Gue tau lo.
Gue tau lo.
Gue tau lo.
Sial!!! Kenapa tiga kata itu tidak pernah enyah dalam pikiranku. Bahkan sampai bel pulang sekolah berbunyipun aku masih memikirkan perkataan dari manusia berkamera!
"Fe?"
"Ah?" Aku menatap linglung Ajeng yang terkekeh sebentar. Kenapa dia terkekeh?
"Kalo sakit minum obat, gue duluan." Seusai mengatakan itu Ajeng pergi meninggalkan kelas. Ada beberapa orang yang masih sibuk memasukan buku dan membereskan semua yang berada di atas meja.
Tapi kenapa Ajeng mengatakan kalo sakit?
Aku tidak sakit. Aku kenapa jadi ikutan bodoh seperti mereka!!
Ini menyebalkan!
"YANG PIKET!!! SAPU DULU KELASNYA ELAH!"
Suara keras itu membuatku terkejut, mengerjapkan mata sebelum merilekskan jantung yang berdebar karena terkejut.
"YANG PIKET HARI KAMIS CEPET!! SAPU DULU!"namanya Ika. Wakil ketua kelas yang suaranya selalu tidak santai dan bikin senam jantung.
"Eh! FE! LO PIKET YA!" Aku hanya menganggukan kepala. Aku pernah sekelompok mengerjakan tugas dengan Ika. Hanya sekali, dan itupun 80% aku yang mengerjakan 20% Ika dan yang dua teman lainnya? Hanya Terima hasil. Karena mereka cowok.
Ah..bukankah setiap cowok itu berbeda-beda. Aku tidak punya hak untuk menyamaratakan mereka.
Tapi kenapa telingaku sering mendengar keluhan tentang seorang lelaki yang sama saja dari mulut teman sekelasku yang kalau curhat tidak tau volume suara.
Si pembuat polusi suara. Aku terkadang bingung dengan pemikiran sempit mereka.
Aku berfikir mereka sedang mengalami sakit hati yang diakibatkan oleh lelaki. Lalu dia akan menyamakan bahwa setiap lelaki itu sama saja.
Sama-sama brengsek dan penyebab sakit hati.
Lalu bagaimana jika peletakan kata itu di apliaskian kedalam keluarga.
Apakah ayah, kakek, atau saudara lelaki mereka akan sebrengsek itu.
Dan harus diketahui. Aku tidak tahu bagaimana latar belakang kehidupan setiap orang. Bisa saja lingkungan yang membuat dia berfikir seperti itu.
"Fe?" Ada suara lelaki yang menyapa gendang telinga. Aku menoleh ke arah Dika yang sedang membawa sapu.
"Lo.. Nyapu, gue angkat bangku kelas ya,"aku menganggukkan kepala, dia menyerahkan sapu itu sembari menggaruk tengkuknya.
Apa Dika berpotensi mempunyai kutu?
Ah pemikiran bodoh. ADA APASIH DENGAN AKU?!
Semenjak ketemu manusia berkamera aku jadi sedikit gila sepertinya.
"JAN--EH GU--gue aja yang angkat," Aku yang akan mengangkat kursi untuk dinaikan ke atas meja berhenti.
Tangan Dika menyentuh jari kelingkingku. Sepertinya dia sangat ingin mengangkat bangku. Terlalu antusias.
"Makasih," Aku mengambil sapu yang sebelumnya aku sendirkan di kursi depan.
"FE! DIK! PIKET MALAH PDKT!" menghentikan kegiatanku yang sedang menyapu. Aku menatap malas Ika yang tertawa bersama Ani dan Nia. Kebetulan mereka adalah patner kelompok piketku.
Jangan tanyakan yang cowok. Mereka tidak normal kecuali Dika.
Seingatku Dika tidak pernah bolos piket seperti kebanyakan cowok. 99% lah cowok di kelasku akan memilih di marahi dan di denda daripada berkontribusi membersihkan kelas.
Paling tidak bisa kan mengangkat kursi atau menghapus papan tulis?
Bahkan buang sampah di box sampah pun mereka malas.
"Dik lo kenapa nggak pernah bolos piket sih?" Aku masih menyapu sambil mendengar percakapan mereka.
"Kasian kalian ntar," Wah rasa kasian Dika tinggi sekali.
"Kasian gue atau kas--" Nia yang sedang menghapus papan tulis tiba-tiba ikut menyaut.
"Apasih," Kenapa dengan Dika. Kalau dia mereasa kasihan itu juga tidak salah bukan?
"Fe?"
"Hm?" Entah kenapa jika suasana kelas sepi seperti ini. Aku nyaman nyaman saja larut ke obrolan mereka.
"Lo.. Ada cowok?" Pertanyaan yang di lontarkan oleh Ika secara gamblang membuatku mengernyitakan dahi. Bahkan Dika, Ani, dan Nia menghentikan kegiatannya.
"Gak,"mungkin ini terdengar jahat. Tapi aku malas membahas tentang cowok. Aku bahkan tidak dekat dengan cowok.
Aku tidak akan menanyakan kenapa Ika bertanya seperti itu kepadaku. Karena aku tau.. Dia hanya sekedar ingin tahu-kepo.
"EKHEMM GASKEN LAH! HAHAHA" tiba-tiba saja suara menggelora itu sudah mengisi kesunyian kelas. Aku meringis kecil
Apa Ika tidak sakit tenggorokan?
"IKA NGAGETIN GUE LO!!" Sepertinya ini akan menjadi sebuah polusi suara yang tidak ada habisnya.
"Udah nggak usah dengerin mereka Fe, stress emang," Kata-kata Dika hanya ku tanggapi dengan anggukan kepala.
Aku cukup bingung dengan hari ini. Bertemu manusia berkamera di belakang sekolah dan sok kenal.
Lalu piket kelas dengan suasana yang tidak seperti biasanya.
Karena biasanya Dika hanya menghapus papan tulis dengan gerakan slow hingga aku yang menyapu lantai selesai. Maka Dika ikut selesai.
Ika, Nia, dan Ani yang biasanya tidak kompak berangkat piket bersama.
Karena jika Ika berangkat piket, maka Nia dan Ani akan ijin. Jika Ani dan Nia piket, Ika yang sok sibuk beralasan apalah itu hingga dia yang punya pangkat di kelas tidak ikut serta piket.
"Ngiisih dingirin kiti-kiti miriki Fi siki sitris, " Ani dan Nia kompak mengejek perkataan Dika tadi. Aku hanya menarik salah satu sudut bibirku, sebelum mengambil serok untuk membuang hasil sapuanku.
"Ka ada gitu ya manusia yang nggak peka," Ani membuka obrolan baru
"Ya adalah. Gue misalnya," Ika menjawab dengan congkak.
"Bukan lo astaghfirullah!!!" Ani mengeplak paha Ika dengan ganggang sapunya.
Entahlah apa yang mereka bicarakan. Aku mengembalikan sapu di belakang kelas. Ada chantelan khusus sapu dan alat bersih lainnya.
Ada beberapa suara yang masih menyapa gendang telinga. Namun aku biarkan.
"Duluan," Aku rasa satu kata untuk memberitahu bahwa aku akan pergi tidak cukup buruk. Aku melangkah keluar kelas tanpa mendengar jawaban mereka.
Yang penting aku sudah menyelesaikan kewajibanku. Dan di luar dari itu. Aku tidak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
bukan FIGURAN
General FictionTerdengar klise. Tapi tentu berbeda. Para tokoh utama dengan berbagai tingkah. Lalu ada si sebutir garam pada sayuran. Alias si Figuran. Pada dasarnya, tidak ada seorang FIGURAN karena setiap orang punya ceritanya sendiri dan menjadi tokoh utama...