8.

21.8K 1.3K 21
                                        

Apa? Maura tidak salah dengar kan? Tadi yang berbicara itu benar-benar Ghazi kan?

"Mas Ghazi yang antar?" tanya polos.

Ghazi mengangguk. Ia mengulum senyum tipis. Ghazi bangun dari duduknya, meraih tangan Maura. Maura menatap pada tangannya dengan hati bergetar dan jantung yang berdetak kencang.

Hanya sebentar karena setelah itu Ghazi menuntun langkah Maura mendekati walk in closet, menunjukkan pakaian yang katanya sudah ia sediakan.

"Pilih Maura. Kamu tidak ingin mama, papa, dan Dilla berpikir yang tidak-tidak untuk kita kan? Karena terlalu lama di dalam kamar," ujar Ghazi.

Maura mengangguk dan mengambil salah satu baju. Menatap penuh arti pada Ghazi yang juga memperhatikannya.

"Mas Ghazi keluar dong. Katanya aku disuruh ganti baju tapi Mas berdiri di situ, gimana aku gantinya," gerutu Maura.

Ghazi maju satu langkah dan menepuk pelan puncak kepala Maura yang hanya sebatas dadanya. Menepuk tiga kali tanpa berkata sepatah pun, Ghazi keluar dari sana.

Maura memegang kepalanya yang tadi ditepuk oleh Ghazi, menggeleng pelan dan bergegas mengganti baju.
Saat keluar Maura melihat Ghazi masih di sana, duduk layaknya orang yang menunggu antrean.

"Aku pikir Mas Ghazi udah keluar," ujar Maura.

Maura sedikit mengagetkan Ghazi. Ghazi tersenyum manis melihat Maura yang memakai pakaian tertutup tapi ... gadis ini tidak menggunakan kerudung yang menjadi pasangan dari baju yang ia kenakan.

"Kerudungnya nggak dipakai? Cantik loh padahal kalau kamu mau pakai," kata Ghazi.

Maura menatap dirinya di pantulan cermin dan saat ini ia berdiri tepat di depan cermin.

"Aku nggak pernah pake jilbab Mas," jawab Maura pelan.

Tangannya merapikan anak rambut lalu menyelipkannya pada daun telinga.

"Kemarin pas akad dan resepsi kamu pake jilbab," kata Ghazi.

Ghazi hanya ingin memastikan dugaannya jika selama ini Maura memang bukan gadis berjilbab dan ternyata dari pengakuan ini Ghazi sedikit mengerti.

"Ya itu karena aku mohon-mohon ke Ibu Maya dan dibolehin. Aku lihat di instagram banyak pengantin yang terlihat anggun dengan jilbab," kata Maura.

"Ya dan kamu lebih cantik dari mereka jika pakai jilbab. Kamu pakai ya. Aku yang ambil," ujar Ghazi.

Belum Maura menyuarakan ketidakmauanya, Ghazi sudah lebih dulu pergi dan tidak membutuhkan waktu lama pria itu sudah kembali dengan sebuah kerudung instan di tangannya. Berdiri di depan Maura, Ghazi meletakkan hijab itu di sisi meja rias.

Ghazi mengambil sesuatu dari salah satu laci meja dan hanya dengan dua kali angkatan kaki pria itu tiba di belakang Maura.

Maura terdiam saat terasa ada yang memegang kepalanya. Ya, Ghazi mengumpulkan rambut milik Maura dan mengikatnya dengan ikat rambut yang ia ambil tadi. Itu ikat rambut Maura yang tadi malam ia temukan di lantai.

Karena kemarin Maura menggunakan jilbab maka tidak mungkin jika rambutnya digerai begitu saja. Mungkin karena ingin cepat istirahat sehingga Maura tidak begitu memperhatikan ikat rambut yang berbentuk gelang itu terjatuh ke lantai.

Tadi pagi Maura mengikat rambut dengan karet gelang yang ia temukan di dapur.

Jantung Maura sedikit berdegup saat Ghazi sudah selesai mengikat rambutnya dan Maura tidak mampu menggerakkan bibir untuk berkata satu patah kata pun.

"Sekarang coba pake jilbabnya," titah Ghazi.

Maura tidak menggangguk pun tidak menggeleng. Gadis dengan tubuh mungil itu langsung menggerakkan tangan kanannya menggapai jilbab dan bukannya memakainya sendiri, Maura malah memberikannya pada Ghazi.

Ghazi gemas bercampur heran menerima dan memakaikan dengan sangat hati-hati pada Maura. Tersenyum manis pada gadis itu saat kerja tangannya tarasa hampir mendekati sempurna.

"Cantik," ucap Ghazi.

Maura merasakan pipinya bersemu. Ia yakin jika saat ini warna pipinya sudah ada campuran blush on alami dari Ghazi.

"Tok."

"Tok."

"Tok."

Ghazi melepaskan tangannya dari pundak Maura dan melangkah lebih dulu pada pintu yang diketuk dari luar. Pintu tidak dikunci tapi tetap saja tidak boleh masuk ke sembarang tempat tanpa izin dari pemilik ruangan.

"Zahra?" seru Ghazi pelan.

Zahra terlihat menunjukkan deretan gigi putihnya di depan Ghazi.

"Assalamu'alaikum Kak."

"Wa'alaikumussalam,"

"Kak Ghazi dan Kak Maura disuruh cepet turun sama Mama Sukma. Yang lain udah pada nunggu di ruang makan Kak," kata Zahra pelan.

Mendengar itu, Maura menepuk dahinya sendiri dengan telapak tangannya. Ia lupa jika tujuannya ke dalam kamar ini adalah untuk memanggil Ghazi tapi mereka malah membuat berbagai macam drama di sini.

"Iya. Sekarang Zahra duluan ya. Sebentar lagi Kak Ghazi dan Kak Maura akan turun juga," jawab Ghazi lembut.

"Oke Kak," kata Zahra.

Ghazi menghampiri Maura yang masih mematung di depan meja rias. Menarik pelan sebelah tangan Maura dan membawanya ke luar dari kamar.

Begitu sampai di ruang makan, Ghazi dan Maura langsung menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di sana.

"Wah pengantin baru begitu ya. Ngajak sarapan aja pasti dimodusin dulu," ujar Dilla.

Dilla duduk di antara Mama Sukma dan Zahra. Lalu ada Papa Radit di sana yang merupakan ayah kandung Dilla. Di sebelah Pak Radit ada Pak Amru, ayah dari Ghazi dan setelah itu ada Mama Nela, ibu sambung Ghazi.

Meski sudah berpisah dan sudah memiliki keluarga baru masing-masing baik Mama Sukma maupun Papa Amru akan selalu mengumpulkan keluarga mereka jika itu bersangkutan dengan Ghazi. Tidak ingin membuat Ghazi merasa kekurangan kasih sayang dari salah satu orang tuanya.

"Kak Maura cantik pake jilbab," seru Zahra yang tidak peduli dengan ucapan Dilla.

Maura tersenyum kaku pada sang adik dan mengikuti langkah Ghazi yang menghampiri kursi kosong di samping Dilla dan Papa Amru.

Pipi Maura kembali merona saat Ghazi menarik kursi untuknya dan memperlakukannya bak tuan putri.

"Ciee romantis banget sih Kak," goda Dilla yang tidak henti nengikuti pergerakan Ghazi dan Maura dari mulai tampak tadi.

"Mas," cicit Maura saat tangan Ghazi singgah di bahunya.

"Mau deh punya suami yang romantis juga kaya Kak Ghazi," ujar Dilla lagi.


Ungkapan Takdir (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang