Mobil siapa, ya? Pikirku saat melihat mobil yang terparkir di depan rumah. Pertanyaanku belum terjawab dan sempat aku abaikan sampai ketika dari jendela mataku menangkap sosok di ruang tamu. Mas Pijar? Dadaku tiba-tiba berdebar menyadari kehadirannya. Oh, jadi itu mobilnya mas Pijar? Ada apa dia kemari? Pertanyaan yang meletik di dalam otakku mungkin akan segera terjawab kalau aku segera masuk ke dalam rumah, dan mendengarkan pembicaraan mereka. Ayah, ibu dan mas Pijar.
Perlahan kuucap salam sambil mengangguk kecil dan menatap sekilas wajah mas Pijar sebelum masuk ke ruangan. Aku merasakan suasana tegang di ruang kecil itu. Tidak segera terdengar suara-suara sejak aku muncul tadi. Mas Pijar menunduk sambil meremas jari-jari di pangkuannya. Seperti menekan perasaan bersalah. Sedang ibu dengan matanya yang tajam menatap nyalang ponakannya. Wajahnya terlihat geram dan mengeras. Nafasnya terhela keras, dan mulutnya yang merapat terlihat menahan omelan dan cercaan. Sedangkan ayah kulihat duduk diam-diam di kursinya.
Aku tidak langsung ikut duduk di kursi tamu tapi masuk ke dalam, lalu ke dapur membuat minuman. Meja di ruang depan tadi kosong. Tidak terlihat minuman atau makanan kecil. Sambil mengaduk isi cangkir pikiranku terus berputar mengira-ngira perbincangan apa yang dibahas oleh ketiganya? Sudah jelas ibu terlihat memarahi mas Pijar. Tapi kenapa? Apa yang diperbuat mas Pijar? Atau mereka sebenarnya tengah membicarakan salah seorang saudara yang lain? Siapa?
Aku membawa nampan berisi tiga cangkir teh ke luar dan berharap bisa mendapat sebuah bocoran teka-teki yang membuatku penasaran. Kuletakkan perlahan cangkir-cangkir itu ke atas meja sembari memasang telinga baik-baik.
"Kamu sudah membicarakan hal ini pada mama kamu?"
Terlihat gelengnya samar. "Mana mungkin aku berani membicarakan masalah kayak gini sama mama? Mama pasti marah banget," kata mas Pijar menggumam penuh ngeri.
"Nggak cuma marah. Mamamu pasti syok!" sahut ibu ketus. "Kamu lagian bertingkah! Sok-sokan tinggal di apartemen dengan alasan ingin mandiri. Kayak begini hasil kemandirianmu? Kamu benar-benar sudah kelewat batas. Kamu membuat malu orang tua. Kamu membuat aib keluarga besar kita. Sadar nggak kamu?"
"Iya, Bulik," sahutnya dengan tundukan dalam.
Tapi aneh, mendengar cetusan dan cercaan ibu yang keras itu, kenapa aku lihat wajah bapak tidak setegang ibu? Malah terlihat seperti menikmati sesuatu. Kuikuti pandangan bapak di salah satu kursi kosong di dekatnya. Ada sebuah keranjang besar di salah satu kursi kosong di dekatnya. Ya, aku lihat keranjang itu dan nggak terpikir isinya. Sepintas menebak, paling oleh-oleh dari mas Pijar. Mungkin buah atau roti. Tapi sebanyak itu? Aku menepis tebakanku yang sepertinya salah.
Dan tepat ketika kakiku hampir hendak beringsut masuk lagi ke dalam, mataku menabrak sesuatu yang tergolek di dalam keranjang yang diletakkan di kursi tak jauh dariku. Setelah aku perhatikan lebih seksama nampak seraut wajah kecil, merah, imut dengan tubuh mungilnya yang terbalut selimut. Aku kaget dan tiba-tiba merasa merinding.
"Hah, bayi siapa ini, Bu?" tanyaku serta merta meluncur keluar begitu saja dari mulutku tanpa mampu kutahan. Ketegangan di ruanganpun pudar oleh suara kagetku.
"Bayinya Pijar!" sahut ibu dengan nada kesal.
Sungguh. Jawaban ibu terasa melukai perasaanku. Seperti pisau yang menggores di ulu hatiku hingga berdarah. Bagaimana mungkin laki-laki yang diam-diam kucintai tiba-tiba punya anak? Dengan siapa dia membuatnya? Dengan cewek yang pernah dibawanya waktu lebaran dulu? Oh, keterlaluan mas Pijar. Berani banget dia berbuat di luar batas aturan. Dia kan belum menikah? Kenapa punya anak? Pantas saja ibu marah padanya. Seharusnya ibu tidak cukup hanya marah. Seharusnya ibu memukulnya atau menghajarnya sampai babak belur.
Kehadiran bayi merah itu kini seakan menyadarkanku bahwa cintaku benar-benar hanya bertepuk sebelah tangan. Ternyata selama ini mas Fajar tak punya perhatian padaku. Dia tak punya perasaan apapun terhadapku. Dan perasaan yang selama ini tersimpan rapi di dalam lubuk hatiku akan hancur dan mati. Tak ada lagi harapan akan cinta dan perhatiannya. Bahkan setelah punya anak tentu mas Pijar akan segera menikahi pacarnya.
Hatiku terasa remuk. Namun wajah tak berdosa di dalam keranjang itu seakan menekan rasa sakitku, bahkan menahan kucuran darah di hatiku. Hanya dengan menatap sebentuk wajah dengan mata, hidung, dan bibir yang serba kecil itu, tak ada lagi rasa sakit. Tak ada lagi luka yang kurasa.
Di luar kemauanku, kakiku bergerak mendekatinya. Dan di luar kesadaranku, tanganku bergerak menyentuhkan jari telunjukku ke pipinya yang halus lembut itu. Hatiku bergetar hebat saat kulit kami bersentuhan. Seperti ada yang berinteraksi di dalam batin kami. Aku bahkan ingin menangis. Entah kenapa. Rasanya terharu, tersentuh dan penuh rasa kasihan yang mendalam pada jabang bayi itu. Kehadirannya tidak dikehendaki oleh orang tuanya, karena itu ia harus dibuang atau disembunyikan karena hanya akan jadi beban. Salah apa dia? Bahkan makhluk kecil itu begitu lemah dan tak berdaya.
Mungkin seperti itulah aku dulu setelah dilahirkan. Aku tak lain hanyalah seonggak daging yang orang tua kandungku bisa membuangnya ke mana saja karena mereka tidak siap dan tak menghendaki kehadiranku di dunia ini. Aku juga senasib dengan bayi itu sebelum ayah dan ibu angkatku kemudian menemukanku di dekat tong sampah. Jika ayah dan ibu tidak memungutku, entah apa jadinya aku.
"Biar saja dia di sini," kata ayah memutuskan sekaligus menengahi antara permintaan Pijar yang ingin menitipkan bayinya dan ibu yang keberatan dengan berbagi alasan.
"Ibu, aku boleh menggendongnya?" tanyaku pada ibu.
"Jangan! Kalau jatuh gimana?" sergah ayah lembut seraya ingin menahanku.
"Bayi sekecil ini kan enteng, Yah? Mana mungkin jatuh?" bantahku. Dan tanpa pikir panjang aku mengangkatnya, mengeluarkan dari sarang nyamannya di dalam keranjang. Hahh, aku nggak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku begitu meletakkan makhluk kecik itu di lenganku. Dia begitu lembut. Wajahnya makin lelap dalam gendonganku.
"Duduk. Duduk!" suruh ibu keras padaku ikut merasa khawatir.
Mas Pijar mengangkat keranjang di kursi di dekatnya, lalu ayah membimbingku dan mendudukkanku ke kursi kosong itu. Aku sempat terlihat konyol menyadari kecanggunganku. Tentu saja aku canggung. Seumur hidup, ini pertama kalinya aku menggendong bayi yang masih merah.
"Dia belum dikasih nama. Juga belum punya akte lahir," kata mas Pijar.
Dari ekor mataku, aku lihat ayah menggut-manggut paham, seolah tidak mempermasalahkan hal apapun berkaitan dengan kehadiran orok di rumahnya. Sedang ibu hanya terdengar menghela nafas berat dan panjang.
"Bulik, bagaimanapun aku ingin bertanggung jawab. Karena dia adalah anakku. Darah dagingku. Tapi aku nggak mungkin bisa merawatnya. Aku harus kerja. Aku menitipkan dia sama bulik. Aku akan membiayai semua kebutuhan anak ini. Aku akan mengirim uang sama bulik tiap bulan untuk ..."
"Pijar, " tukas ibu tajam segera. "Jangan kamu anggap tenaga bulikmu membesarkan anakmu ini bisa kamu nilai hanya dengan uang. Tenaga seorang ibu dalam membesarkan seorang anak itu tidak ternilai. Tidak bisa digantikan dengan uang sebanyak apapun. Kamu ngerti?"
"Iya, bulik. Aku tahu itu."
Jadi ayah dan ibu akan merawat bayi ini? Wah, aku punya adik sekarang. Nggak perduli dia anak mas Pijar dengan perempuan mana. Aku akan ikut merawatnya. Sepertinya aku sudah menyayanginya. Dan kami sudah seperti punya ikatan batin. Mungkin karena kami senasib. Sama-sama terbuang. Dan kemudian dirawat oleh orang yang sama.
Aku berpikir keras untuk menemukan nama yang cocok untuknya. Siapa, ya? Alifa?
Penasaran? Yuk, terus ikuti kisahnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati Ai [ Selesai ]
RomanceSebenarnya cita-cita Tari sejak dulu begitu sederhana. Menjadi seorang ibu. Sebuah keinginan yang semua perempuan normal bisa menjalaninya. Dan sepertinya Allah menerima dan mengabulkan keinginan mulianya itu. Seorang bayi merah dan mungil tiba-tib...