Prolog

5 0 0
                                    

Di luar sedang hujan besar dengan petir yang menyambar. Hawa dingin mulai terasa menusuk kulit. Namun sepertinya itu tidak berlaku untuk dua orang perempuan cantik yang sedang berbincang sore itu. Perbincangan yang cukup panas.

"sudah terlihat cukup besar ya.." ucap seorang wanita dengan matanya yang berkaca-kaca.

Seorang perempuan muda dihadapannya terlihat lesu dan berantakan hanya mengangguk dan tak sanggup lagi membendung air matanya yang sedari tadi ditahan. "aku.. aku... ka-kayaknya nggak bisaa.." ucapnya dengan air mata yang terus mengalir.

Wanita itu mengelus rambut sang perempuan dengan penuh kasih sayang. "saya tau ini berat, tapi saya mohon dengan sangat.." ucapnya lirih. "ini, untuk kamu. Saya rasa ini sangat cukup." Wanita itu mengambil sebuah cek dengan nilai yang fantastis dari dalam tasnya.

Perempuan itu terus menangis tanpa hambatan. Sang wanita memeluknya dengan penuh kelembutan sambil terus mengelus rambutnya. Kebetulan di ruangan ini hanya ada mereka berdua. Tak ada siapa pun. Walaupun diluar sedang hujan besar, rasanya tidak begitu terdengar. Yang terdengar sekarang hanya suara tangisan yang tak ada hentinya. Hujan sore ini seolah menggambarkan bahwa semesta pun ikut menangis bersama perempuan malang itu.

____

"gimana keadaan Braga, pa? udah siuman?" Helen baru saja datang dan terlihat panik melihat anak semata wayangnya masih berbaring lemas di kasur rumah sakit. Dia baru saja pulang dari pertemuannya dengan seorang perempuan.

Haris menggeleng. Dia yang sedari tadi duduk menunggu Braga disana belum melihat sedikit pun pergerakan dari Braga. "belum, ma. Kita doakan saja.." jawabnya lirih. "gimana tadi? udah beres?" Haris balik bertanya.

"sudah, semuanya aman." jawab Helen. Dia masih terus menatap wajah Braga. Anak yang tampan itu belum sadarkan diri selama sepuluh jam. "sayang, mama disini,lho. Yuk bangun yuk, sayang.." Helen mengelus rambut Braga dengan lembut dan penuh kasih sayang. Air matanya terus menetes, tak bisa ia tahan.

Haris yang melihat Helen menangis pun tak sadar juga ikut menangis walaupun tidak sederas istrinya. "apa kita salah ambil langkah ya, ma?" kalimat itu tiba-tiba keluar dari mulut Haris. Helen langsung menatap tajam ke arahnya.

"apa aku bilang, ini terlalu bahaya!" Helen bersuara dengan nada tinggi. Dia tak bisa mengontrol kesedihan dan emosinya. Haris mengusap wajahnya dan mengacak-acak rambutnya. Dia pun kini tak karuan. Dia memilih untuk diam daripada berbicara yang nantinya akan menimbulkan pertengkaran dengan Helen. Di dalam ruangan kini hanya terdengar suara tangisan Helen yang semakin menjadi-jadi. Sementara diluar hujan masih turun dengan deras.

Beberapa menit berlalu, Helen sudah semakin tenang. Dia juga sudah tidak menangis. Emosinya sudah stabil. Disampingnya kini ada Haris yang terus merangkulnya dengan kehangatan. Keduanya terus memandangi Braga yang masih tak sadarkan diri.

"semuanya sudah terlanjur terjadi. Sekarang apapun yang terjadi aku ikhlas. Kita harus ikhlas, pa.." lirih Helen dengan suaranya yang masih serak. Haris dan Helen tak hentinya memanjatkan doa agar anaknya segera siuman.

Di tengah keheningan, tiba-tiba Braga mulai menggerakan jemari tangannya perlahan. "maa.. pa.." ucap Braga sangat pelan. Helen dan Haris terkejut bukan main. Akhirnya, saat yang dinantikan mereka berdua terjadi. Braga sudah siuman.

"iya sayang.. mama disini sayang.." ucap Helen sambil menitikan air mata. Seolah masih tak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya sekarang ini. Helen terus mengelus rambut Braga.

"papa juga ada disini, nak.." Haris menyaut. Dia ikut terharu.

____

Perempuan itu terus berjalan gontai menerjang derasnya hujan. Dia masih menangis. Tapi kali ini tangisannya tak terlihat karena dibawah air hujan. Penampilannya yang urakan membuat siapapun yang melihatnya pasti akan mengira dirinya orang gila.

"Tuhaannnn.. ini gak adil..." ucapnya lirih. Dia sudah kehilangan semangat untuk hidup. Bahkan dia berharap malam itu disambar petir.

Jalan raya tidak begitu ramai namun ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang. Perempuan itu berniat ingin bunuh diri dengan cara berdiri di tengah jalan. Ya, dia benar-benar tak ingin hidup. Untuk apa hidup? Perempuan itu kini sudah membulatkan tekad untuk bunuh diri. Dia perlahan berjalan menuju ke tengah dengan sisa-sisa energi yang dimilikinya. Kini dia tinggal menunggu waktu yang pas. Menunggu mobil besar melaju dengan kencang dan menghantam tubuhnya.

Beberapa menit berlalu, kini jalan nampak sangat sepi. Aneh. Padahal sebelumnya lumayan banyak kendaraan melintas.
"apa ini Tuhan, lo masih biarin gue hidup? hidup dengan kesengsaraan dan makian?" Perempuan itu sedikit berteriak. Dia tak mengerti skenario apa yang sudah Tuhan buat untuknya? Apakah ini pertanda kalau Tuhan tak mengizinkannya meninggal dengan cepat?

Energinya habis. Dia sudah tak sanggup berdiri menunggu kendaraan melintas. Dia akhirnya terduduk di dekat trotoar sambil mengelus perutnya. Mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. "oke kalau gitu.. kita kuat.." Terdengar suara tawa yang keluar dari mulutnya. Suara tawa yang penuh amarah dan dendam.

____

Darla DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang