Chapter 34 - Buat Kerajinan

28 9 0
                                    

Ketika sudah tidak ada urusan lain. Aku dan Charlie benar-benar pergi ke balai desa. Namun di tengah jalan,

"Kalian mau kemana?"

Kakek yang satu ini mengerikan bila memunculkan diri.

"Em... ambil barang aku yang tertinggal," jawabku agak cemas.

"Ya sudah, ambil saja sendiri."

"Tapi aku pergi dengan Charlie," Aku tunjuk lelaki yang bersamaku.

"Sayangnya aku juga membutuhkan orang itu. Charlie, ikut aku sebentar ke tempat produksi kedelai!" Ternyata kakek itu mengajak Charlie.

"Eh, Sarah... bagaimana?" tanya Charlie.

"Biar dia ambil sendiri. Bangunan ini tidak berhantu. Dan seharusnya anak kota tidak takut hantu."

Aku hendak protes namun kakek Borhan sudah menyeret Charlie lebih dulu, pergi meninggalkan diriku sendirian. Ya sudah. Aku masuk ke ruang rahasia sendiri saja.

Beruntung aku masih ingat dimana pintu akses ke ruang rahasia waktu itu. saat ini langit mulai gelap, jadi aku usahakan segera keluar sebelum malam.

Membuka pintu rak meja yang kelihatan sempit, aku perlahan masuk menembus. Agak kesulitan memang meskipun badanku terasa tidak terlalu sesak. Setelah beberapa upaya, aku akhirnya lolos dari lorong sempit menuju pintu keluar.

Aku berdiri tegak di sisi ruang yang baru. Hanya kosong melompong. Tidak... ada sebuah tangga nyaris vertikal dari kayu. Aku pun menaiki itu tanpa ragu. Ada pintu di atap sana.

Sampai aku membuka atap itu, aku terkesiap. Akhirnya aku berhasil masuk ke dalam ruang rahasia yang dimaksud pak Parto. Ruang ini terlihat seperti kamar biasa dengan tambahan rak buku. Disini sudah sangat berdebu bahkan ada jaring laba-laba, aku pikir karena pasti sudah lama ditinggal.

 Disini sudah sangat berdebu bahkan ada jaring laba-laba, aku pikir karena pasti sudah lama ditinggal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebentar, ada benda ganjil yang aku temukan. Benda-benda besi di satu sisi, seperti tumpukan mesin?

Aku amati sejenak semua mesin disini, sampai aku berhenti di depan salah satu alat kecil dengan tumpukan surat di sekitar. Waktu aku baca sekilas dari salah satu kertas itu, ternyata ini adalah telegram. Iseng, aku memencet sesuatu dari benda itu. Entah apakah itu bisa berfungsi atau tidak.

Lama-lama aku berpikir. Bukankah mesin telegram ini seperti mengirim pesan singkat atau SMS lewat ponsel? Aku jadi bingung pesan apa yang harus aku sampaikan, terlebih aku tidak tahu pesan itu akan diterima oleh siapa.

"Aku tidak tahu cara memakai telegram. Ah, begini saja. Aku coba pencet asal berkali-kali," ucapku meskipun masih kebingungan.

Akhirnya aku tekan apapun sesuka hati, tentu saja sesuai masukan huruf yang disediakan—meskipun hanya berupa tanda titik-titik—karena aku memang mencoba menulis pesan agar bisa dibaca orang. Pokoknya... yang ingin aku lakukan adalah mengirim pesan itu sebanyak-banyaknya.

Meet The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang