Day 4. Kenangan

15 5 0
                                    

Disclaimernya masih sama dengan yang sebelum-sebelumnya. (Elkan terdeteksi mulai malas ngetik)
.

Langit menghela napas yang terasa berat, saat kakinya melewati ruang rekaman milik agensi Caelum. Bayang-bayang pemuda dengan manik keemasan tengah menyanyi terus saja melindas mindanya. Padahal Langit tahu tiada, tetapi dengan bodohnya masih mengecek dan berharap akan eksistensinya.

Sial.

Barusan tadi Vero menghubunginya, bilang ia masih tidak menemukan jejak Ryuu sama sekali. Ia nihil dimana-mana.

Masalahnya, sudah lima bulan. Sejak Ryuu meminta buat memutuskan kontrak dengan agensi. Langit yang menentang, sebab Ryuu sama sekali tidak mengajukan alasan masuk akal. Mereka berseteru. Lalu sang adik benar-benar memutuskan kontrak secara sepihak. Tiba-tiba meninggalkan pesan bahwa ia akan pergi. Kamar Ryuu kosong. Nomor teleponnya diganti.

Ryuu menghilang bagai ditelan bumi.

Dibandingkan kesal, sekarang Langit sedang khawatir kalau adiknya itu kenapa-napa.

"Bagaimana Ryuu?" Riz menghentikan langkahnya di lorong.

Langit seakan disentak paksa ke alam nyata. Mendapati karibnya bertanya dengan sorot hangat di mata.

Terkekeh kecil yang hambar, Langit mengangkat bahu. "Seperti biasa."

"Astaga- ini sudah setengah tahun.. ya?" Wajah pemuda itu panik.

Pasrah Langit mengangguk. "Akan kucoba menghubungi polisi setelah ini." Awalnya enggan karena sepertinya karir emas Ryuu akan rusak gara-gara bakal bertemu dengan yang macam-macam. Tetapi, sekarang keberadaannya lebih penting dari apapun.

"Semoga cepat ketemu." Doa Riz Langit amini. Kemudian menepuk bahunya, Langit beranjak pergi.

Langkahnya bersusulan menuju apartemen, yang hanya berjarak beberapa menit berjalan kaki dari sini. Memasukkan sandi dan pintu terbuka. Lagi-lagi Langit berharap di balik pintu, ada Ryuu yang tengah menonton TV, berlatih vokal atau apapun.

"Aku pulang." Berseru pelan. Berharap sahutan riang menyambut. Tetapi hanya sepi yang menjawab.

Ah, lagi-lagi Langit menjadi lesu. Padahal salahnya berharap keajaiban tak menentu. Pilu.

Langit letih.

Kakinya membawanya ke kamar Ryuu. Membuka pintu. Masih tak berubah dari yang terakhir kali Langit bersihkan. Ada buku-buku yang tersusun. Kertas-kertas kosong di nakas. Kasur dengan sprei tanpa kerutan. Mata elang Langit tertuju pada pigura foto di meja.

Dan kenangan seenaknya melindas jiwa. Ah, Langit mengumpat.

Tangannya meraih foto itu. Sekeluarga, sebelum ibu dan ayah tiada. Berisi senyum cerah mereka. Langit tersenyum kecut. Tanpa sadar mencengkeram.

Apakah Langit memang tak becus menjadi kakak, sehingga masalah milik Ryuu pun tak ia ketahui? Sehingga Ryuu tak mau bercerita dan memilih lari? Dalam hati Langit memohon ampun. Kepada ibu dan ayah yang menitipkan Ryuu. Sebab tak mampu menjaganya dengan baik. Kepada Ryuu yang pergi dari rumah. Karena tak pantas menjadi tempatnya bercerita.

Tetapi ampun miliknya tak tersampaikan dan jadi tak ada artinya.

Salah Langit kepada Ryuu apa, kira-kira?

Ponsel Langit berbunyi. Ada chat masuk. Dihidupkan.

Dari Elkan.

'Langit, ada surat untukmu dari Ryuu, tetapi terkirim ke tempatku. Sepertinya salah alamat.'

Netra monokrom abu-abu membeliak.

'Tunggu. Aku ke atas sekarang.'

Bersambung ke Day 7.

Cerita Cerita Di NovemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang