Suara sendok beradu dengan piring terdengar. Cepat sekali pergerakan sendok yang baru saja menyentuh piring keramik itu berpindah ke mulut pemuda yang terlihat begitu menikmati makanannya.
“Ukasya, pelan-pelan,” tegur sang ibu.
“Ini enak banget, Ummah. Aku pasti bakal kangen nasi liwet sayur jepan deh.”
Ubay terkekeh pelan melihat tingkah adiknya. Sementara Uta tak menggubris kelakuan sang adik, dia fokus mengunyah tiga puluh tiga kali makanan di mulutnya.
“Ummah, sudah telpon Bu Hasyim?” tanya Ustadz Kafaby pada sang istri.
Keempat putra putrinya terdiam saat mendengar sang ayah berbicara setelah menyelesaikan sarapan pagi.
“Sampun, Abah. Katanya masih sebulan lagi. Menantunya masih butuh bantuan ngurus bayi. Kemarin luka bekas operasinya ada sedikit masalah.”
“Memangnya kenapa kok Abah nanyain ibunya Qonita terus?” tanya Uka.
“Kasihan Qonita kalau mengurus kantin sendirian.”
Uka mengernyitkan dahi, Uta melirik sang ayah sebelum melirik kakaknya.
“Kan ada temennya, Bah.”
“Dewan pesantren sedang membahas tentang non loyalis yang tinggal di lingkungan ini tanpa adanya keterkaitan kekerabatan dan hubungan apapun, maka dilarang tinggal di sini.”
“Maksud Abah?” tanya Ubay dan Uka bersamaan.
“Orang asing tidak diperkenankan tinggal di lingkungan pesantren.”
Ubay menatap lekat pada sang ayah.
“Abah, dewan pesantren belum menyetujui hal itu. Lagipula banyak orang luar yang membantu kita dalam mengurus para santri. Bukankah itu lebih baik? Warga sekitar, para dermawan, dan orang-orang lain yang ingin ikut ambil bagian dalam memajukan pesantren ini,” sahut Uta.
“Bukannya Abah sendiri yang ingin jika pesantren ini dapat menyatu dengan masyarakat? Kenapa tiba-tiba memutuskan hal seperti ini?” tanya Ubay.
Ustadz Kafaby meneguk air minumnya sebelum menjawab.
“Kita bisa mencari loyalis baru dari jalur alumni. Tidak perlu mendatangkan orang asing. Terutama yang memancing mudhorot.”
Ucapan salam membuat percakapan keluarga itu terhenti. Qonita muncul membawa kardus berisi kue bolu dan dibelakangnya Sahla mengekor dengan kardus berisi pastel.
“Ummah, ini pesanannya.”
“Oh iya, taruh di situ, makasih ya.”
“Nggih, Ummah.”
Qonita dan Sahla segera menaati perintah Ummah Hana.
“Qonita, kamu kewalahan kalau mengurus kantin sendiri?”
“Saya Bah? Oh, ya sebenarnya iya. Tapi sekarang ada Sahla yang bantu saya. Bah.”
Ustadz Kafaby menatap ke arah akhwat di samping Qonita. Sahla memberi salam meski hanya dengan ulas senyum dan kepala mengangguk pelan.
“Dewan pondok nanti nyari orang buat nemenin kamu. Yang sesuai kriteria loyalis pondok, masuk sesuai jalur yang seharusnya.”
“Abah.” Ummah Hana menegur suaminya.
“Jalur seharusnya gimana, Abah?” tanya Qonita.
“Temanmu bukan bagian dari pondok ini. Mbak Sahla, pasti mengerti dengan maksud saya, kan?”
Sahla menggigit bibir, apa yang dia takutkan selama ini akhirnya terjadi. Benar kata ustadz Kafaby, dia hanya penyusup di sana.
“Abah. Sahla di sini kan membantu kita? Apa salahnya? Dia berada di sini juga cuma-cuma, hanya ingin membantu Qoni dan ikut belajar agama. Apa itu salah?”
KAMU SEDANG MEMBACA
ALLAH GUIDE ME (TAMAT)
Любовные романы"Ya Allahu Ya Rabb, tuntun aku ke Jalan-Mu. Jalan lurus yang Engkau ridhoi."