8.

902 125 0
                                    

Setelah mengadakan serangkaian prosesi, hari ini jenazah suaminya akan segera dimakamkan. Nana nggak tau kekuatan apa yang bisa bikin dia tetap berdiri, natap peti putih yang pelan-pelan diturunkan ke liang lahat.

Ibu mertuanya bahkan udah nangis hebat dalam pelukan papa, keluarga Mark nggak ada yang nggak nangis, cuma Nana yang natap makam dengan pandangan kosong, dia bisa ngerasain tantenya ngelus punggung tangannya, juga Echa yang rangkul dia dari samping.

Tapi semua itu nggak bisa bikin dia netesin air mata lagi, rasanya hampa, seperti ada yang dicabut paksa dari tubuhnya, ninggalin lubang kosong yang ngebuat dia linglung.

Suaminya adalah satu-satunya yang ia punya sebelum mereka memiliki Nino. Mark adalah pegangannya, tempat dia bersandar dan ngeluh. Kepergian lelaki itu terlalu mendadak, membuat semuanya jadi sulit untuk Nana cerna.

"Na ..."

Panggilan Echa bikin dia noleh.

"Kamu pasti kuat."

Nana narik senyum miring. Kuat? Dia bukan apa-apa tanpa Mark. Sekarang aja dia nggak tahu gimana lanjutin hidup cuma bareng anaknya doang.

Mereka terlalu bergantung pada lelaki itu.

Saat tanah pelan-pelan menimbung peti mati suaminya, Nana terisak keras, pandangannya buram oleh air mata, lututnya lemas hingga akhirnya tersungkur di atas tanah, terakhir yang bisa dia ingat cuma tangan kekar yang nahan tubuhnya sebelum memeluk bumi.

***

stemmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang