02. Ijab Qobul

266 23 2
                                    

"Sah." Serempak tamu undangan saling mengucapkan hamdalah kala kedua mempelai telah halal menjadi sepasang suami-istri.

Gadis bertubuh mungil yang mengenakan gaun pengantin putih terisak saat saudaranya menyadarkannya untuk segera menemui lelaki yang baru saja mengucapkan ijab qabul.

"Aku enggak mau ketemu dia, Mbak." Naluri semakin terisak saat wanita berhijab pashmina itu memaksanya untuk segera keluar dari kamar.

"Kamu sudah sah menjadi istrinya, Luri," ucapnya lembut.

"Luri enggak bisa, Mbak."

Wanita itu meremas kedua tangan Naluri dengan lembut. Mencoba untuk meyakinkan gadis cantik itu bahwa pernikahan ini akan membawanya pada kebahagiaan yang sesungguhnya.

"Apapun yang terjadi, hadapilah. Kamu sekarang sudah sah menjadi istri, Mas Khalil." Tangannya mengelus puncak kepala Naluri yang tertutupi oleh hijab putih diperindah dengan banyak manik-manik gemerlap, membuat penampilannya hari ini lebih istimewa.

Naluri menggenggam tangan Rika dengan kuat. Perlahan dia melangkah menghadapi semua para tamu undangan yang sudah menunggu kedatangannya.

Kedua matanya menyisir ke seluruh ruangan persegi luas. Semua orang menyambutnya dengan senyuman, kecuali satu orang yang menundukkan kepalanya dalam. Siapa lagi jika bukan Khalil?

Lelaki yang sudah menjabat tangan walinya sebagai pengganti sang ayah yang sudah wafat. Dengan tegas dia mengucapkan kalimat sakral untuk menghalalkan dirinya. Hanya dalam beberapa menit, Naluri berganti status menjadi seorang istri.

Kini Naluri sudah berada di depan Khalil yang masih saja setia mengalihkan pandangannya pada lantai keramik putih tanpa noda berbekas.

Saudaranya mendorong mereka untuk saling menatap, karena sudah halal bagi mereka untuk bisa memandangi ciptaan Sang Maha Kuasa.

Satu, dua, tiga, kedua manik matanya saling bertemu. Sorakan keras mendengung di kedua telinganya. Mereka begitu antusias, melihat pengantin baru itu saling menenggelamkan segala rasa hanya lewat mata.
Namun, Khalil kembali mengalihkan pandangannya begitu sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman.

Sepasang sejoli itu diiringi oleh sanak-saudara untuk segera menaiki pelaminan, tempat duduk mereka yang sudah dihiasi oleh banyaknya bunga-bunga indah bak singgasana.

Duduk saling berdampingan, tapi tidak saling melemparkan tatapan juga senyuman. Khalil menyapa teman-temannya yang datang, memberikan salam tanpa senyuman. Naluri hanya terdiam, menundukkan kepalanya dalam. Tetesan air matanya terus saja mengalir membasahi wajahnya yang sudah dipolesi oleh make-up.

Tidak disangka, Khalil menggenggam tangan Naluri saat tamu undangan beralih pandangan pada jamuan yang telah disediakan.

"Jangan menangis. Nanti disangka saya suami yang tidak mencintaimu," bisik Khalil begitu lirih, membuat bulu kuduk Naluri terasa meremang, tubuhnya seolah menegang. Ucapannya memang benar, dia tidak sama sekali mencintai istrinya.

Jika saja pernikahan ini tetap berlangsung antara Maura dan Khalil. Mungkin Naluri akan tetap menjadi dayang pengantin yang akan membantu kakak angkatnya berjalan saat kesulitan melangkah karena gaun yang dikenakannya terlalu lebar.

Setelah lama berada di atas pelaminan, sampai kedua kakinya kesemutan. Naluri masih setia terduduk di kursi pengantin, tidak bersedia untuk mengikuti langkah Khalil yang hendak masuk ke rumahnya.

"Luri ...," panggil saudaranya sambil mengelus puncak kepalanya yang tertutupi oleh hijab putih.

Naluri menatap wanita itu dengan sendu. Ada kesedihan dari kedua manik matanya, mengisyaratkan jika dirinya tidak ingin segera mengistirahatkan diri.

"Ikuti suamimu."

Gadis mungil itu menggeleng dengan cepat, tangisannya belum berhenti. Air matanya masih mengalir bagai hujan gerimis yang membasahi bumi.

Sebagai seorang anak yatim piatu, Naluri tidak tahu harus ke mana dia bersimpuh menumpahkan segala rasa sedihnya yang selama ini ditanggungnya sendirian. Bertahun-tahun berada di pondok pesantren membuat gadis itu selalu berpegang teguh pada kajian. Dia terus berpikir, bagaimana nanti jika Khalil tidak akan memberikannya ijin untuk tinggal bersama teman-teman pondoknya lagi? Jika tidak, berarti dia juga akan menyiksa dirinya menahan kerinduan, tidak lagi bertemu dengan Ustadz Hanif.

Berulang kali gadis itu melafalkan istighfar, menggeleng kepalanya karena terus memikirkan lelaki yang tidak halal baginya. Kini dia sudah mempunyai suami, yang seharusnya dijadikan sandaran dan tempat berpulang setelah lelah dari perjalanan jalan yang tidak berkesudahan.

"Suamimu pasti membutuhkanmu di dalam."

Setelah menguatkan hatinya, Naluri beranjak dari duduknya. Didampingi oleh saudaranya dia menemui suaminya yang berada di dalam kamar pengantin.

Naluri menghela napasnya pelan, berusaha menyiapkan diri untuk memenuhi segala permintaan dari suaminya.

Saat pintu terbuka, tampak seorang lelaki yang tengah membelakangi dengan penampilan telanjang yang membuat gadis itu menutup kedua matanya dan menjerit.

"Ngapain kamu di sana?" tanya Khalil dingin.

Pertanyaan itu membuat Naluri yang masih berada di ambang pintu, merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia tidak mengetuk pintunya terlebih dahulu? Jantungnya berdegup cepat tidak seperti biasanya.

Kedua tangannya terasa disentuh oleh permukaan kulit yang menghangatkan, perlahan kedua matanya dia buka dengan ragu.

Tepat saat kedua matanya melebar terbuka sempurna, pemandangan seorang lelaki berparas tampan berdiri di hadapannya tanpa senyuman.

Deg!

PENGGANTI PERAN PENGANTIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang