“Makasih banyak, Pak,” ucap Kinan pada pedagang rujak yang kebetulan lewat di depan rumahnya. Lalu, dia masuk kembali sembari memainkan ponsel. “Lagi ngapain, Ya?”
Perempuan itu mendudukkan diri di kursi ruang tamu sembari menikmati rujak. Di hari minggu yang membosankan ini, paling cocok adalah menganggu ketenangan Valya. Karena tidak mungkin Kinan mengganggu Fabian yang sibuk futsal dengan Tristan. Di rumah juga tidak ada siapa-siapa karena sang mama pergi dengan teman-temannya.
“Gue lagi ....” Valya menggantung ucapannya. “Emm. Lagi di luar, sama keluarga gue. Kenapa?”
“Jalan-jalan? Family time, nih? Kok, gak ajak gue?”
“Kalau mau, masuk KK keluarga gue dulu. Entar gue ajak minggu depan.” Lalu, terdengar suara orang lain di seberang sana. Entah siapa. “Ngapain telepon?”
Kinan membuang napas panjang sembari membanting tubuhnya ke sandaran kursi. “Tadinya mau ganggu lo. Kalau lo ada di rumah, gue mau ke sana. Tapi, tahu lagi jalan sama keluarga, gue gak bisa apa-apa.” Lalu, dia mendengkus. “Kayaknya, cuma gue yang nyantai hari ini, deh. Semua orang sibuk.”
“Kak, bunga ini taruh di mana?”
“Di pintu masuk aja, tuh. Yang rapi, ya.”
Kening Kinan langsung mengernyit saat mendengar obrolan Valya dan Yudha. Katanya lagi keluar, tetapi mereka bahas bunga yang harus disimpan di pintu masuk. Kinan mau geer, tetapi dia ingat bahwa hari ulang tahunnya 3 hari lagi. Masih terlalu cepat untuk menyiapkan kejutan dari sekarang. Bisa-bisa, bunganya sudah layu lebih dulu.
“Ya udah, nanti lo datang aja ke Lycka sejam lagi. Ada yang harus gue urus di sana, temenin gue. Biar lo gak bosen aja,” ucap Valya pada akhirnya.
“Boleh, tuh.” Kinan mengangguk setuju. “Gue siap-siap dulu, ya. Soalnya belum mandi. Ehehe .... Satu jam lagi kita ketemu di Lycka.”
“Oke.”
Panggilan berakhir. Kinan segera mempercepat makannya untuk segera bersiap. Walaupun hanya ke Paledang dan bertemu dengan Valya, Kinan tetap harus mandi dan terlihat cantik.
Sementara itu, kafe yang biasanya hanya dipenuhi dengan meja dan kursi, kini tampak lebih dekoratif.
Ada sebuah karpet merah yang membentang dari pintu masuk, bunga mawar putih yang menghiasi dinding, juga sebuah kain backdrop merah muda yang dihiasi bohlam klasik, flowery rings, dan balon senada. Meja-meja menggunakan alas merah muda dan dipenuhi dengan aneka buah, macaroon, juga kue cantik. Kursi yang biasa tampil seadanya kini dibalik dengan kain putih.
“Balonnya jangan kegedean, Tan, entar meletus,” tegur Fabian.
Tristan tidak mendengar. Dia terus saja memompa udara untuk mengisi balon. “Enggak, kok, emang segini pasnya.” Ia menarik balon dari ujung pompa, lalu mengikatnya. “Kalau kurang angin, entar warnanya beda, Yan. Entar gak cantik. Udah, lo urus aja yang lain, balon biar gue yang handle.”
“Tapi, itu kegedean. Buang anginnya dikit,” keukeuh Fabian.
“Enggak kegede—”
Duuuaaarrr!
Belum sempat Tristan menyelesaikan ucapannya, balon yang ada di tangan sudah lebih dulu meletus. Jika ia tidak langsung menutup mulut, sudah pasti lolongan tarzan akan menggema ke setiap sudut Lycka.
“Gue bilang juga apa, itu kegedean. Lo suka ngeyel!” dengkus Fabian. Dia kembali melangkah, semakin mendekat pada Tristan. “Sini, biar gue aja yang urus balon. Lo bantu Aya buat tata makanan di meja aja, sana.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma [Tamat]
RomanceCinta bisa datang karena terbiasa, beberapa orang setuju akan hal itu. Cinta juga bisa menyelinap diam-diam dalam interaksi dua insan yang kata orang 'tidak seharusnya mereka jatuh cinta'. Sejatinya, cinta adalah perasaan suci yang membawa perdamaia...