AN ENDLESS GIVING

453 78 15
                                    

CHAPTER 18
AN ENDLESS GIVING


Saat Kara akan memasuki ballroom, salah seorang laki-laki berkemeja kuning pucat dan bercelana putih menahannya untuk menanyakan keperluannya. Dia yang hanya memakai oversized t-shirt yang ujung bagian depannya dia selipkan dalam jeans belelnya memang terlihat asing dan mencolok di antara beberapa tamu undangan yang telah hadir, yang semuanya mengenakan pakaian formal.

"Bu Elia pesan kue di bakery saya untuk acara ini. Saya mau bertemu beliau untuk membahas hal itu," terang Kara yang berusaha untuk tidak meluapkan amarahnya lagi pada orang yang tidak semestinya.

"Tapi Bu Elia sedang...."

"Let her in."

Suara berat seorang laki-laki membuat kalimat yang tengah diucapkan salah seorang panitia acara itu menggantung di udara. Mengetahui siapa yang mengizinkan Kara untuk masuk, panitia acara itu segera menuruti perintahnya dan menyilakan perempuan berkacamata itu memasuki ballroom.

Melihat sosok laki-laki berjas dan bercelana abu-abu gelap dengan kaus putih di balik jasnya itu membuat Kara tanpa sadar mencengkeram amplop di tangannya. Laki-laki berkulit kecokelatan yang seusia dengannya itu tersenyum pada Kara. Dia tersenyum seolah dia tidak pernah merasa bersalah karena sudah membuat perempuan berkacamata itu terasing selama hampir sepuluh tahun lamanya.

"Look who's here. The princess finally came home to see her dearest family?" ujar laki-laki di hadapan Kara seraya melesakkan telapak tangan kirinya pada saku celana kain yang dia kenakan.

"Where is she?" tanya Kara yang berusaha untuk tidak meledak meski harus berhadapan dengan laki-laki yang sudah menjadi penyebab keterasingannya selama ini.

"Gue bisa antar lo kalau lo mau?" Laki-laki itu menawarkan. "Supaya lo nggak perlu muter-muter untuk cari beliau."

Kara sudah akan menolak tawaran laki-laki itu. Namun sisi rasionalnya membuat perempuan berkacamata itu menerimanya dengan berat hati. Jika laki-laki ini dapat membawanya bertemu orang yang dia inginkan dengan lebih cepat tanpa harus membuatnya mengelilingi ruangan yang luas itu tanpa tentu arah, maka Kara akan bertahan untuk berada di dekat laki-laki itu selama beberapa saat. Yang perempuan berkacamata itu inginkan sekarang adalah bertemu dan menyelesaikan masalah sesegera mungkin dengan orang itu. Dengan orang yang melahirkannya.

"How's life?" tanya laki-laki itu sembari melangkahkan kaki dalam ballroom hotel dengan santai. Terlalu santai.

Kara yang berjalan di sisinya dengan jarak di antara mereka yang sangat kentara ingin melangkahkan kaki lebih cepat dibanding lelaki itu. Tapi dia yang sama sekali tidak tahu ke mana arah yang harus dia tuju terpaksa mengikuti irama langkah laki-laki itu.

"Lo sudah berubah? Atau lo masih hidup dengan cara menjijikkan kayak dulu?"

"I'm not here for your petty cheap shot, Enzo. Just shut your mouth and get moving," tukas Kara.

Mendengar ucapan Kara justru membuat Enzo terkekeh. "Nggak perlu jadi defensif begitu, Kara. Gue cuma penasaran, apa setelah yang lo lalui selama ini, lo mau belajar untuk jadi manusia normal pada umumnya atau nggak?"

Pertanyaan laki-laki itu membuat Kara menghentikan langkahnya dengan serta-merta. Dan saat menyadari perempuan berkacamata itu sudah tak lagi berjalan bersisian dengannya, Enzo turut berhenti melangkah. Laki-laki itu membalikkan tubuhnya. Dilihatnya Kara yang tengah menatapnya dengan rasa muak yang sudah tidak mampu disembunyikannya lagi.

"I am normal," tegas Kara. "Cuma karena gue nggak menjadi bagian dari mayoritas populasi seperti lo nggak lantas membuat gue nggak normal. Dan kalau ada satu pelajaran berharga yang gue dapat selama hampir sepuluh tahun ini adalah... gue nggak seharusnya percaya sama lo. Karena ternyata, nggak setiap orang yang dekat dan mengaku peduli pada kita pantas untuk dijadikan tempat berbagi."

WRAPPED AROUND YOUR FINGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang