06. Bingung dengan Keadaan.

4 3 0
                                    

Hai? Sudah lama tidak menoreh kata disini.

Hariku antara baik-tidak-baik. Semuanya ibaratkan tinta yang terus diisi hingga penuh, lalu susah digunakan karena macet. Hingga akhirnya tinta itu tidak berkurang, malah menjadi beku karena tidak bisa digunakan.

Kalau ditanya, apa hal yang aku senangi di dunia ini? Itu banyak. Mulai dari Lee Haechan, langit di siang hari, sampai berjalan-jalan di antara sejuknya angin sore hari. Tidak bisa dijabarkan satu-satu, sih. Sebab aku termasuk orang yang menyukai apa saja. Jika cocok, ya sudah, maka aku akan menyukai itu.

Aku pun sudah terbiasa menyendiri. Berusaha mengerjakan apa pun dengan usaha sendiri. Rasanya, sudah lama sekali hidup ku dibantu oleh semua orang. Terlebih Ibu. Beliau selalu membantuku, sampai akhirnya aku bergantung padanya. Lalu ketika dirinya pergi, hidupku menjadi bingung.

Memang umurku ini masanya mencari jati diri, tapi ini terlalu mendadak. Semuanya seakan berdatangan hampir bersamaan yang membuatku kebingungan. Banyak orang berkata, "Apa yang membuatmu bingung? Tinggal jalani saja, pasti bisa."

Aku sangat ingin berteriak, bahwa aku juga tau! Tapi aku tak tau bagaimana cara menghentikan ini! Mendadak datang, lalu susah untuk pulang. Benar-benar membuat kepala ini meledak rasanya.

Aku merasa terlalu bodoh dan kaku untuk mencerna ini semua. Susah untuk dilangkahi dengan lancar. Pasti ada banyak rintangan yang datang. Sudah sekali terjatuh, lalu mencoba bangkit dengan susah payah. Sayangnya kembali jatuh dengan luka yang lebih banyak. Sebuah kehidupan yang malang, bukan?

"Biarin aja kali. Ntar Bapak lu juga capek sendiri. Gua heran, deh, Bapak lu udah tua masih aja bertingkah. Giliran sakit mampus-mampus, menyesal. Pengen banget gua katain orang tua lu tapi dosa gua udah banyak."

Itu perkataan panjang dari temanku—Rani saat aku tengah bertukar pesan dengannya. Agak kasar, sih, tapi perkataan temanku itu benar.

"Gimana, ya. Dia tuh selalu bikin panik," keluhku dengan tambahan emoji sedih.

Rani pun membalas, "Iya. Gak habis pikir gua sama Bapak lu itu. Tapi kasian juga, sih. Gimana pun juga dia orang tua, kan? Gak bisa didiemin gitu aja, durhaka anjir. Takut gak di ridhoin."

Aku mengangguk membenarkan lalu membalas 'Iya.'

Yang ku lakukan setiap hari mulai memberat. Jika di suruh pilih ingin bekerja sampai tidak tidur atau di rumah saja tapi mengurus ini-itu, maka aku memilih ingin bekerja sampai tidak tidur bahkan berhari-hari pun aku akan tetap memilih itu. Karena mengurus pekerjaan lebih baik dibandingkan mengurus orang rumah yang kedudukannya lebih besar.

Sebenarnya tidak tau, sih, karena aku belum merasakan kerja yang sebenarnya itu kayak apa. Beberapa bulan ini aku hanya sekolah, lalu pulang, mengerjakan tugas sekolah dan juga rumah. Tidak ada yang spesial. Aku jalani hari dengan perasaan datar yang sepi.

"Kamu mau jadi apa?" tanya Mas Aji kala itu aku berboncengan dengannya.

Aku yang ditanya seperti itu mulai berfikir. Kira-kira, apa yang aku inginkan? Apa bakat yang aku punya? Layak atau tidak aku diterima? Semuanya mulai berkumpul di otak ku menjadi satu, dan terus seperti itu sampai aku tak bisa berkata-kata. Mas Aji menyadari keterdiaman ku yang cukup lama, hingga akhirnya Ia buka suara.

"Masa depan kamu, yang nentuin kamu. Aku sama yang lain cuman mau kasih masukan atau saran yang mungkin bisa bantu kamu keluar dari kebingungan itu. Waktu kamu masih banyak. Tapi jangan sampai di sia-siakan hanya karena kamu yang terlalu lama berpikir."

Perkataan itu mulai menempel di benak ini. Benar, aku terlalu lama berpikir. Tapi waktu masih banyak. Kalau dihitung-hitung, dua kali dua sama dengan empat. Betul?

Betul.

Jadi, dua kali sama dua empat, maksudnya?

Astaghfirullah, mulai ngawur.

Waktu itu aku hanya diam dengan jawaban yang diberikan Mas Aji. Entah karena bingung ingin menjawab apa, atau bingung bagaimana mengakhiri percakapan ini. Jujur, aku sedikit muak ketika ditanya ingin apa? Mau ngambil apa? Dan sebagainya. Benar-benar menganggu dan membuat ragu. Tak bisa dipungkiri, aku yang kerjaannya hanya diam sambil merenung atas kebingungan ku, sekarang semakin sulit menentukan apa pun yang nanti menghampiri.

"Gua bisa hilang gak, sih?"

Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apa aku bisa hilang dari lingkup ku yang sekarang? Setelah itu aku bisa mencari masa depan ku sendiri ke lapak yang lebih luas. Tapi jika ditelaah kembali, aku tidak mungkin hilang dari sini. Karena mereka semua membutuhkan ku, kapan pun mereka mau.

"Gatau mulu, yang lain kek."

Kalimat itu selalu lewat ketika aku mengatakan tidak tau jika ditanya atau ditawari beberapa hal. Kesannya seperti orang bodoh, tapi aku memang bodoh. Sulit rasanya memilih apa yang diinginkan atau apa yang di mau. Semuanya terasa abu-abu, meski sesepele ingin nasi uduk atau nasi biasa.

Sudah, hidup ini tidak jelas. Sampai lama pun ketidakjelasan ini tak akan selesai begitu saja.

-----

Halaman ini menggambarkan bagaimana perasaan seorang Penulis yang masih bingung akan apa yang Ia lakukan selama ini. Membingungkan, seperti judul yang tertera di cerita.

Ingin tau mengapa cerita ini disebut "Menetap dan Ditinggalkan."? Seperti yang ditunjukkan oleh saya, bagaimana keadaan seseorang yang harus memilih menetap, atau hanya menerima bahwa Ia telah ditinggalkan.

— Menetap, dan (atau) Ditinggalkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 29, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menetap dan DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang