai sebuah kamera keamanan, si lilin kurus memfokuskan pandangannya, mengikuti jejak sepasang kaki kusam yang lalu bersila dan duduk. Ia terus menduga-duga akan maksud di balik setiap gerakan tangan, ketukan kaki, dan bahkan suara menguap dari manusia aneh itu.
Sebaliknya, sang lilin pendek memandang bosan tanpa minat. Suasana kotor ruangan ini, lengkap dengan kumpulan debu di ubin serta berbagai serangga kecil kini tidak berkesan lagi baginya. Sang pemilik rumah tampak menaruh dua belas piring baru secara bersusun. Dari situ, sang lilin pendek tahu bahwa mulai malam ini, jumlah piring kecil yang digeser ke pojok ruangan akan bertambah sesuai jumlah tersebut.
"Kawan, bagaimana menurutmu? Katakanlah dia akan berbaik hati kepada kita. Katakanlah tidak akan ada yang lenyap malam ini ... ya, kan? Begitu, kan?"
Sang lilin pendek bisu. Semua lilin lainnya pun tidak bisa berkata apa-apa. Kalau ada kemungkinan kabur dan membebaskan diri, mungkin saja mereka mau. Masalahnya, kalaupun mungkin mengelak dari rumah angker ini, bagaimana caranya? Padahal, satu-satunya cara untuk bergerak adalah bergelinding, dan itu berisiko tinggi.
"Tolonglah! Kau jangan mengacuhkanku seperti ini tanpa kepastian! Sebentar lagi dia pasti akan merampas kita dengan kesepuluh kukunya yang tajam, kemudian menyapu korek dengan cepat ke atas sumbu kita! Bagaimana ini?"
Sang lilin pendek mendorong si lilin kurus yang telah mengguncangnya. "Bisakah kau diam dan tidak banyak bicara? Ocehanmu tidak akan menyalakan petir untuk membunuh manusia itu. Kalau kau sangat takut dengan api, ingat saja apa yang mereka katakan kepadamu tentang sensasi meleleh yang sesungguhnya!"
Meleleh ... meleleh .... Si lilin kurus hampir bungkam lagi oleh ketakutannya. "Te-te-tetapi aku cuma berharap agar kita semua selamat! Kalau kita bisa dimanfaatkan dengan cara lain, bukannya itu bagus? Maksudku, waktu itu mereka juga bilang bahwa kita bisa memperbaiki pintu, lukisan, makan malam romantis, dan lain sebagainya! Ya, aku yakin mereka bilang begitu!"
Lantas, sang lilin pendek mengangkat alis. "Terus, kau pikir itu benar-benar alternatif bagus untuk manusia itu?"
"Te-te-tentu saja! Dengan begitu kita bisa lebih lama hidup, bukan? Meski kita dibongkarnya menjadi kepingan sekalipun, setidaknya kita masih bisa berguna baginya, ya, bukan? Bahkan, kita bisa berpindah tangan dalam kondisi yang masih utuh, kalau dia mau berjualan lilin! Aha, itu ide bagus yang tak pernah kupikirkan!"
Sang lilin pendek makin frustrasi. Lilin panjang ini tidak tahu apa-apa. Suatu fakta makin jelas baginya, tentang kenaifan lilin produksi baru yang langsung dibeli dari pabrik. Tidak pernah dikeluarkan dari dus sejak lahir pasti membuatnya paranoid seperti ini. Si lilin kurus sendiri yang memberitahunya ketika tiba sebulan silam, tepat ketika dirinya telah setahun menetap di dalam lemari tanpa diambil sama sekali.
"Ide bagus, katamu? Kau kira hidup lebih lama, sampai-sampai tidak mati sama sekali, akan bagus bagi kita semua? Kalau begitu, apa kau mau sekalian bertanya kepada mereka yang mengeras di ambang pintu, yang terjebak di dalam lukisan, bahkan yang tenggelam di laut tentang indahnya hidup selamanya?"
Si lilin kurus bungkam sejenak. Menurutnya, sang lilin pendek mengatakan hal-hal yang sama sekali tidak masuk akal. Namun, ketika hendak membalas, tiba-tiba ia diambil bersama lilin pendek tersebut. Dua belas lilin berdesakan di dalam genggaman kedua tangan sang manusia sebelum ditaruh satu per satu di atas piring.
Tidak ... tidak ... ini benar-benar terjadi?
Dengan susah payah si lilin kurus membuka mata. Kemudian, rasanya ia ingin menghilang dalam sekejap. Mereka tidak ada lagi di atas, tetapi di bawah. Ubin yang penuh retakan kini tampak tepat di hadapannya, beserta semua serangga kurang ajar yang mendekati piringnya. Mimpi buruknya terwujud. Tuhan, tolong aku!
"K-k-kawan ... kawan ...." Si lilin kurus menutup mata rapat-rapat Tidak ada jalan keluar, tidak ada sayap kebebasan. Mereka akan berakhir di sini. Dirinya, sang lilin pendek, dan sepuluh lilin lainnya yang juga ingin hidup lebih lama lagi. Korek kedengarannya telah digesek. Ia langsung merasakan sensasi hangat itu.
"K-k-kawan ... kawanku!" teriaknya putus asa. Beruntungnya, lilin pendek yang dipanggilnya berada tepat di sebelahnya. Bukan karena persaudaraan erat lilin itu dipanggil, melainkan karena ketakutan yang merasuk. Lilin kurus itu hanya tidak mau sendirian, sungguh. Setidaknya kalau ia mati, ia tidak mau mati sebatang diri.
Percikan api telah dinyalakan, dilambaikan ke kiri dan ke kanan. Namun, tiba-tiba korek berhenti digerakkan. Kemudian, api itu pun diangkat ke atas oleh sang manusia. Hal itu membuat sepuluh lilin lainnya sedikit lega sehingga membuka mata. Sebaliknya, si lilin kurus masih menutup matanya rapat-rapat.
Tahu bahwa kalimat apa pun tidak akan menenangkan lilin tinggi di sebelahnya, sang lilin pendek pun diam. Ia memandang ke sekitar, mengamati posisi mereka di atas lantai. Debu, kegelapan, serangga, dan api kematian. Meski ada dua belas lilin di sini, tidak ada seorang pun yang bisa mencairkan suasana menjelang ajal.
Api kembali. Satu per satu sumbu dinyalakan oleh manusia itu. Setelah sejenak menunggu sang manusia tidur, tiba-tiba beberapa lilin langsung bergembira, merasa seperti bintang di langit. Setidaknya, hanya sang lilin pendek yang merasa agak aneh, karena selama sebulan penuh telah dijejali si lilin kurus dengan segala ketakutannya.
Berbicara tentang si lilin kurus, lilin penakut itu tidak berteriak akan kehadiran lidah api di atasnya. Ia malah bergetar dalam diam, tidak membantah beberapa lilin lain yang merasa seperti bintang. Mungkin ketakutannya sudah terlalu besar kini, hingga ia tidak bisa bersuara sedikit pun.
Sementara itu, sang lilin pendek juga bungkam. Ia sadar betul bahwa ajal sebatang lilin tidaklah cepat dan menyeramkan, tetapi cukup lambat dan aman. Meski begitu, ia akan mati dalam kegelapan. Ia akan lenyap jauh sebelum surya terbit. Sebagian dirinya terasa menjelma seperti keringat, dan makin lama makin banyak lelehannya. Begitu pula dengan si lilin kurus, yang kini tinggal setengah dari tingginya semula.
"Tolong ... hibur aku."
Sang lilin pendek tersentak. Ucapan selirih itu tanpa disangka membuatnya sedikit iba.
"Aku ... aku hancur."
Sama halnya dengan sang lilin pendek, yang juga tinggal setengah dari tingginya semula. "Dengar baik-baik. Waktu kita tidak lama lagi. Aku tidak akan menghiburmu, tetapi juga tidak akan memakimu. Kita akan terbakar. Tidak akan ada yang mematikan api ini hingga kita habis."
"Jadi?" Mata si lilin kurus makin basah. "Apa yang bisa kulakukan sekarang?"
"Tidak. Tidak ada apa-apa yang bisa kau, aku, atau lilin lain lakukan pada titik ini. Kita sedang meleleh, dan kita hanya bisa pasrah. Kita bukan pengendali nasib kita sendiri. Semua hal di dunia ini telah diatur sedemikian rupa. Kalau tugasku dan tugasmu hanya untuk meleleh demi menemani manusia ini, setidaknya kita sudah melakukannya dengan baik. Melakukan tugas yang seharusnya dilakukan sebagai sebatang lilin."
Si lilin kurus makin lemas. "Tapi mengapa ... mengapa harus sesingkat ini? Mengapa kita tidak bisa hidup lama dan menikmati dunia seutuhnya?"
Lilin di sebelahnya menunduk sendu. "Ya, kau tahu ... banyak orang tidak menikmati kehidupan seutuhnya, karena mereka merepotkan hal-hal yang seharusnya tidak dipedulikan terlebih dahulu. Ya, kukatakan "orang", karena manusia yang membakar kita pun tampak tidak pernah menikmati kehidupannya sendiri."
Si lilin kurus terus menyimak. "Lalu?"
"Lalu ... hal-hal yang tidak diinginkan tiba. Musibah, penyakit, apa pun itu yang merusak kehidupan manusia. Entah dari sana orang belajar bersyukur atau malah makin mengutuk Sang Penentu Takdir. Aku tidak tahu banyak tentang itu. Yang jelas, semua akan berakhir pada satu titik, yaitu kemusnahan, kelenyapan, dan ketiadaan. Kita sedang berjalan menuju titik itu, kawan. Titik akhir semua hal yang ada di dunia ini."
Si lilin kurus termenung. "Titik ... akhir?"
"Betul. Titik akhir. Tidak ada satu pun manusia, hewan, tumbuhan, atau pun barang fana yang bisa menghindari titik tersebut. Titik itu lebih kuat dari segalanya. Dari benteng pelindung, gedung rahasia, atau bintang terkuat sekali pun. Titik itu telah mengklaim semuanya, baik yang sudah tiada, masih ada detik ini, maupun yang belum tercipta di masa depan. Titik itu bisa datang kapan saja ia mau, kepada siapa saja."
"Seram."
"Justru itu," tambah sang lilin pendek. "Manusia juga bisa digerogoti laksana hancurnya kau dan aku. Api-api yang menggerogoti manusia bernama virus, dan virus-virus ini tidak kasat mata, membakar dari dalam tubuh mereka, bukan dari atas kepala. Mereka membuat manusia sangat menderita, seperti kita sekarang."
"Tragis."
"Memang, tetapi tidak semua manusia mati seperti itu. Ada yang langsung mati tiba-tiba, tanpa merasakan penderitaan yang sakit dan pelan. Namun, bukan itu inti ucapanku. Yang ingin kukatakan adalah ... kematian tidak selalu buruk. Kematian bisa kau hadapi. Kau perlu menghadapinya dengan tenang dan lapang dada. Itu saja yang kau perlukan."
Raut muka si lilin kurus kembali khawatir. Ia tidak lagi merespons.
"Memang, sulit kedengarannya. Aku sendiri tidak tahu apa aku bisa melakukan ini. Namun, mau tidak mau, suka tidak suka, kita pasti akan lenyap dari dunia, kapan pun itu. Malahan, sekarang aku bersyukur karena kita mati hari ini juga. Karena alasan apa aku tidak paham, tetapi aku yakin ini akan lebih baik bagi kita semua."
Si lilin kurus masih menatap sang lilin pendek dengan ragu. "Kau ... yakin?"
"Yakin tidak yakin, kita akan menghadapinya, sebentar lagi. Intinya, entah berapa jam lagi, kau dan aku akan tiada. Hidup kita akan selesai di dunia ini. Tidak ada lagi rasa takut, sesal, amarah, atau apa pun yang membelenggu. Itulah kebebasan yang sesungguhnya, menurutku."
Demikianlah kata-kata terakhir sang lilin pendek pada detik-detik penghujung kehidupan dirinya dan si lilin kurus. Si lilin kurus pun tidak berkutik lagi, kini memikirkan kalimat paling terakhir dari lilin di sebelah kanannya. Keduanya mengosongkan pikiran, kini merasakan kedamaian sejati. Keesokan paginya, mereka semua telah lenyap, ditelan api yang kini telah hangus menjadi abu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Akan Terbakar
Short StoryIni hanya sebuah kisah tanpa makna tentang rumah tua nan angker, seorang pemilik rumah yang aneh, serta lilin-lilin yang takut mati.