42. Damai

284 20 1
                                    

Perlahan, kelopak mata itu terbuka, untuk pertama kalinya ia merasa bahwa ia baru saja terbangun setelah mimpi panjangnya yang terlalu berliku-liku. Gadis itu mengerjapkan mata, hal pertama yang dilihatnya adalah atap berwarna putih dan bau obat-obatan khas rumah sakit. Ia mengerjapkan mata kemudian perlahan bangun. Dirinya berbaring di brankar rumah sakit dan sekeliling ruangan dominan bercat putih terlihat asing baginya. Dan ada selang infus yang terhubung ke punggung tangannya. Heran, padahal dia tidak sakit apapun lalu kenapa diinfus?

Ia kemudian menoleh ketika dirasanya ada sesuatu yang menyentuh kulit tangannya. Iris hijau emerald mata Elissa membulat sempurna melihat Eren yang tertidur di kursi tepat di sebelah ranjangnya sembari memegang erat tangannya.

Iya benar, itu memang Eren. Ia tidak salah lihat. Rambut cokelat yang sedikit panjang diikat menyisakan beberapa helai rambut pendek bagian depannya yang mencuat keluar tidak terlihat rapi. Alis mata tebal dan warna mata yang serupa dengannya tertutup rapat, dan entah kenapa ia merasa adanya sedikit perbedaan. Di wajah Eren tumbuh kumis dan jambang tipis di area mulut. Ia menguap lalu kepalanya menoleh lagi ke Erhardt yang baru saja bangun.

“Kita di mana? Kok gak sampe rumah juga sih?” tanyanya spontan, dan suaranya itu berhasil membangunkan Eren.

“Papa,” gumamnya pelan, menundukkan wajah tidak berani bertatapan langsung dengan Eren yang kini melihat ke arahnya. Jujur saja, rasanya seperti mimpi.

Eren yang baru bangun langsung memasang wajah terkejutnya, bagaimana tidak? Kedua anaknya koma selama 5 bulan. Dan setelah tidur yang sekian lama akhirnya mereka membuka mata.

“Elissa, akhirnya kamu bangun juga. Apa kamu membutuhkan sesuatu, Sayang? Kamu mau minum? Sebentar Papa ambilkan,”

Elissa menggeleng, wajahnya yang merunduk kini diangkatnya perlahan memperlihatkan bulir-bulir air mata yang menetes kesekian kalinya. “Papa,” ia terisak. Memeluk erat Eren dan tangisannya pecah memenuhi ruangan itu.

Rasa rindunya akhirnya terbalaskan. Memeluk erat Eren menggambarkan rasa bahagia sekaligus tidak ingin kehilangan orang yang paling dicintainya itu. Iya Eren. Sosok yang paling dicintai dan berharga untuknya. “Gomen'nasai, gomen'nasai, gomen'nasai Papa,” kata maaf pun menggambarkan penyesalan terbesar dirinya. Penyesalan karena pernah membenci walaupun hanya berupa ucapan yang sama sekali tidak serius. Tapi penyesalan itu terus saja menghantuinya, setiap saat.

“Papa juga minta maaf. Maaf, karena Papa terlalu sibuk sampe gak memperhatikan kalian. Maaf ya, Sayang,”

“Enggak, Papa gak salah. Lissa yang salah. Maaf Papa, maaf,”

Erhardt juga menangis. Tidak peduli ungkapan bahwa anak laki-laki harus kuat dalam kondisi apapun, nyatanya sekuat apapun anak laki-laki tetap saja ia boleh menangis. Bagaimana pun, hatinya sangat tersentuh dan ingin memeluk Eren juga. Ia bahagia, melihat sang kepala keluarga hadir di depannya.

“Eren, aku mendengar suara tangis dari luar, apa ada ya–” Mikasa yang baru kembali dengan banyaknya roti dam bungkusan plastik putih di tangannya menjatuhkan barang bawaannya. Iris obsidiannya membulat menangkap kedua anaknya yang baru saja bangun, suara tangis yang didengarnya adalah suara tangis Elissa di dalam dekapan Eren.

Mikasa membulatkan mata mengedarkan pandangannya ke anak sulungnya yang juga sudah bangun. Erhardt menangis, kedua tangannya terbuka lebar meminta pelukan dari Mikasa. “Mama,” nada bicaranya pun seperti anak kecil yang menangis karena terluka akibat terjatuh.

Mikasa langsung berlari memeluk erat anak laki-lakinya itu dan menangis. Erhardt juga melihat ada perubahan pada Mikasa, rambut hitam indahnya sudah memanjang sampai ke pinggang dan ada sedikit kerutan di sekitar arena mata. Sangat berbeda dengan Mikasa berambut sebahu yang pernah mereka temui. Persamaan mereka hanyalah sama-sama masih mengenakan syal merah yang umurnya pasti sudah puluhan tahun itu.

Back to The Past ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang