Prolog

878 68 2
                                    

"Hakim memutuskan permohonan penggugat untuk bercerai dengan suaminya terkabul." Hakim mengetuk palu tiga kali setelah perkataannya membuat beberapa orang di persidangan membisu. Bibir orang-orang itu masih terkatup tatkala sang hakim kembali berseru. "Sidang hari ini ditutup!"

Tak!

Mendengar suara ketukan palu terakhir membuat perasaan Mitra lega. Ini adalah hari yang paling dinanti-nantikannya selama 11 tahun berumahtangga. Hari dimana ia bisa lepas dari cengkraman Adinatha, suaminya yang bedebah.

"Bunda." Jari jemari mungil anak itu menarik-narik ujung baju Mitra agar atensinya teralihkan. "Kita kapan pulangnya? Bunda lupa ini ulang tahun Hasa? Hasa mau makan kue. Ajak Ayah juga. Hasa nggak pernah ngerayain ulang tahun bareng Ayah karena Ayah jarang pulang ke rumah. Sekarang kita udah ketemu Ayah tapi Ayah malah pergi sama perempuan jelek tadi."

"Sabar, Sa. Lagian kita emang ada uang buat beli kue?" kata Alung yang membuat rengekan Haren berhenti. Alung menoleh ke arah Mitra, di dalam pikirannya masih ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang ingin diajukan kepada ibundanya.

Kini tatapan sendu Mitra berikan seraya mengulas senyum getir. Perutnya yang membuncit ia elus dengan sayang. "Sekarang Ayah nggak akan tinggal bareng kita lagi... Bunda bakal berusaha bikin kalian hidup bahagia walau tanpa Ayah. Kalian harus tetep sama Bunda sampe adik baru kalian lahir. Tetep jadi kebanggaan Bunda. Janji?"

Perkataan Mitra diangguki patah-patah oleh Alung. Sementara Haren dan si kecil Magani hanya memandang heran dengan mulut yang kelu.

 Sementara Haren dan si kecil Magani hanya memandang heran dengan mulut yang kelu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
4 Kebanggaan BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang