Atlanta - May 02, 2009
"Jungoo,"
Dia sudah hafal diluar kepala alasan namanya dipanggil, tengah malam. Dimana seharusnya semua orang tidur terlelap dan memimpikan sebuah kenangan manis. Tapi suara itu mengalun, pelan seolah berbisik mengusik rungu nya yang tak pernah benar-benar tertidur.
"Jungoo, aku tidak bisa tidur. Aku takut, peluk aku. Jungoo..."
Lagi, namanya terus dipanggil seolah bagian dari sebuah harapan. Rasanya masih sakit, dia masih bersedih dan belum bisa bangkit dari keterpurukan hari ini. Dia ingin sendiri, menangisi hidup yang terasa menyakitkan.
"J-jungoo..."
Tapi pada akhirnya dia tak pernah bisa benar-benar abai. Menggerakkan kaki turun dari kasur nya sendiri dan berjalan ke kasur yang lain. Naik dan duduk disebelah bocah enam tahun yang bersimpuh sesenggukan. Rambut hitam panjangnya berantakan dengan wajah memerah, tangan mungilnya mengecek mata yang berair sampai penampilannya terlihat begitu kusut.
"Jungoo sudah disini, jadi ayo tidur lagi."
Tangannya terangkat guna mengusap kepala yang lebih muda. Merasakan rambut yang lepek karena keringat dan pelipis yang dingin. Perlahan bocah itu berhenti menangis dan mengangkat kepala. Pipi tebalnya dipenuhi jejak air mata yang sebagian sudah mengering.
"Jungoo tidak mau tidur dengan Rum-ie. Jungoo marah, 'kan dengan Papa? Karena sudah buat Paman Dong-ie tidak pulang? Jungoo juga marah dengan Rum-ie 'kan? Iya, 'kan?"
Bibir merah mungil itu berceloteh sambil menata pengucapannya agar tidak berantakan. Jungoo tidak suka anak cadel.
"Kata siapa Jungoo marah? Paman Dong-ie pulang, kok. Hanya saja pulang nya ke tempat lain, bukan ke rumah Rum-ie lagi."
"Jadi, Jungoo tidak marah dengan Rum-ie?"
Bagaimana bisa kau memaafkan pembunuhmu?
"Rum-ie, tidur, ya? Besok Rum-ie harus sekolah, "
Mata yang sudah kehilangan lebih dari separuh binar nya itu semakin meredup. Dia butuh jawaban dan bukan pengalihan.
"Jungoo marah dengan Rum-ie. Jangan....bernyanyi lullaby lagi, Rum-ie tidak mau."
Bocah itu kemudian membalik badan dan mengurung diri dalam balutan selimut. Mengabaikan Jungoo nya yang memperhatikan ia tanpa sedikitpun berpaling. Hatinya gelisah dan berdebar resah secara random dan itu membuatnya tidak nyaman sama sekali.
"...sembilan sepuluh, jangan pernah tidur lagi~"
Seoul - December 26, 2019
Ahreum tumbuh menjadi sedikit tidak ramah, dia tidak memiliki teman. Hanya ada orang-orang yang datang ketika mereka butuh dan pergi begitu saja ketika keinginannya sudah terpenuhi. Di usianya yang baru saja menginjak enam belas tahun beberapa bulan yang lalu, gadis itu sudah sering keluar malam. Dia tidak nakal, hanya pergi ke pusat perbelanjaan atau duduk sendirian di taman hingga larut malam.
Menjadi dewasa tanpa seorang ibu agaknya sudah lumrah gadis itu rasakan. Hanya ada ayah, itu pun jarang berada di rumah. Berdalih banyak bekerja juga untuk masa depan Ahreum katanya. Tapi remaja itu rindu, masa kanak-kanak nya yang dulu. Hangat tapi kini berubah menjadi biru dan sendu.
"Ahreum,"
Apakah harus sekarang? Kenapa harus dan selalu sekarang? Remaja itu semakin duduk meringkuk di bangku taman sambil memeluk kedua lutut, menenggelamkan wajah disana. Membiarkan rambut hitamnya terurai kusut dan tertutup topi hitam yang dia kenakan.
"Ahreum, ini sudah hampir dini hari. Sampai kapan kau mau di-"
"Selamanya,"
Jungkook menghela nafas, memandang punggung Ahreum dari balik gelapnya malam. Ia memutar tumit, mengelilingi bangku untuk sampai dan duduk mensejajarkan diri di samping remaja labil yang sedari tadi ia buntuti.
"Ayahmu belum tahu soal ini, kau pikir bagaimana reaksi beliau ketika tahu anak gadisnya-"
"Adu kan saja, aku akan senang jika Ayah pulang meskipun dia datang hanya untuk memarahiku."
Keras kepala, dan Jungkook tahu nasehatnya akan di sela atau bahkan dibalas dengan jawaban yang terkadang membuatnya tak bisa berkutik. Memilih abai sejenak, pria itu memandang kedepan. Ke lapangan luas dimana rumput hijau terdampar, beratapkan langit tengah malam yang berhambur bintang. Manusia itu boleh saja bersedih, atau bahkan menangis karena bisa membuat hati yang sesak menjadi lega. Tapi jika kesedihan itu terlalu dalam merasuk, pikiran lelah lah yang akan menyambangi.
"Kau tahu? Aku padahal sudah memasak japchae di rumah. Aku menunggumu pulang setelah dari kantor. Tapi begitu tahu kau tak ada, aku langsung mencarimu. Dan ternyata kau disini," ujar Jungkook mencoba menjelaskan. Berharap Ahreum mau luluh dan ikut pulang bersamanya.
Remaja itu mengangkat kepala dan menoleh, menatap Jungkook yang juga berlatih menatap dirinya. Bibir merah mudanya mengerucut, merasa bersalah karena secara tidak langsung ia sudah kabur dari rumah. Membuat Jungkook yang lelah karena baru pulang dari kantor, memasak untuknya. Lalu pergi lagi keluar rumah hanya untuk mencari dia yang sedang keluyuran.
"A-aku tidak meminta dimasakkan, kok."
Tawa ringan menghias wajah rupawan Jungkook ketika dia mendapat respon seperti itu dari Ahreum. Dahinya mengekerut dan bibir mencebik, ekspresinya terlihat kesal tapi seperti merasa bersalah juga. Benar, Ahreum nya belum benar-benar dewasa. Dia juga tidak nakal. Hanya bocah enam belas tahun yang sedikit berontak karena kurang perhatian. Dengan satu gerakan gesit, Jungkook mengecup pipi tebal yang terlihat menggiurkan lalu tersenyum setelahnya.
Tapi seharusnya Jungkook tahu, Ahreum tidak sama dengan sepuluh tahun lalu. Kini matanya yang sipit membesar lucu dengan ekspresi kesal memandang wajah bahagia Jungkook. Kaget dan ... entahlah. Hanya saja rasanya begitu berbeda dari saat ia masih belia. Ciuman itu ... bisa berarti banyak hal, 'kan?
"Jungkook!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Play with JUNGOO | JJK
Fanfiction"Enam belas tahun itu tidak singkat. Tapi bagaimana bisa seseorang tak sadar jika hatinya sudah diambil saat dia mulai berbicara?"