Maura mendekat pada tempat tidur. Ghazi membaringkan tubuh Zahra di sana.
"Kenapa Zahra dibawa ke sini Mas?" tanya Maura.
Ghazi langsung menoleh pada Maura. Bukan karena pertanyaannya tapi pada kata terakhir yang Maura ucapkan.
Terdengar aneh saja saat dipanggil begitu oleh Maura. Ia biasanya dipanggil pak, tapi kali ini dipanggil mas."Ibu yang minta," jawab Ghazi singkat.
"Ibu aku, Mas?" tanya Maura lagi.
Ghazi mengangguk. Menatap pada ponsel Maura yang kini sudah berada di atas meja, Ghazi mengisyaratkan dengan lirikan matanya agar Maura ikut mengikuti arah pandangnya.
"Tadi ibu nelpon. Kamu lagi di kamar mandi dan maaf aku angkat teleponnya tanpa izin kamu dulu," ujar Ghazi.
Maura menunduk saat Ghazi menatapnya. Tangannya ia ulurkan untuk menyelimuti sebagian tubuh Zahra yang tengah terlelap.
"Ibu bilang apa aja, Mas?" tanya Maura.
Ghazi mendudukkan tubuhnya pada sofa di dekat tembok.
"Kapan? Tadi waktu di bawah atau tadi waktu dia telpon?" tanya Ghazi.
Ghazi bertanya balik karena memang yang dikatakan sang ibu mertua berbeda antara saat di telpon saatsaat face to face dengannya tadi.
"Waktu ibu telpon, Mas."
Maura mengelus pergelangan tangan Zahra yang sepertinya tidak terusik sedikit pun dengan suara mereka.
"Semuanya aku rekam tadi. Jadi kamu bisa dengar di hp kamu," jawab Ghazi.
Maura mengangguk. Tangan kirinya ia ulurkan untuk mengapai ponsel dan menbawanya ke arah balkon kamar, agar bisa mendengar dengan jelas suara hasil rekaman percakapan antara Ghazi dan Buk Maya.
Bibir Maura tersenyum miris setelah rekaman itu usai. Maura tidak bisa menuruti apa kata Buk Maya mengenai kebaikan wanita paruh baya itu untuk disampaikan pada Ghazi karena Ghazi sudah tahu semua dan Maura yakin saat ini Ghazi pasti paham sifat Buk Maya.
Mungkin karena itu juga Ghazi membawa Zahra ke sini. Tanpa disadari, Maura menitikkan air mata. Merasa sedih sekaligus sakit pada ucapan Buk Maya yang menganggap Zahra hanya bisa merepotkannya.
"Maafkan aku Buk. Aku dan Acha memang selalu merepotkan ibu," ujar Maura dalam batin.
Maura mengelus lengannya yang terasa dingin. Angin malam berhembus dengan lembut, membawa kadamaian malam yang sejuk sampai menembus qalbu.
Sedikit mendongak Maura bisa melihat hamparan bintang dengan cahayanya yang menghiasi malam. Memanjakan mata di malam hari seperti ini. Terasa damai seolah para bintang dihadirkan untuk menghibur gundah gulana yang kini menggerogoti hati Maura.
Tidak lama Maura menikmati indahnya kerlipan bintang, ia tersadar jika Zahra tertidur di dalam kamar milik Ghazi. Maura melangkah kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu pembatas antara kamar dan balkon.
Mendekati tempat tidur yang sudah ada Zahra di sana dan terkaget melihat Ghazi yang tidur di atas sofa dengan tangan yang dilipat dan tanpa adanya selimut.
"Pasti dingin kalau nggak pake selimut."
Maura mencari remote ac dan mengatur suhunya agar tidak terlalu dingin. Melihat Zahra yang terlelap membuat Maura mengurungkan niat untuk mengambil selimut.
"Kamu ngapain berdiri di situ. Udah malam, tidur Maura."
Maura menoleh pada Ghazi. Ghazi sekarang duduk di sofa dengan tubuh yang tidak lagi bersandar.
"Berarti tadi Mas Ghazi belum tidur atau udah tidur tapi kebangun?" gumam Maura dalam hati.
"Malah bengong. Kamu udah sholat Isya belum? Sholat dulu," kata Ghazi.
Maura menggeleng dan menggaruk pelan pelipis kananya. Mencari alasan karena mengapa ia belum sholat. Maura kan memang sering lupa pada sholat bahkan dalam keadaan senggang sekalipun apalagi dalam keadaan yang seperti ini.
"Pasti belum sholat ya? Itu di dalam sana ada mukena sama sajadah kamu pake aja buat sholat," kata Ghazi.
Melihat Maura yang hanya diam saat Ghazi melirik pada walk in closet membuat pria itu bingung.
"Kamu baik-baik aja kan?" tanya Ghazi lagi.
"Hah? I ... i ... iya. Aku ... baik kok," jawab Maura terbata.
Ghazi mengangguk. Ia ubah posisinya menjadi duduk dengan kaki yang diluruskan di atas sofa. Mungkin ia bermaksud melanjutkan lagi tidurnya.
"Kalau baik-baik saja silahkan ambil mukenanya dan sholat isya dulu sebelum tidur," ujar Ghazi.
Ghazi melipat kedua tangannya pada dada dan merapatkan kedua kelopak matanya untuk melanjutkan lagi tidurnya.
Maura masih belum bergerak. Ingin melangkah untuk mengambil mukena tapi ada rasa enggan yang sangat mendominasi. Mengintip sedikit pada Ghazi yang menurut Maura sudah terlelap.
Dengan menggigit pelan bibir bawahnya, gadis itu menggerakkan kakinya dengan cepat melangkah dan menaiki tempat tidur. Menarik selimut dan menutup sampai ke kepala.
"Huh, semoga aja dia nggak lihat dan beneran udah nyenyak. Maafin Maura ya Allah tapi Maura memang lagi capek bamget ini," gumamnya pelan.
Maura tidak bohong. Badanya memang terasa lelah dan kakinya pun terasa letih. Berdiri beberapa jam untuk bersalaman dengan para tamu membuat kakinya terasa sakit bahkan bagian tumitnya pun terasa bagai ditusuk dengan benda tajam.
Bagian kening Maura terasa berkeringat. Menutup seluruh tubuh dengan selimut sepertinya bukan pilihan untuk bersembunyi. Percuma saja seluruh tubuh ditutupi tetap Ghazi akan bisa melihat jika pria itu membuka matanya nanti.
"Huh," hela Maura.
Maura meloloskan kepalanya dari selimut. Menolehkan kepala dan tersenyum melihat Ghazi yang ternyata benar-benar terlelap dan sedikit merasa kasihan karena Ghazi tidak menggunakan selimut.
Meski tidak terasa dingin tapi bagi Maura tidur dengan menggunakan selimut itu suatu keharusan. Tidak nyaman saja rasanya jika bagian kaki tanpa selimut.
"Dia bisa nyaman nggak ya kalau tidurnya tanpa selimut begitu?" tanya Maura dalam hati.
"Tapi untung ada Zahra jadi aku bisa tidur dengan nyenyak tanpa takut ada salah senggol Mas Ghazi," ujar Maura lagi dan masih tetap di dalam hati.
Maura menarik sedikit ujung bibirnya sehingga tersenyum dan memiringkan tubuh, memeluk tubuh Zahra yang gempal. Maura ikut memejamkan mata untuk ikut tertidur bersama Zahra.
"Semoga malam ini mimpi indah ya Dek," bisik Maura pelan pada telinga Zahra.
Selama ditinggal oleh kedua orang tua kandungnya Zahra harus tertidur dengan Maura di sampingnya. Jika tidak pada tengah malam Zahra pasti sering terbangun dan mencari Maura.
Mereka tinggal di rumah Ibu Maya yang merupakan teman dari almarhumah ibu mereka. Meski kadang sikap dan sifat Buk Maya tidak sselembut ibu yang lain tapi Buk Maya yang telah menerima Maura dan Zahra untuk bisa tinggal bersama mereka.
Maura amat sangat berterima kasih pada Buk Maya dan suaminya. Berkat Buk Maya ia dan Zahra punya tempat tinggal karena rumah yang mereka punya terpaksa dijual untuk membayar biaya pengobatan mama dari Maura. Papa Maura lebih dulu meninggal dunia karena kecelakaan tabrak lari dua tahun sebelum mama ikut meninggalkan Maura dan Zahra.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ungkapan Takdir (Tamat)
RomanceTidak ada opsi penolakan bagi Maura untuk perjodohan paksa yang dilakukan orang tua angkatnya. HARUS MENERIMA dan itu adalah awal warna-warni hidup barunya. Akankah Maura bahagia atau malah semakin ditikam derita dengan adanya kata "sah" antara ia...