Bab 12

14 3 5
                                    


Kring... kring...

Ponsel Dira berdering. Amar menelpon.

Tak diangkatnya...

Dira tak ingin terbelenggu dalam perasaan yang abu-abu. Setelah bertemu Milka siang tadi, ia ingin membatasi hubungannya dengan Amar. Sebelum semuanya diketahui oleh kekasih Amar yang sebegitu menjaga hubungan mereka, tapi Amar malah berbuat demikian. Mungkin ada sebabnya ia menjalin hubungan dengan orang lain dibelakang Milka. Salah satu hal yang masuk akal sekarang hanyalah ia ingin memuaskan nafsunya saja. Tentu saja itu hanya pikiran Dira. Meski Dira tau ini bukan cinta, meski pikirannya melayang-layang entah sudah sampai mana, tapi tetap saja sampai detik ini ia belum bisa melepaskan Amar.

Dua minggu berlalu...

Dira benar-benar tak menggubris Amar, ia terfokus pada Raka dan pekerjaannya. Please, kali ini jangan tergoda lagi. Sesekali jika keheningan malam menghampiri disela-sela mata yang hampir redup, ia melihat foto profil WA Amar atau membaca kembali pesan-pesan mereka yang belum pernah dihapusnya sejak pertama kenal.

"Hei... Aku ada salah?"

Singkat. Pesan masuk dari Amar membuatnya tak bisa memejamkan mata. Hati dan pikiran kembali berdebat hebat. Antara ingin membalas tapi ingin ada batas. Rumit sekali. Harusnya kalau mau balas ya balas aja, kan bisa membalas pesan tanpa melibatkan rasa.

"Nggak ada, salah apa emang?" akhirnya Dira membalas.

"Syukurlah... Aku kira kamu lagi marah sama aku."

"Emang aku bisa marah ya sama kamu?"

"Ya... Karena kamu nggak bisa marah, kali aja lagi berencana marah."

"Nggak mungkin bisa lah."

"Kenapa aku hubungin nggak pernah di respon sih?"

"Kapan?"

Dira tak ingat kapan terakhir kali Amar menghubunginya. Dalam dua minggu terakhir hanya beberapa chat masuk, itu pun saat Dira sudah terlelap.

"Yang pegang hp kamu siapa sih, Dek?"

"Iya aku. Kamu kemana aja?"

"Aku mau kemana sih memangnya? Ya di sini-sini saja."

"Kenapa nggak pernah ada kabar?"

"Loh... Kok jadi ngebalikin ke aku sih? Aku beberapa kali chat nggak pernah kamu respon."

"Kamu chat saat aku sudah tidur. Aku mau balas ya nggak mungkin lah. Aku takut ada Milka di samping kamu. Jadi aku cuma bisa nunggu kamu. Lagi dan lagi.

"Kamu akan tau siapa disini yang benar-benar kesepian. Bisa untuk kali ini nggak usah berdebat?"

"Sepi? Bukannya kamu punya Milka, kenapa masih kesepian?"

"Jangan berdebat dulu!!!!"

"Siapa yang mau berdebat?" emosi Dira mulai tak stabil.

"Ya sudah, kita berdebatnya kalau ketemu aja ya. Nggak bisa kalau di chat, Dek. Nggak akan dapat jawaban."

"Nggak perlu. Hilang aja seperti kemarin-kemarin."

"Kalau bisa hilang, dari dulu aku hilang. Kalau bisa nggak mikirin kamu, udah aku lakukan. Tapi apa? Sampai detik ini aku nggak bisa."

"Aku nggak suka kamu nggak ada kabar."

"Aku selalu ada kan? Dipikiranmu? Sekarang, mau kamu apa? Aku lagi nggak ingin debat, dek. Bisa?"

"AKU MAU KAMU HILANG!"

"HAH?"

Dira tak langsung membalas pesan itu. Tangannya seperti tertahan, ia ingin menahan Amar untuk terus berada di sisinya, namun tak bisa.

"HILANG SAJA SEPERTI KEMARIN."

"Kenapa?"

"Aku benci perasaanku. Aku benci kamu yang hanya datang dan pergi sesukamu. Aku benci- aku yang nggak bisa tenang kalau kamu nggak ada. Aku benci – aku yang sayang kamu, aku harus gimana?" Ujar Dira menggebu-gebu meluapkan isi hatinya.

"Jangan benci perasaannya, benci aja aku. Aku juga ngerasain apa yang kamu rasakan. Tapi aku bisa apa?" Amar melemah, ia tahu nggak bisa beri kepastian pada Dira. Amar pun nggak bisa memaksakan Dira untuk bisa terus disisinya. Pilihan ada ditangan Dira.

"Mari kita akhiri."

"Baiklah."

Dira tak membalas. Tangannya bergetar, tatapannya kosong. Apakah ini akhir dari penantianku? Apakah kami benar-benar berpisah? Aku nggak mau. Meski aku tau kami nggak akan bisa bersama, setidaknya dia tetap disisiku. Aku tenang.

Sebenarnya aku juga tak tahu apa yang aku tunggu dari seseorang yang sudah memiliki pasangan. Aku merasa hidup baik-baik saja jika berada didekatnya, tak peduli seberat apapun.

Air mata Dira mulai menetes.

Dira sudah terlanjur meminta Amar untuk menghilang, ia tak mau menarik kembali kata- kata yang telah di ucapkan. Tapi pasti ia akan bisa luluh jika Amar menghubunginya lagi. Harapan.

Kalau kamu tau dia nggak akan bisa jadi milikmu, kenapa kamu memaksakan untuk terus bisa bersama? Sudah tau dia ada yang punya. Seperti ingin bertarung dengan takdir.

Mungkin kamu berpikir akan ada celah untuk bisa masuk sedikit saja ke dalam rumahnya. Iya, mungkin juga kamu sebenarnya sudah berada didalam, tapi hanya berdiri dibelakang pintu. Kalau mau keluar tinggal buka. Kamu nggak bisa duduk di ruang tamu, atau masuk kedapur memasak bersama, bercanda di tempat tidur seperti biasa. Dia tak sendirian, ada pemiliknya.

Nosstress-pegang tanganku menjadi lagu pengantar tidurnya malam ini. Semoga terlelap.

**

Perasaan tak karuan meliputi hati Dira. Aku benci perasaanku. Kenapa harus merasakan hal seperti ini, lagi. Kenapa harus berulang-ulang? Berjanji untuk menyelesaikan, kemudian memulai kembali dengan atau tanpa kata maaf. Seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya. Ya memang tidak ada yang salah jadi tak ada yang perlu meminta maaf, tapi itu bisa jadi kata penenang. Setidaknya untukku.

Tak ada yang ku sesali dari awal pertemuan kita, kamu mengajarkanku arti dari ketulusan, kesabaran, kebahagiaan akan hal-hal sederhana. Pada saat yang sama kamu juga mengajarkanku arti dari sebuah kata "sakit".

Kamu, membuatku mengerti bahwa tak ada yang pasti di dunia ini. Mau sesabar apapun kamu menunggu, atau kau selalu ada untuknya kala ia sedih. Itu tak menjamin apapun untuk membuat seseorang akan tetap tinggal. Bukan karna ia tak butuh, tapi bukan kamu yang ia mau. Mungkin juga, karna tak bisa.

Ketika seseorang telah benar-benar berkomitmen untuk tetap berjuang sampai akhir, hal apapun yang menganggu tak akan bisa melemahkan perasaan yang ada. Sesekali kau akan menyukai objek lain, tapi kau tak ingin memilikinya. Tak mungkin ia mudah melepaskan begitu saja. Ia bisa goyah, tapi tak meruntuhkan segalanya. Itu adalah bentuk pertanggung-jawaban atas ucapan saat kali pertama ia menggebu-gebu untuk meminta kau menjadi teman hidupnya.

Setiap detik pertemuan yang pernah kita lalui berdua, aku bersyukur. Itu akan jadi hal terindah untukku, mungkin bagimu tidak. Kalau mengingat awal dulu, bagaimana aku yang selalu terburu-buru mengangkat telponmu, bagaimana aku yang lemah untuk selalu mengiyakan setiap kali kau mengajakku untuk bertemu, bagaimana aku yang selalu memilihmu walaupun kau tidak memilihku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 16, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang