Jeonghan, Jihoon dan Soonyoung berkumpul di rumah atap untuk minum bersama.
Jihoon hanya melamun dalam diam, Jeonghan duduk di depannya terlihat tak ada semangat. Soonyoung yang sedang menjemur pakaian memberitahu jika sebentar lagi pancakenya akan gosong, jadi menyuruh Jihoon maupun Jeonghan agar membaliknya.
"Jam berapa busnya pergi?" tanya Jihoon sedih. Jeonghan melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 7 malam, "Pukul 7 malam, Wonwoo pasti sudah menaiki bus itu sekarang".
"Hei, memangnya si Wonwoo mau berimigrasi ke Eropa? kenapa kalian khawatir sekali padahal dia hanya pulang kampung. Kita hanya memerlukan 4 jam untuk ke Namhae, bahkan 3 jam paling cepat." Komentar Soonyoung melihat keduanya berlebihan.
"Bukan begitu. Wonwoo saja dulu berusaha sangat keras untuk pindah ke Seoul." Kata Jeonghan.
"Berusaha keras apanya? dia saja langsung lolos masuk universitas." Kata Soonyoung mendekati Jihoon.
"Hei, walaupun dia lolos masuk Harvard saja, tak ada gunanya jika orang tuanya tak memperbolehkannya." Kata Jeonghan, Soonyoung bingung kenapa bisa seperti itu.
"Wonwoo tak diizinkan orang tuanya kuliah selain di Universitas Nasional Namhae. Ayahnya bilang biaya hidup di Seoul mahal." Cerita Jihoon.
"Begitu kah? Lalu bagaimana dia akhirnya datang ke Seoul?" Tanya Soonyoung penasaran.
"Masalahnya, Wonwoo itu agak gila" Ucap Jihoon. Soonyoung merasa jika Wonwoo malah orang terbaik yang dikenal. Jeonghan pikir jika Soonyoung sepertinya belum kenal betul dengan Wonwoo.
Jihoon dan Jeonghan pun menceritakan masa lalu Wonwoo. Ayah Wonwoo mempunyai prinsip, jika Wonwoo tak bisa menjadi hakim atau jaksa, maka satu-satunya pilihannya adalah menjadi guru, sedangkan nilai akademis Wonwoo tak cukup bagus untuk masuk fakultas hukum Universitas Nasional Seoul. Sedari kecil impian Wonwoo adalah menjadi penulis, makanya dia memutuskan mencoba masuk jurusan Sastra Korea. Saat makan bersama keluarganya, Wonwoo mengutarakan keinginannya kepada ayahnya, ayahnya langsung membalikkan meja makan. Jihoon dan Jeonghan tahu jika ayah Wonwoo sangat marah hingga membalikkan meja. Soonyoung tak percaya dan ingin tahu bagaimana cara Wonwoo membujuk ayahnya.
"Membujuk apanya? Aku kan sudah bilang, Wonwoo itu gila. Tanpa ada orang yang tahu, dia pun mendaftar jurusan Sastra Korea, di Universitas Nasional Seoul. Sampai semester pertamanya selesai, ayah Wonwoo mengira Wonwoo itu kuliah di Universitas Namhae." Ungkap Jihon.
Soonyoung mengakui Wonwoo memang gila karena mengira jika Jeonghan yang paling gila. Jihoon mengatakan jika Jeonghan ini hanya kepribadiannya yang jelek.
.
.
.
Sesampainya di rumah Junhui, Junhui memberitahu jika syarat tinggal di rumahnya masih belum berubah dan bertanya kepada Wonwoo apa Wonwoo tak keberatan. Wonwoo mengatakan tak keberatan dengan syaratnya akan tetapi ingin ada hal yang ditambahkan karena kini Wonwoo tak mempunyai pekerjaan.
"Jadi sebelum aku mendapatkan pekerjaan baru, maka aku membutuhkan penyesuaian dengan uang sewanya. Apa boleh uang sewanya diturunkan sedikit?" Tanya Wonwoo ragu.
"Kau ingin diturunkan menjadi berapa?"
"Sekitar 50 ribu. Jika kau bisa menurunkannya, maka aku takkan terlalu berat membayarnya." Kata Wonwoo, Junhui pun menyetujuinya.
"Apa kau yakin bisa mengatasinya? Maksudku, pernikahan. Di situasi seperti ini, mungkin lebih ekonomis jika pulang ke rumah." Ucap Junhui.
Wonwoo pikir tak masalah karena jika pulang ke kampung halamannya masih harus cari pekerjaan dan nanti bakal bertengkar dengan ayahnya. Jadi menurut Wonwoo, satu-satunya perbedaan antara pulang dan tinggal di rumah Junhui adalah hanya uang sewa, bahkan tak akan ada tempat yang lebih baik dari Seoul karena di Namhae pun, susah mencari kerja.
"Sepertinya tingkat stress di luar biaya sewa. Walau begitu, aku tadi sedikit kaget kau mau menikah denganku. Ku kira kau menganggap pernikahan itu didasarkan pada cinta. Waktu kau memilih pernikahan berdasarkan persewaan, aku sangat kaget." Ucap Junhui.
"Yaah.. itu hanya saja.. sama seperti katamu, cinta dan kasih sayang bukan hal yang aku butuhkan sekarang ini. Yang aku butuhkan sekarang adalah kamar itu." Kata Wonwoo.
"Aku, hari ini, memutuskan akan menikahi penyewaku dan aku sadar, ini bukan keputusan biasa yang dilakukan orang kebanyakan." Gumam Junhui.
"Sebenarnya.. aku juga sangat ingin mencobanya sekali, pernikahan." Ungkap Wonwoo.
"Aku akhirnya menemukan seseorang yang tak biasa sebagai suamiku." Gumam Junhui lagi.
.
.
.
Wonwoo tertidur di kamarnya yang nyaman, ketika bangun merasa tidurnya sangat nyenyak, wajahnya pun berseri. Ia membuat bibimbap untuk sarapan, senyuman bahagia sangat terlihat di wajahnya. Ketika Wonwoo menikmati sarapannya, Junhui keluar kamar, Wonwoo langsung berdiri menyapanya.
"Apa kau mau bibimbap? Aku tadi kebanyakan membuatnya." Ucap Wonwoo menawarkan bibimbap buatannya.
"Tak perlu. Secangkir americano sudah cukup baik untuk sarapan pagiku." Kata Junhui sambil sedikit melirik tapi memilih untuk minum kopi dan duduk di sofa bersama Matcha.
"Enaknya.. makanan dan tidur malamku. Aku sudah lama tak mengalami pagi seindah ini. Sama seperti kata pepatah, aku tak bisa menopang diriku sendiri. Di keadaan seperti ini, mana bisa aku berkencan dan mencintai? Uang 5 juta untuk sewaan saja aku tak punya. Namun berkat pernikahan ini, aku mendapat diskon 50 ribu dalam dua tahun, berapa totalnya itu? kau membuat keputusan tepat, Jeon Wonwoo." Gumam Wonwoo bahagia makan sarapan di meja makan.
"Ini sangat nyaman.. Matcha dan aku.. aku sudah lama tak mengalami akhir pekan yang tenang. Aku tak harus menderita ikut kencan buta lagi dan tertekan soal penyortiran barang-barang. Dengan memberikan diskon 50 ribu, aku menjadi tenang." Gumam Junhui sambil tersenyum.
Wonwoo mencuci piring dan memberitahu Junhui jika tadi memakai telur dan akan menggantinya, Junhui mengangguk mengerti. Setelah mencuci piring Wonwoo melihat tempat makan Matcha kosong dan langsung mengisi makanan kucing satu cangkir. Junhui melihatnya dengan senyuman.
"Sudah kuduga. Menikah dengan penyewaku memang solusinya." Gumam Junhui.
Seusai mengisi tempat makan Matcha, Wonwoo menerima telepon dan terlihat kaget. Ternyata itu telepon dari orang tuanya. Orang tuanya akan menghadiri acara pernikahan kerabatnya di Seoul.
"Ya, ada acara pernikahan. Jadi mereka akan datang ke Seoul. Kurasa aku harus pergi ke rumah kakakku malam ini." Jelas Wonwoo.
"Jika begitu, apa aku harus ikut denganmu?" Tanya Junhui. Wonwoo melotot kaget dan ingin tahu alasan Junhui harus ikut.
"Kalau kita akan menikah, aku harusnya berkenalan dengan orang tuamu." Jelas Junhui. Wonwoo pikir benar juga.
"Kita harus seperti itu jika kita mau menikah." Kata Wonwoo bisa mengerti.
"Ya. Sebenarnya aku sudah mengatur alurnya semalam." Ungkap Junhui sambil memperlihatnya Wonwoo skema pernikahan mereka di layar TV.
Wonwoo melihat bagan di layar TV yang memperlihatkan alur pernikahan sewa dua tahun. Mulai dari menemui orang tua, aula pernikahan, baju, pemotretan, proses pernikahan, bulan madu dan sebagainya. Wonwoo tak percaya jika mereka akan melakukan semua itu.
"Apa yang kau lihat sekarang ini alur pernikahan biasa, pernikahan yang didasari oleh cinta. Namun untuk pernikahan kita, kita bisa melewatkan proses ini. Kita hanya perlu fokus pada tujuan kita." Kata Junhui.
"Ya. Jadi, apa kau akan ikut denganku?" Tanya Wonwoo ragu. Junhui pikir akan efisien jika ikut dengan Wonwoo.
"Tapi jika ini terlalu mendadak.. ahh, tidak. Kita pergi saja hari ini." Kata Wonwoo memutuskannya. Junhui pun mengangguk setuju.
Hai! Aku balik lagi. Terima kasih banyak buat yang udah baca cerita ini. Walaupun telat, selamat tahun baru 2023! Semoga di tahun 2023 ini akan ada banyak hal baik untuk kalian semua yaa.
Sekali lagi terima kasih banyak yaa 💙💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Because This Is My First Life • WONHUI
Fanfiction• Remake Story dari Drama Korea yang berjudul sama, Because This Is My First Life • Cerita ini berkisah tentang Wen Junhui yang menghabiskan uangnya untuk rumah yang berakhir memiliki banyak hutang dan Jeon Wonwoo yang tidak memiliki tempat tinggal...