akhirnya bisa update. bagi yang baca, tolong tinggalkan jejak, ya!
Bayangan tentang kejadian di kantin tadi terus saja menghantui pikiran Shania. Bagaimana bisa Adiknya itu menjadi baik sekali kepada dirinya? Shania tidak habis fikir. Apalagi, saat tiba-tiba Adiknya itu datang dan melerai pertengkarannya dengan Raven. Rasanya, itu sangat tidak mungkin.
Shania mencoba berfikir positive, mungkin saja Adiknya itu mau membelanya karna Ravenska mengatai Ibu mereka seorang pelacur. Ya, itu lah alasan Calvin sesungguhnya. Jadi, Shania tidak perlu pusing memikirkan kejadian tadi.
"Halo, Shania? Lo masih di dunia, 'kan?" ucap Rafel sembari menepuk pundak Shania yang dari tadi hanya diam
"Ah, ya, gue masih di dunia. Kenapa, Raf?"
Rafel mendengus. "Jadi, dari tadi lo ga ngedenger cerita gue?"
Shania hanya menggeleng dengan muka datarnya yang menyebalkan.
"Lupakan. Mending sekarang kita kerjain latihan Biologi ini," ujar Rafel
"Sejak kapan ada kertas soal di atas meja?"
"Ya ampun, Shania! Lo kenapa, sih? Bengong mulu ya tadi?"
Shania tidak menggubris omongan Rafel. Dirinya merebut soal Biologi dari tangan Rafel dan membacanya.
"Lo ga bisa ngerjainnya?" tanya Shania. Rafel menggeleng sebagai jawabannya.
Shania memutarkan kedua bola matanya, ini sih makanan gue setiap hari! Batinnya. Gadis itu mulai mengerjakan soal dengan teliti dan lihai. Satu nomor pun tidak ada yang dia lewat. Setelah sepuluh menit mengerjakan soal, akhirnya soal itu selesai.
Shania mengembalikan soal tadi kepada Rafel. Shania tau, niat cowok itu pasti pengen nyontek dari jawabannya.
"Lo salin aja tuh, gue udah ngerjain semuanya. Gue ke UKS dulu. Pusing."
Shania keluar dari kelasnya yang memang sedang tidak ada guru dengan langkah gontai. Kepalanya tiba-tiba saja terasa pusing. Pemandangan pertama yang dia lihat ketika membuka pintu UKS adalah, Calvin yang sedang diobati oleh Ravenska.
Dari hidung cowok itu keluar darah yang tidak mau berhenti mengalir. Sedangkan Raven dengan bodohnya malah mengompres Calvin, bukan mengambilkan cowok itu daun sirih. Shania merasa prihatin melihat betapa bodohnya Raven.
Shania membuka tirai kasur yang berada di depan kasur Calvin. Dengan pasti, cewek itu membaringkan tubuhnya ke kasur dan kembali menutup horden. Karna, kalau horden itu tidak ditutup, yang ada kepala Shania makin cenat-cenut.
Shania mencoba memejamkan matanya. Namun, percakapan kedua orang yang berada di ruangan yang sama dengannya terus mengganggu.
"Calvin, aku ambilin tisu, ya, biar darahnya ga mengalir terus."
"Raven! Gue ga butuh bantuan lo! Pergi sana!"
"Kamu gausah gengsi gitu buat bilang kalau pengen aku di sini terus. Aku suka rela banget kok nemenin kamu di sini."
"Raven, keluar ga lo!"
"Enggak, aku ga mau. Kamu Adik kelas aku, lho. Ga sepatutnya kamu manggil aku hanya dengan nama. Harusnya pake 'Kak'"
"Bodoamat, gue ga peduli! Keluar lo sekarang!"
"Tapi-----"
"Gue bilang keluar!"
Akhirnya, Shania mendengar pintu ditutup dan langkah panjang Raven yang mulai meninggalkan UKS. Salah sendiri, ngapain suka sama Calvin? Udah tau Calvin sifatnya duplikat Shania banget, masih aja dilawan! Jadinya, gitu deh.
"Kenapa lo ke UKS?" tanya suara di balik horden setelah lima menit dalam keheningan. Siapa lagi kalau bukan Calvin.
Shania tidak menanggapi suara Adiknya itu, dia memilih untuk tidur di atas ranjangnya dengan tenang
"Gue nanya. Jawab kek!"
Shania tetap tidak mau menjawab. Enak aja ngajak ngomong tapi ga manggil nama! Sampe lo gondok juga ga bakal gue jawab!
"Kak, kenapa lo masuk UKS?" tanya Calvin lagi. Kali ini dengan suara yang lunak
"Bukan urusan lo," jawab Shania datar, "Dan jangan pernah panggil gue 'Kakak' gue bukan Kakak lo."
"Dibaikin malah ngelunjak!"
"Siapa yang minta lo baik sama gue?"
Sebenarnya, ingin sekali Shania bertanya mengapa Calvin bisa mimisan seperti itu. Namun, nanti pasti dijawab dengan perkataan yang menohok hatinya. Jadi, lebih baik, tidak usah ditanya.
"Nanti pulang bareng gue----"
"Gue bawa mobil." ujar Shania enteng
"Oh ya, gue cuman mau bilang, gausah terlalu mikirin kejadian di kantin tadi. Gue ngebela lo karna Raven ngatain Mama pelacur. Kalau lo yang dia katain pelacur, gue gabakal bela. Soalnya, emang lo pelacur."
Shania membuka horden UKS dan menampar Adiknya dengan keras. Tak dapat dibendung lagi rasa bencinya kepada Adiknya sendiri.
"Kalau punya mulut, dijaga! Punya etika ga lo? Ga tau sopan santun!"
"Akhirnya lo keluar dari balik horden itu," jawab Calvin melantur. Shania hanya dapat menatap Adiknya dengan pandangan tidak mengerti.
"Buat mancing lo keluar dari horden itu aja susah. Sampe harus gue katain pelacur dulu baru mau keluar."
Shania yang sedang malas bertengkar, akhirnya melangkahkan kakinya keluar dari UKS
"Sampai kapan, Shan?" tanya Calvin yang membuat langkah kaki Shania berhenti. "Sampai kapan kita harus musuhan kayak gini?" lanjut Calvin
Shania mulai berkaca-kaca. Dengan mengerahkan seluruh rasa ketidak-peduliannya, Shania kembali melangkah, membuka pintu UKS, dan meninggalkan Calvin sendirian di dalam UKS.
Entah mengapa, walaupun Calvin sudah mulai melunak, Shania tetap tidak bisa memaafkan Calvin. Oh, bukan tidak bisa. Gadis itu bahkan sudah memaafkan Calvin berkali-kali. Namun, otaknya seakan menolak dan rasa egonya terus-menerus menang daripada rasa sayangnya kepada Calvin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Mask
JugendliteraturHidup Shania sudah hancur. Berawal dari kematian Ibunya, Papanya yang tidak berharap dia dilahirkan di muka bumi, hingga dibenci oleh Adiknya sendiri, Calvin. Shania yang hilang arah, akhirnya berubah menjadi bad girl. Menutup kenangan yang bisa mel...