Chapter 1

157 17 18
                                    

Lembar demi lembar dibacanya dengan cermat, menelaah satu persatu kalimat yang masih rancu maknanya. Sesekali ia menempel sticky note di buku bersampul cokelat kesayangan miliknya. Siswi berambut sebahu itu beberapa kali menganggukan kepalanya, bibirnya bergerak mengikuti untaian syair yang didengarnya.

Hening, fokus, itu lah yang terlihat oleh teman-teman satu kelasnya. Tapi bagi Alin, ia sedang dihanyutkan oleh melodi-melodi indah dalam dunia yang ia ciptakan sendiri.

"Eh liat deh dia, aneh banget ga si? Temenin sana." telunjuk Rere mengarah ke Alin yang tengah asyik membaca buku di tempat duduknya.

"Ogah si kalo gue, lo aja kalo mau ahahaha." timpal Lora, ia melempar tawanya remeh.

Tak lama kemudian setelah mengamati tingkah Alin yang tampak sama sekali tak terusik dengan celotehannya itu, mereka kembali melanjutkan bermain truth or dare sembari merayakan jam kosong yang bagi sekolah mereka adalah suatu keajaiban.

Hampir semua murid di kelas itu ikut bermain, dari yang rajin sampai yang terbilang pemalas. Tak terkecuali Alin. Bukan hanya saat jam kosong saja, tapi saat jam pelajaran pun Alin terbilang irit bicara. Oleh karena itu, ia sering disebut anak aneh, aneh bagi teman-teman satu kelasnya yang terbiasa menghabiskan banyak waktu bersama karena ia lebih senang menyendiri.

Sehabis lagu 'Listen Before I Go' milik Billie Eilish itu selesai diputar, Alin mengeluarkan bekal makanan yang sudah ia siapkan dari rumah. Ditaruhnya bekal itu di atas meja. Tatapannya pun tertahan sebentar pada sandwich telur di hadapannya, "Mmm, enak banget roti buatan Ibu." gumam gadis itu.

Alin mengambil satu potong roti, lalu ketika roti itu akan mendarat di mulut Alin , tiba-tiba...

"Wahh ada yang bawa bekal ga bilang-bilang nih!" Tama menyambar roti yang hendak dimakan Alin, ia lantas mengunyahnya dengan lahap.

Alin tersontak, ia langsung melepas headset yang menempel di telinganya.

"Enakk, mantap!!" seru Tama dengan mulut yang masih penuh dengan santapan bekal milik Alin.

Kini semua pandangan anak-anak satu kelas tertuju kepada Tama. Andy yang melihatnya, kemudian datang menghampiri dari arah depan. "Weh, gue juga bagi kali, Lin!"

Ia mengambil sepotong roti lalu menunjukkan tinggi-tinggi wadah bekal milik Alin. Andy bahkan membagikan sisa roti itu dengan percuma kepada yang lain.

"Udah gratis, enak lagi hahahaha!"

"Lain kali bawa yang lebih banyak kek, Lin. Kalo Cuma segini mah kurang buat sekelas."

"Hahahaha bisa aja."

Ludes. Wadah bekal Alin bersih tak tersisa.

"Besok bawa lagi yang banyak ya, cayang akoh. Kalo bisa tiap hari menunya ganti ahaha." cibir Rere seraya menepuk-nepuk bahu Alin.

Alin reflek menoleh ke arah bahu kanannya. Dengan wajah memelas, ia menatap Rere dan Lora yang tengah tertawa terbahak-bahak secara bergantian.

"Bye Alin, yuk Re kita lanjut main lagi!"

Alin masih terpaku di tempat duduknya. Ia memandangi punggung Rere dan Lora yang kini perlahan menjauh.

Balkon rumahnya tampak berantakan. Seragam sekolah yang tergeletak di bangku tanpa dirapikan, tas ransel berisi satu buku tulis yang berserakan, serta remahan kulit kuaci yang tercecer dimana-mana.

"50 ribu, 50 ribu, 50 ribu, 20 ribu, 10 ribu..."

"Masih kurang berape?" tanya Alipan selaku tuan rumah.

"Kurang 50 ribu?" timpal Rama yang sedari tadi memerhatikan Miki sedang serius menghitung uang.

"Yaudah sini pake uang gue dulu." Alipan merogoh dompet di saku celananya.

How It Ends?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang