CHAPTER 21
LAST KISS
"Menyedihkan ya," ucap Emmy sambil memandang gemerlap lampu yang menyinari kota sebelum beralih menengadahkan kepalanya untuk menatap langit. "Kita bisa lihat begitu banyak cahaya lampu di bawah sana, tapi kita nggak bisa melihat satu pun cahaya bintang di langit."Kara turut mengarahkan tatapannya ke langit malam yang bersemburat jingga. Polusi cahaya yang disebabkan lampu-lampu penerangan jalan, kendaraan, videotron, dan gedung-gedung yang tak terhingga jumlahnya di Kota Metropolitan itu membuat langit seperti berkabut merah kekuningan. Pendaran langit malam karena cahaya buatan yang begitu masif itu juga mengakibatkan langit di kota-kota besar seperti Jakarta jarang sekali terlihat hitam kelam, sehingga menyulitkan beberapa objek luar angkasa yang sejatinya dapat dilihat dengan mata telanjang dari permukaan bumi tampak di malam hari.
Saat ini Kara dan Emmy tengah berada di rooftop gedung apartemen yang Kara tempati. Mereka duduk bersisian di atas permukaan beton yang berdampingan dengan pembatas rooftop yang hanya setinggi dua jengkal. Dari posisi mereka berada saat ini, gemerlap lampu yang menyinari seisi kota dapat terlihat dengan sangat jelas.
Setelah lukanya dibersihkan dengan cairan antiseptik dan dibalut kasa, Emmy mengajak Kara ke puncak gedung itu. Dia berkeras meminta perempuan berkacamata itu menemaninya ke sana meski kakinya masih terasa nyeri. Meski juga dia harus berjalan dengan cara dipapah dan tertatih. Dia hanya ingin memiliki waktu berdua saja dengan Kara, meski hanya sejenak.
Dulu saat mereka masih sama-sama menyembunyikan jati diri masing-masing, mereka sering menggunakan kesempatan yang mereka punya untuk menghabiskan waktu di puncak gedung sebuah SMA internasional tempat mereka menuntut ilmu. Hanya di tempat itu saja mereka dapat mengekspresikan diri tanpa dipandang aneh dan penuh selidik serta penghakiman dari orang lain yang berada di lingkungan sekolah. Jadi saat waktu istirahat atau sama-sama memiliki jam pelajaran kosong di kelas masing-masing, Kara dan Emmy kerap menghabiskan waktu berdua saja di atap sekolah. Entah untuk sekadar ngobrol, berbagi camilan, mengerjakan tugas, hingga mencuri ciuman singkat.
"Lo apa kabar, Ra?" tanya Emmy saat perempuan di sampingnya tidak kunjung buka suara.
Kara mengedikkan singkat kedua bahunya. "I'm trying to get by."
"Ra," panggil Emmy seraya menautkan jemarinya dengan jemari Kara. "Gue... gue minta maaf karena dulu gue pergi begitu aja tanpa pamit. Gue juga nggak berusaha untuk menghubungi lo dan mencari tau keberadaan serta keadaan lo. Bahkan sampai beberapa hari lalu. Gue... gue terlalu pengecut dan egois. Pengecut karena gue takut kehilangan segalanya kayak lo. Egois karena gue lebih mementingkan keamanan dan kenyamanan gue sendiri," ungkap perempuan berambut pendek itu.
Kara mengurai jemarinya dari jemari Emmy. "We were both young at that time, Em. I would do the same if I were you," kata perempuan berkacamata itu sembari menatap kilauan lampu di bawah sana. "Bohong banget kalau gue bilang waktu itu gue nggak patah hati. Tapi gue nggak pernah membenci lo atas apa yang sudah terjadi. Bukan lo yang salah. Lo cuma melakukan sesuatu yang memang perlu lo lakukan. Dan melindungi diri lo sendiri adalah keputusan terbaik yang kala itu lo buat."
"Tapi tetap aja, Ra. Gue salah karena udah pergi begitu aja ninggalin lo. Setidaknya gue bisa kasih tau lo sebelum orang tua gue memindahkan gue ke Surabaya setelah... setelah semua yang terjadi hari itu. Gue... gue minta maaf untuk hal itu ya, Ra."
Seulas senyuman samar dan singkat terukir di bibir Kara. "Nggak ada yang perlu dimaafkan kok, Em," ujarnya kemudian. "Gue justru mau berterima kasih sama lo. Waktu itu Ben bilang kalau lo langsung menghubungi dia setelah lo pergi dari... dari rumah yang pernah gue tinggali dulu. Kalau lo nggak menghubungi dia dan dia nggak tau keadaan gue saat itu, gue nggak tau apa yang akan terjadi sama gue. I don't know. Maybe I could die in the street at such a young age?"
KAMU SEDANG MEMBACA
WRAPPED AROUND YOUR FINGER
RomanceDelilah pernah dipertemukan dengan seorang malaikat saat usianya sepuluh tahun. Pertemuan yang hanya berlangsung kurang dari tiga puluh menit itu terpatri erat dalam benaknya selama bertahun-tahun. Bagaimana bisa dia melupakan orang yang pernah meng...