2/2

2.6K 180 72
                                    

60+ comments for next chapter!

Jeffrey baru saja tiba di bandara dan langsung mendatangi kamar mandi. Karena dia berniat memuntahkan isi perut yang tidak terisi apa-apa sejak memasuki pesawat hari ini. Ditambah, perbedaan waktu yang sangat bertolak belakang membuat kepalanya terasa pusing sekali.

Huek... Huek...

Setelah berkumur dan meminum air keran, Jeffrey langsung menoleh ke kanan. Pada laki-laki bertubuh tinggi besar yang baru saja memberikan sapu tangan dan sebotol minuman yang masih tersegel tutupnya. Membuat Jeffrey yang awalnya ingin menolak, kini langsung mengurungkan niat.

"Terima kasih."

Laki-laki tadi mengangguk singkat, lalu mencuci tangan dan kembali memakai tas selempang warna hitam beserta papan nama yang biasa digunakan untuk menyambut keluarga atau kenalan di bandara.

"Sama-sama, aku membawa banyak minuman isotonik di tas untuk menyambut keluargaku datang. Tapi pesawat mereka terlambat mendarat. Mungkin dua sampai tiga jam lagi baru datang."

Jeffrey mengangguk singkat, lalu mengucap terima kasih lagi sebelum berpamitan. Karena Jeffrey harus bergegas terbang ke kota lain untuk menemui Joanna.

Drttt....

Ponsel Jeffrey yang baru saja dihidupkan langsung bergetar panjang, pertanda ada panggilan datang yang ternyata berasal dari Meta, adiknya.

"Halo?"

"Kak Jeffrey di mana sekarang? Kata Kak Mega, sekarang Kakak pulang. Aku sudah di bandara---Kakak! Aku di belakangmu sekarang!"

Jeffrey langsung menoleh ke belakang, menatap Meta yang sudah berlari dan memeluknya. Karena mereka sudah lama tidak berjumpa. Sudah sekitar empat lahun lamanya. Ketika Meta masih berusia 16 tahun dan berambut pirang karena sering bermain layangan. Tidak seperti sekarang yang sudah kembali berambut hitam karena sudah bisa menerima keadaan dan kembali mau merawat diri seperti sebelumnya.

"Ayo, Kak! Aku sudah pesan taksi online untuk Kakak. Mana koper Kakak? Aku dibelikan oleh-oleh, kan?"

Jeffrey menggeleng pelan, membuat Meta sedikit kesal namun tidak berani memprotes karena ingat jika kakaknya sedang berduka.

"Kakak mau langsung menemui Joanna dan pulang ke rumah setelah menemuinya."

Jeffrey melepas pelukan dan berniat membeli tiket penerbangan tercepat menuju kota asal Joanna. Namun, belum ada lima langkah, tubuhnya langsung limbung dan membuat Meta histeris di tempat.

4th February 2034

Jeffrey baru saja terbangun dari pingsannya, membuat Jessica dan Meta yang sejak tadi sudah berjaga mulai mengucap syukur bersama.

"Jeffrey, kamu tidak apa-apa? Bagian mana yang sakit?"

Jeffrey menggeleng pelan, dia diam saja ketika Jessica menangkup wajahnya dan mengecupi pipinya bergantian. Tentu saja sembari menangisi keadaan anaknya sekarang yang tampak menyedihkan. Hingga pingsan di bandara karena anemia setelah tahu jika dia akan ditinggal menikah oleh si wanita pujaan.

"Jeffrey tidak apa-apa, Ma. Mama, aku mau menemui Joanna sekarang, aku ingin berbicara dengannya sebentar saja sebelum dia menikah. Siapa tahu dia mau membatalkan pernikahan dan---"

Plak...

Jessica menampar anaknya, tentu saja dengan wajah yang masih bersimbah air mata karena kasihan. Sebab, Jonathan bukan tandingannya. Dia berasal dari keluarga kaya dan memiliki backing-an di mana-mana. Tidak seperti anaknya yang harus berjuang sendirian demi menghidupi keluarga.

"SADAR DIRI! KITA BUKAN SIAPA-SIAPA LAGI! PAPAMU SUDAH BANGKRUT KARENA BERJUDI! BIARKAN JOANNA MENIKAH DENGAN LAKI-LAKI INI!"

Jeffrey ikut menangis sekarang, disusul dengan Meta juga. Mereka menangis bertiga. Karena Joanna sudah cukup lama hidup berdampingan dengan mereka. Jangankan masalah uang, mengambil raport Meta ketika Jeffrey di California saja Joanna yang lakukan. Mengingat memang sudah sedekat apa hubungan mereka.

Ditambah, Jeffrey dan Joanna sudah sama-sama dewasa ketika berkencan. Sehingga, keduanya memang sudah seperti pasangan menikah sungguhan karena saling membantu berbagai masalah yang sedang dihadapi masing-masing keluarga.

Seperti Jeffrey yang dulu pernah membantu orang tua Joanna dalam membangun bisnis furniture hingga bisa memilik dua cabang di Jakarta dan Surabaya. Serta Joanna yang selalu ada di masa-masa sulit Jeffrey sekeluarga ketika Sandi tiada dan meninggalkan banyak hutang. Bahkan, diam-diam Joanna juga ikut memberi uang saku Meta sejak kuliah hingga sekarang.

Di tempat lain, Joanna sedang menikmati pijatan orang salon yang dikirim mertuanya. Karena dia memang diminta untuk tidak keluar rumah dalam satu pekan sebelum acara pernikahan. Pamali katanya, karena banyak setan berkeliaran yang mungkin saja akan menggagalkan acara pernikahannya.

Joanna sedang tidur tengkurap dan memejamkan mata. Sesekali, dia juga mengadu sakit ketika si pemijat menekan bagian-bagian tertentu tubuhnya. Membuat Meri selaku ibu Jonathan yang memang ikut datang guna mengawasi kinerja si pemijat mulai cekikikan di tempat.

"Kamu sudah bekerja keras selama ini. Joanna, Mama tinggal ke dapur sebentar. Kamu pasti haus, kan?"

Joanna mengangguk singkat, lalu meringis sakit ketika telapak kakinya ditekan cukup kencang oleh si pemijat.

"Sudah selesai?"

Tanya Liana yang baru saja menemui para tamu yang datang. Karena di rumah tidak acara masak-masak ataupun membungkus souvenir yang akan diberikan pada tamu undangan. Sebab, Meri sudah menyerahkan semuanya pada WO yang telah dibayar sangat mahal olehnya.

"Belum. Di kulkas ada minuman apa saja? Joanna pasti kehausan karena terlalu lama dipijat menggunakan minyak kelapa."

Liana terkekeh pelan, lalu membuka kulkas berukuran besar untuk ibu calon besannya.

"Jessica sudah kamu minta datang, kan? Sebenarnya aku tidak enak padanya, karena kita pernah ada di kelas memasak yang sama."

Liana mengangguk singkat, karena dia juga masih berhubungan baik dengan Jessica. Mengingat mereka sudah saling bantu selama delapan tahun ke belakang.

"Iya, dia sudah kuminta datang. Bersama anak perempuannya juga."

Meri mengangguk cepat, lalu membawa air dingin kemasan menuju tempat Joanna dipijat sekarang. Karena dia benar-benar sudah menantikan hal ini sejak lama. Yaitu pernikahan Jonathan, si anak semata wayang yang kini sudah berusia 39.

Ceklek...

Pintu terbuka, Meri menatap Joanna yang baru saja meletakkan ponselnya di atas meja. Dengan raut cemas entah karena apa. Namun yang jelas, Meri dapat melihat jika calon menantunya sedang bersedih sekarang. Dapat dilihat dari kedua matanya yang hampir memuntahkan air mata.

Masih mau lanjut? Ramein dulu!

Tbc...

EVERLASTING [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang