Mimpi yang Tak Kunjung Mau Menepi

35 5 3
                                    

Apa kamu punya impian? Suatu angan yang tak pernah bosan kau langitkan di antara bisingnya angkasa harapan ....

"Zea, berisik!"

Tanpa perlu menoleh ke sumber suara, aku menghindar dari gumpalan kertas yang terarah kepadaku, masih dengan tangan yang sibuk men-dribble bola basket. Aku tergelak puas karena aksi Tesya tidak berhasil menghentikan kesibukanku. Demi menghayati peran untuk membuatnya tambah kesal maksimal, aku menjulurkan lidah, meledek anak itu.

Tak dapat diragukan lagi, gadis yang sedang mencoba fokus pada musik mellow di earphone-nya itu lekas saja memburuku. Dengan tangan teracung layaknya ibu-ibu yang tengah memprotes harga daster di pasar malam, Tesya berteriak kencang, "Selain di waktu makan dan tidur, kamu kapan bisa diamnya, sih? Ayolah! LDR dengan bola basket hanya untuk beberapa menit tidak akan membuatmu mati!"

Seisi kelas sudah dipenuhi oleh kegaduhan yang aku dan Tesya ciptakan. Bangku-bangku tersingkap. Begitu dihadapkan kursi anak perempuan yang tengah bergosip di tengah-tengah barisan, aku melompat ke atas meja, membuat anak perempuan itu menjerit kaget dan menghindar. Meski melancarkan atraksi memukau begitu, bola oranye tadi masihlah mampu dikendalikan oleh tanganku.

Di tengah pengejaran Tesya, aku menyempatkan diri untuk melempar basket ke dinding, persis di dekat jam yang baru dibeli tiga hari lalu. Lamat-lamat, kudengar seruan marah dari bendahara kelas. Setelah berkelit menghindari cengkeraman Tesya, aku sampai di depan bingkai pintu kelas, lantas menangkap kembali bola basket yang memantul di dinding. Beberapa kalimat protes mulai bermunculan.

Garda, si ketua kelas pun angkat suara. "Tolong jangan berbuat kekacauan di dalam kelas! Sebentar lagi jam istirahat habis."

Baiklah, siapa peduli? Lihat muka bersungut-sungutnya itu! Sangat suram dan mengenaskan. Dasar, anak yang terlalu mematuhi peraturan memanglah menyedihkan.

Aksi kejar-kejaran terus berlanjut di lorong kelas. Aku menghalau setiap anak di hadapan yang berniat kembali ke kelasnya masing-masing setelah kenyang makan soto ayam Mang Dod. Mereka menggerutu sebal. Tesya masih terus mengejarku, sementara aku terus memantulkan bola dengan berbagai gaya yang keren.

Begitu kami sampai di tengah lapangan, barulah Tesya menyadari posisi dan situasinya. "Ze, aku peringatkan padamu, ya. Dua menit lagi bel berbunyi, dan kita akan dimarahi Miss Syarah jika terlambat datang ke kelas. Kamu tidak berniat meraih peringkat pertama untuk daftar hitam Persatas, 'kan?"

"Kalau iya, bagaimana?" Dengan santai, aku memutar bola basket di ujung jari telunjukku.

"Itu gila." Tesya melotot. "Jangan terlalu naif, deh. Kamu sudah terlalu sering membolos hanya untuk sok berlatih basket. Jadi atlet ternama? Hei, usaha kerasmu bahkan tidak cukup untuk membuatmu sekadar diterima jadi anggota inti tim basket sekolah! Realistis sedikit, deh!"

Realistis? Hah? Apa kita membutuhkannya untuk bermimpi? Aku berhenti memutar bola, lantas menangkapnya.

"Terlalu optimis pada kerja kerasmu itu tidak baik, lho. Ada banyak variabel yang memengaruhi keberhasilan, selain usaha. Masih ada faktor bakat dan keberuntungan. Pertimbangkan itu." Tesya mengembuskan napas berat. "Itu bola yang kamu curi dari ruang olahraga, 'kan? Cepat kembalikan. Pak Uzaz pasti akan mencarinya."

Aku bergeming di tengah lapangan, tak peduli dengan langkah Tesya yang perlahan menjauhiku. Anak itu akan kembali ke kelas. Bel sudah berbunyi nyaring di setiap penjuru Persatas.

Naif?

Menyebalkan. Aku mencengkeram bola di tanganku kuat-kuat. Refleks, aku men-dribble bola beberapa kali, lantas sedikit meloncat untuk menembaknya ke arah ring. Meleset. Bola itu malah mengenai papan ring, memantul, lantas menggelinding ke arah kakiku.

Memori Histori [Forwistree]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang