7.

24.9K 1.4K 3
                                        


Maura ikut membantu Mbok Rin mamasak. Bukan hanya Maura tapi Mama Sukma dan Dilla yang merupakan anak Mama Sukma dengan suami barunya juga ikut memasak.

Terbiasa hidup dengan penuh tekanan dan tuntutan, bagi Maura memasak adalah hal yang sangat mudah. Meski kadang rasa masakannya kurang sesuai dengan yang diinginkan tapi tetap saja masakan Maura jarang yang sampai ke tempat sampah.

"Udah Ra. Biar ini si Mbok Rin aja yang menyiapkan ke meja. Kamu panggil Zahra sama Ghazi aja ya. Mama juga mau panggilkan papa," ujar Mama Sukma.

Maura menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil beberapa sendok. Mendengar ucapan ibu mertua membuat Maura sedikit berpikir, apalagi ada nama Ghazi di sana.

"Mas Ghazi udah bangun tadi Ma," ujar Maura.

Setelah pulang dari masjid tadi Ghazi tidak kembali tidur tapi pria itu memilih menghampiri laptop dan memeriksa apa saja di dalamnya yang jelas itu adalah urusan kantornya.

"Tapi kan belun turun ke sini. Sekarang kamu panggil ya biar kita sarapan bareng," kata Mama Sukma.

Maura mau tidak mau akhirnya mengangguk. Mama Sukma tersenyum dan mengelus pergelangan tangan Maura sebelum meningalkan area dapur.

Maura pun ikut meninggalkan dapur dan mendekat pada lift agar lebih cepat sampai daripada harus menaiki tangga.

Pintu kamar terbuka yang ia dapati. Dengan dahi yang memgernyit sedikit bingung Maura mendekat dan melihat Ghazi yang duduk di atas tempat tidur dengan pandangan yang fokus pada laptop di depannya.
Tangan pria itu juga menari ke sana ke sini di atas keyboard.

"Serius banget sama laptopnya sampe nggak sadar kalau ada yang masuk ke dalam kamar," pikir Maura.

Maura mendekat dan berdiri tepat di samping Ghazi. Menghela nafas panjang karena layar laptop suaminya itu menunjukkan sesuatu yang sama sekali tidak ia mengerti.

Sementara Ghazi yang tengah serius terganggu dengan bayangan tubuh Maura yang menghalangi sinar lampu darinya. Mata Ghazi mengikuti bayangan dari tubuh bagian atas wanita yang sekarang sudah menjadi istrinya dan tersenyum saat melihat wajah bingung Maura menatap pada laptopnya.

Dengan cepat Ghazi mengarahkan kursor pada tulisan shut down di laptopnya hingga layar kaca itu kini menggelap. Maura baru sadar jika sejak tadi Ghazi tengah memperhatikannya saat laptop itu mati.

"Kenapa laptopnya dimatikan Mas?" tanya Maura dengan wajah yang sangat polos.

"Kamu ngapain liatin aku kerja begitu?" tanya Ghazi balik.

"Nggak apa-apa sih Mas. Oh iya ini aku mau panggil Mas Ghazi buat sarapan. Aku sama mama dan Mbok Rin udah masak loh. Kita sarapan bareng yuk Mas," kata Maura dengan wajah seriusnya.

"Iya bentar. Kamu ganti bajunya dulu. Kucel banget keliatannya begitu," kata Ghazi.

Kadua mata Maura menatap tidak suka pada Ghazi. Perlahan Maura menatap penampilannya dari balik cermin yang memang dekat dengan mereka.

Baju terusan sebatas lutut dengan motif bunga-bunga yang ia kenakan. Juga sandal teplek sebagai alas bagi kaki mungilnya, rambut yang diikat asal-asalan. Mungkin karena habis masak makanya Ghazi memberi nilai kucel pada penampilannya.

"Iya Mas. Aku ganti tapi pake baju yang kayak gini lagi bisa kan?" tanya Maura.

Menatap sinis pada Ghazi yang seenaknya dan tanpa perasaan langsung menggeleng.

"Loh. Mas aku cuma bawa baju yang kayak begini rata-rata. Aku kan bukan orang kaya yang bisa beli baju dengan model dan kain bagus yang harganya juga tidak bisa aku hitung. Aku cuma...,"

"Aku nggak bilang baju kamu murah atau kainnya nggak bagus. Aku mau kamu ganti pake baju yang udah aku sediakan di walk in closet itu. Ada tiga pasang di sana kamu silahkan pilih salah satunya," potong Ghazi.

Kali ini Maura memutar bola matanya dengan malas. Apa-apaan ini, mengapa Ghazi sangat suka sekali memerintah. Dia tengah berbicara dan dengan sesuka hatinya Ghazi memotong begitu saja.

"Kenapa masih di situ? Kalau keberatan untuk ganti baju juga nggak apa-apa tapi kita sarapan di dalam kamar ini," kata Ghazi.

Dengan santai Ghazi membuka lagi laptopnya.

"Kasih alasan yang masuk akal kenapa Mas Ghazi nyuruh aku ganti baju," titah Maura dengan wajah yang tidak ada takut-takutnya sama sekali padahal Ghazi memasang tanpang yang lumayan tidak bersahabat saat ini.

Ghazi menatap pada Maura yang melipat kedua tangan di dada. Menatap penuh tantang padanya.

"Kamu coba teliti pakaian kamu dari atas sampai bawah ada yang salah nggak?" ujar Ghazi.

Maura mengikuti apa kata Ghazi dan gadis iti hanya menggeleng. Baginya penampilannya biasa saja dan ia juga sudah mandi tadi jadi tidak mungkin jika tubuhya menebar bau yang tidak sedap meski sempat masak tapi pagi ini ia hanya mendapat bagian memotong sayuran dan tidak berdekatan dengan yang namanya kompor atau asap sedikit pun.

"Pakaian itu layak kamu gunakan jika hanya di dalam kamar atau jika tidak ada satu lelaki pun yang bukan mahram kamu di sini. Betis dan lengan kamu itu adalah aurat Maura," jelas Ghazi.

Maura memang mengenakan pakaian terusan yang panjangnya hanya sebatas betis dan berlengan sampai ke bawah siku.

"Aku biasanya juga pake kayak gini kok Mas," ujar Maura.

"Biasanya, sekarang biasakan pakai pakaian yang benar menurut agama," jawab Ghazi.

"Pakai baju yang sudah aku sediakan. Nanti sore kita cari baju yang menurut kamu nyaman tapi harus tetap tertutup," sambung Ghazi lagi.

Nanti sore katanya, Ghazi tidak tahu jika rencananya sore ini Maura ingin meminta izin pada Ghazi untuk pergi mengunjungi makam orang tuanya.

"Harus nanti sore ya Mas?" tanya Maura.

"Iya karena besok aku masuk kerja lagi. Jadi ada waktunya ya hari ini. Kenapa, kamu nggak mau?" jawab Ghazi.

"Bukan gitu Mas tapi aku mau minta izin kalau nanti sore aku dan Zahra mau berkunjung ke makam ayah dan ibu," jawab Maura.

Lebih baik ia katakan saja, siapa tahu dengan wajah melasnya ini Ghazi akan mengiyakannya.

"Ya sudah, kita perginya siang dan nanti sore aku yang antar kamu sama Zahra ke makam mama dan papa," kata Ghazi.





Ungkapan Takdir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang