BAB 1

31 2 0
                                    

Kadang hidup terasa tidak adil, kesabaran juga tidak cukup menyadarkan mereka, mungkin kehilangan bisa menyadarkan mereka yang hanya mementingkan dirinya masing-masing, Sederhananya malam ini, aku rindu rumah yang di sana ada aku, ayah, ibu, dan kakak.

Dia Gantari Zemira. Gadis cantik berkulit putih dan pintar, usianya kini memasuki 18 tahun, dia terlahir dari keluarga yang berkecukupan namun tanpa adanya kasih sayang yang diberikan orang tuanya.

Papinya Bagaskara Darmawan seorang pengusaha besar, memiliki cabang perusahaan hampir di setiap provinsi. Namun sosok Ayah yang keras kepala, kasar dan mudah emosi. Begitu juga dengan sosok Maminya Dania Ananta adalah Pengusaha Butik terkenal di Jakarta, dulunya adalah sosok ibu yang lembut dan sangat dikaguminya, seketika berubah menjadi sosok ibu yang kejam dan suka berbuat semaunya.

Perubahan sikap Maminya ini terjadi saat Gantari berumur 16 tahun kelas 2 SMA, Mami sempat memergoki Papinya berselingkuh dengan sekretarisnya, sehingga tentu saja berhasil memainkan perasaan Maminya.

Sudah hampir 2 tahun Gantari melihat aksi pertengkaran bahkan sandiwara yang di mainkan orang tuanya di rumah ini, demi menjaga perasaan putra kebanggaan mereka.

Gantari adalah anak kedua dari dua bersaudara, Abangnya Ganendra Biantara atau sering di panggil Gaga ialah anak kebanggaan Papi dan Maminya. Sehingga Perlakuan mereka sangat berbeda, Gaga selalu mendapatkan apapun yang dia inginkannya. Sedangkan Gantari selalu menjadi sasaran amarah keduanya, tak ayal pukulan demi pukulan diterimanya. Padahal Gantari sendiri pun tidak tahu kesalahannya dimana.

Karena perlakuan orang tuanya yang berbeda, membuat perubahan pada diri Gantari, sikap nya sangat berbeda ketika dirumah dan di luar rumah, jika di luar rumah Gantari berubah ceria, murah senyum, mudah bergaul dan tak pernah terlihat lemah. Namun ketika dirumah Gantari menjadi sosok yang lebih pendiam, lebih mengurung diri dan menutup diri dari orang tuanya. Apalagi semenjak Gaga kuliah di luar kota, hidup Gantari semakin tidak terarah.

Gantari cukup bersyukur karena Papinya masih mau membiayainya sekolah. Setidaknya dia masih bisa sekolah dan mewujudkan mimpinya, meski fasilitas tidak diberi rata seperti yang diberikan pada Gaga.

***
Gantari memeluk erat kedua kakinya, dagunya bertumpu pada lutut, matanya menatap lantai yang ia pijak. Entah mengapa ada rasa sakit didadanya, suara pecahan kaca yang dilempar terdengar jelas di telinganya. Membuat teriakkan bahkan umpatan menjadi hal yang biasa untuknya.

Dengan nyali yang kuat Gantari keluar kamar, untuk melihat pertengkaran kedua orang tuanya.

"Saya sudah cukup bersabar ya Bapak Bagaskara Darmawan yang terhormat, sekarang kesabaran saya sudah habis, saya akan mengajukan surat perceraian ke pengadilan," teriak Dania sambil menunjuk kearah Bagas.

Wajah Bagaskara memerah mendengar penuturan Dania, "Baiklah saya terima, tapi Gaga akan tinggal bersama saya," ancam Bagaskara

"Tidak, Gaga hanya akan tinggal disini bersama saya,"

"Gaga adalah penerus perusahaan saya, jadi kamu tidak berhak untuk Gaga. Kehidupannya akan terjamin kalau dia tinggal bersama saya!" bentak Bagaskara

Tangisan Gantari terdengar pilu, air mata mengalir deras di pelupuk matanya, sungguh ia tidak menyangka kedua orangtuanya tidak menginginkan dirinya. Sedari tadi ia mendengarkan pertengkaran orang tuanya yang memperebutkan Abangnya.

Dengan mata yang tak hentinya mengeluarkan air mata, bibir terkatup menahan Isakan. Gantari berusaha menguatkan dirinya dan berjalan menuju kedua orangtuanya.

"Cukup Pi, Mi, apakah kalian hanya punya satu anak? Apakah Gantari tidak cukup penting untuk kalian," teriak Gantari secara tiba-tiba.

"Tau apa kamu ha? Anak tidak tau diri, beraninya kamu berteriak di depan kami," Dania menekan kedua pipi Gantari, membuat kepala Gantari mendongak.

Gantari dapat melihat dengan jelas wajah marah Maminya. Matanya yang merah dan melotot seram serta wajahnya yang juga ikut memerah.

"Kamu sekarang sudah berani dan nggak nurut sama Mami, Gantari! Udah sering juga mami kasih tau?!" bentak Dania.

Bagaskara bangkit dari tempat duduknya, wajahnya berubah datar rahangnya mengeras, dilepasnya ikat pinggang yang ia pakai saat itu juga, tangan kekarnya menarik Gantari ke hadapannya.

"Papi tidak punya anak yang tidak punya sopan santun dan pembangkang seperti kamu, sangat berbeda dengan Abang kamu," Bagaskara memukul betis Gantari cukup keras.

Gantari ambruk. Dirinya tidak kuat menahan sakitnya pukulan yang dihasilkan oleh ikat pinggang Papinya itu. Gantari menangis ditempatnya, tangisannya terdengar pilu.

"Gimana Papi bisa tahu kalau Gantari nggak punya sopan santun? Kalau Papi saja tidak pernah menjadi panutan untuk anaknya," ucap Gantari membela diri, suaranya terdengar lirih. Air matanya sudah bersiap untuk jatuh lagi.

"Anak yang tidak tau berterima kasih kamu!" bentak Bagaskara rahangnya mengeras ikat pinggang yang berada di tangannya mendarat dengan mulus mengenai punggung Gantari, membuat Gantari berteriak kesakitan.

"Ampun Pi," Bagaskara terus mengarahkan ikat pinggangnya ke punggung Gantari, Gantari menangis menahan rasa sakitnya. Saat hendak mendaratkan pukulan yang ke tiga, Dania menghentikan tangan Bagaskara. Membuat pria itu melihat kearahnya, melihat mata wanita yang dulunya dicintainya itu memerah, membuat Bagaskara mengurungkan niatnya.

Bagaskara langsung meninggalkan Gantari yang menangis di sudut ruang tamunya, disusul Dania yang pergi ke arah luar rumah tanpa memperdulikan anaknya yang kesakitan.

***
Melihat Bagaskara dan Dania pergi bi Imah langsung menghampiri Gantari, "Non, non yang sabar, ayo bibi bantu ke kamar," ajak Bi Imah dengan mimik muka yang menahan tangis.

"Salah Gantari apa Bi, kenapa mereka memperlakukan Gantari seperti ini Bi, Gantari capek Bi, Gantari selalu menjadi pelampiasan kemarahan mereka Bi," Isak Gantari terdengar pilu.

Mendengar penuturan anak majikannya ini membuat Bi Imah ikut merasakan sakit, bagaimana tidak dia juga ikut andil merawat anak-anak majikannya ini, ia hanya berharap semoga Non Gantari bisa bertahan dalam segala situasinya dan tidak menyerah menghadapi takdir dan tetap dijalan yang baik.

***
Hari sudah menunjukkan pukul 00:05 wib, malam semakin larut. Gantari masih terjaga, dirinya menangis dengan suara yang sangat pelan. Takut jika tangisannya dapat mengganggu yang lain.

Punggungnya terasa kebas, walaupun tadi sudah sempat diobati Bibi tapi rasa sakitnya tidak berkurang, belum lagi hatinya masih begitu sakit mendapatkan perlakuan kasar dari kedua orangtuanya.

"Bang Gaga kapan pulang, Gantari sakit bang. Gantari mau Abang disini, bantu Gantari bang, Gantari capek," ucap Gantari lirih sambil memeluk foto dirinya dengan Abang Gaga.

Prang!!

Gantari tersentak kaget saat mendengar suara pecahan kaca yang begitu keras, suara itu lagi? Tubuhnya sudah panas dingin, Gantari menutup telinganya erat-erat. Malam itu menjadi awal perpisahan kedua orangtuanya, Papi pergi meninggalkan rumah dan mengajukan ke pengadilan untuk Gaga tinggal bersamanya sedangkan Gantari hanya bisa pasrah karena tidak ada juga yang memperdulikannya. Bahkan menganggapnya ada di dunia ini. Bertahan di rumah ini hanya itu yang bisa di lakukannya saat ini.

------- Bersambung

GANTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang