"Ibu sama bapak mau pulang malam ini juga. Jadi, kamu urus ini si Zahra. Dia sendirian di kamar ini. Oh iya kamu jangan bilang sama Ghazi kalau Zahra ini adalah adik kamu ya. Bilang aja kalau kamu itu anak tunggal dan jangan lupa bilang kalau Ibu dan bapak itu yang udah sangat berjasa untuk kamu," sambung Ibu Maya.
Ghazi mengepalkan tangannya dan menggeleng pelan. Tidak habis pikir dengan ucapan Ibu Maya. Tanpa aba-aba pria itu langsung mematikan ponsel milik Maura dan meletakkannya kembali pada tempat semula.
Dengan langkahnya yang lebar Ghazi menghampiri pintu, membukanya dengan tidak sabaran dan melangkah semakin cepat menuruni tangga sampai ia lupa jika rumahnya tersedia lift yang letaknya tidak jauh dari kamarnya tadi.
"Loh Ghazi? Kok ka ... mu?"
Ibu Maya tidak bisa melanjutkan ucapannya saat Ghazi langsung menyalaminya dan memberikan senyuman manis padanya.
Terlihat salah tingkah ia membalas senyuman menantunya ini.Buk Maya baru menutup pintu kamar yang rencanya untuk ia inapi malam ini bersama Bapak Hadi malam ini.
"Ibu jadi pulang malam ini?" tanya Ghazi dengan lembut.
Ghazi mencoba bersikap sewajarnya pada Buk Maya. Buk Maya terlihat kikuk dan menutar bola matanya seolah sedang berpikir keras atau mungkin justru sedang dilanda kebingungan karena pertanyaan yang Ghazi lontarkan.
"Emm kamu tau?" tanya Buk Maya.
Ghazi tersenyum lagi dan mengangguk pelan. Dahinya sedikit mengernyit melihat Buk Maya yang semakin gugup, wanita paruh baya itu memainkan kesepuluh jarinya dengan wajah gusar.
Lama Buk Maya hanya diam tanpa kata. Yang bisa dibaca dari raut wajahnya hanyalah raut bingung dan wajah pias bagai orang yang terciduk karena melakukan sesuatu.
"Bapak mana Buk?" tanya Ghazi.
Ghazi berusaha mencairkan suasana agar Buk Maya tidak terlalu gugup.
Buk Maya sedikit tersentak dan menatap pada pintu kamar yang tertutup rapat."Buk?" panggil Ghazi lagi.
"Emm bapak udah di mobil. Kita memang harus pulang malam ini dan Ibu mau jemput Zah...," jawab Buk Maya dengan sedikit nada terbata.
"Harus pulang malam ini juga ya Buk?" tanya Ghazi lagi.
Bukan apa-apa, ia hanya merasa aneh saja pada orang tua dari Maura. Tidak biasanya orang tua dari mempelai wanita akan memilih pulang ke rumahnya bahkan sebelum sang putri sempat berbincang dengannya setelah acara pernikahannya tadi.
Sedikit banyak Ghazi bisa menilai bagaimana sifat Buk Maya yang ia pahami secara spontan dari sambungan telepon tadi.
"Iya Nak. Besok pagi bapak harus segera berangkat ke luar kota dan tidak bisa ditunda lagi," jawab Buk Maya.
Ghazi mengangguk dengan artian tidak menentu. Antara percaya atau tidak.
"Nggak mau nunggu Maura dulu Buk. Dia lagi mandi," ujar Ghazi yang membuat Buk Maya membola tapi dengan cepat wanita paruh baya itu menormalkan raut wajahnya.
"Kayaknya nggak usah deh. Ini udah malam banget. Takutnya akan semakin malam nyampe rumahnya," sahut Buk Maya dengan suara yang lebih rileks dari sebelumnya.
"Oh iya Buk. Zahra biar di sini aja. Dia tinggal di sini aja sama aku dan Maura. Kedatangan aku ke sini juga sebenarnya mau jemput Zahra," kata Ghazi.
"Memangnya Maura ada bilang apa sama kamu sampe kamu jemput Zahra segala ke sini?" tanya Buk Maya.
Buk Maya menatap curiga pada Ghazi. Nada yang ia lontarkan pun terdengar memburu.
"Enggak ada bilang apa-apa Buk. Aku cuma tahu aja kalau Ibu mau pulang malam ini makanya aku coba tahan Zahra biar di sini dulu sama aku dan Maura. Takutnya kalau ikut Ibu dan bapak yang ada Zahra malah merepotkan," jelas Ghazi.
Mencoba tidak peduli pada perasaan Buk Maya yang akan tersinggung atau tidak, Ghazi hanya mengatakan apa yang tadi ia dengar dari Buk Maya melalui sambungan telepon.
"Oh em memangnya nggak apa-apa kalau Zahra tetap di sini? Kamu dan Maura tidak akan terganggu?" tanya Buk Maya lagi.
Ghazi menggangguk dengan sangat yakin. Dalam pikiran Ghazi saat ini sedang menerka bagaimana sebenarnya sifat sang ibu mertua. Bukankah tadi di telepon Buk Maya sendiri yang meminta pada Maura untuk menjemput Zahra ke lantai bawah? Lantas mengapa sekarang Buk Maya yang ini sangat berbeda dengan yang tadi menelpon?
"Ya udah Buk. Udah malam juga dan takutnya Ibu sama bapak kemalaman. Biar aku temui Zahra dulu. Zahra ada di dalam kan, Buk?" tanya Ghazi.
"Iya. Zahra ada di dalam dan sedang tidur. Ibu hanya mengambil beberapa barang aja kok. Ini udah semua di sini," kata Buk Maya.
"Udah nggak ada yang ketinggalan lagi kan, Buk?"
Ghazi melontarkan lagi pertanyaannya. Matanya ikut mengarah pada tas yang ada di tangan Buk Maya. Tas dengan ukuran sedang. Mungkin di dalam barang yang tadi dimaksud oleh Buk Maya.
"Nggak kok. Udah semua ini. Kalau gitu Ibu pergi dulu ya. Tolong sampaikan salam dari Ibu untuk Maura," ujar Buk Maya.
"Insya Allah, nanti akan aku sampaikan. Buk," jawab Ghazi.
Buk Maya mengangguk dan pergi dari hadapan Ghazi. Dahi Ghazi mengernyit dan ekor matanya mengikuti pergerakan Buk Maya sanpai keluar dari pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu rumahnya.
"Astaghfirullah,"
Ghazi menggeleng pelan guna mengusir pikiran yang tidak diinginkan masuk ke dalam otak tampannya.
Memilih melangkah maju dua langkah dan memutar handle pintu yang tidak terkunci, Ghazi masuk ke kamar yang di mana Zahra tertidur pulas dengan selimut sebatas pinggang.
"Mirip Maura," gumam Ghazi.
Tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat wajah polos Zahra yang tertidur pulas.
Tanpa banyak pikir, Ghazi menyibak selimut dari tubuh Zahra dan mengangkat gadis kecil yang kira-kira berusia tujuh tahun itu ke dalam gendongannya.
Menggendong Zahra dan kali ini Ghazi menaiki lift agar lebih mudah dan tidak bisa dipungkiri jika Zahra yang memiliki tubuh gempal terasa sedikit berat bagi Ghazi.
Sesampainya di lantai tiga, di mana tepatnya kamar milik Ghazi berada, pria itu keluar dari lift dan masuk dalam kamarnya.
Maura yang sedang menyisir rambut tersentak pelan mendengar bunyi pintu yang terbuka dengan sedikit keras. Antara heran dan bingung Maura melihat Zahra, sang adik ada dalam gendongan Ghazi.
Ada apa ini? Mengapa Ghazi bisa membawa Zahra ke dalam kamar ini. Apa yang sudah terlewatkan oleh Maura selama dua puluh menit berada di dalam kamar mandi lalu dilanjut dengan mengeringkan rambut dan menyisir surai hitam legamnya itu?
Maura mendekat pada tempat tidur. Ghazi membaringkan tubuh Zahra di sana.
"Kenapa Zahra dibawa ke sini Mas?" .
Ghazi langsung menoleh pada Maura. Bukan karena pertanyaannya tapi pada kata terakhir yang Maura ucapkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ungkapan Takdir (Tamat)
RomanceTidak ada opsi penolakan bagi Maura untuk perjodohan paksa yang dilakukan orang tua angkatnya. HARUS MENERIMA dan itu adalah awal warna-warni hidup barunya. Akankah Maura bahagia atau malah semakin ditikam derita dengan adanya kata "sah" antara ia...