Nadir melangkahkan kakinya di atas aspal hitam yang kokoh, sekilas ia memejamkan mata, menikmati hawa malam yang syahdu, sembari menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan tenang. Ia selipkan kedua tangannya dalam kantong jaket yang membungkus tubuh mungilnya.
Meski demikian, dinginnya udara masih saja menggetarkan bulu kuduk dan menusuk tulang belulangnya yang tipis. Matanya memandang ke segala arah, menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang dengan tujuan yang berbeda-beda.Malam ini ia memutuskan untuk mengelilingi taman kota yang kebetulan tak jauh dari asramanya, bersama Nala tentunya.
Terlihat beberapa orang tengah bergerumul hendak membeli jajanan yang telah tergelar di sepanjang tepi jalan. Kemungkinan besar tergoda oleh aroma-aroma makanan yang di goreng, di bakar, dan segala macamnya. Ada juga yang asyik nongkrong ditemani secangkir kopi dan sepiring pisang goreng juga bakwan. Ada yang sebatas duduk-duduk di bangku taman sembari menatap kerlap-kerlip lampu warna-warni yang mampu menggugah suasana romantis. Ada pula yang hanya berjalan-jalan, bersenda gurau bersama teman sejawat, pasangan, atau bahkan asyik berbincang dengan dirinya sendiri.
Malam ini, suasana kota cukup ramai, namun rasa sunyi justru menguasai batin Nadir. Sepi yang terulang hampir setiap malam.
Kosong.
Sebuah kekhawatiran tiba-tiba muncul kembali dalam lubuk hatinya lantas memengaruhi kerja nalarnya. Apa yang harus aku lakukan setelah kuliah? Bagaimana jika kuliahku sia-sia seperti kata orang? Apa aku bisa berlaku dewasa seperti mereka yang telah dewasa lebih dahulu, juga siapa yang akan menjadi pendampingku kelak? Banyak hal berkecamuk dalam pikiran Nadir.
Usia 21 tahun bukan usia remaja lagi. Pun jika ingin bertindak seolah masih remaja, akan ada masanya dimana setiap manusia dipaksa untuk dewasa.
"Nad, gue tinggal beli cilok, ya?" ucap Nala setengah berteriak. Sedikit mengagetkan Nala yang tengah berdialog dengan dirinya sendiri. Belum sempat ia menjawab, Nala telah berlari menghampiri gerombolan orang yang sedang antre cilok.
Nadir hanya menoleh sekilas, lalu kembali berjalan. Langkahnya terhenti di sebuah bangku kosong di tepi taman. Ia pun duduk, berusaha menenangkan diri di antara keramaian yang ada di depan mata. Namun, otaknya semakin berkecamuk tak karuan.
Apa hanya aku yang merasa sulit untuk menjadi dewasa?
Bagaimana orang bisa bertahan dengan keadaan?
Tertawa, nongkrong sana sini, seakan tidak ada yang dikhawatirkan tentang hari esok?
Ahh .. Aku benci overthingking ..
Tiba-tiba ..
"Hmmm ..," terdengar deheman dari sisi belakang.
Siapa lagi ini, aku benci diganggu. Batinnya. Jelas bukan Nala, ini suara lelaki.
Tak ada sedikitpun keinginan untuk menoleh, memastikan siapa yang datang, bahkan Nadir merasa itu hanyalah halusinasi semata atau mungkin deheman itu bukan ditujukan kepadanya. Tapi mengapa terdengar sangat dekat?
"Hmmm ..," deheman itu terdengar untuk kedua kalinya. "Haii Nad ..," tambahnya.
Deg. Jantung Nadir seakan berhenti berdetak. Ia kenal suara itu. Nadir pun memberanikan diri untuk menoleh ke sumber suara. Sedetik kemudian, nampak seorang lelaki yang tengah menatapnya sembari menampilkan seulas senyum tipis. Ia memakai jaket hitam dengan rambut yang sedikit acak-acakan tetapi terlihat keren dan menawan. Bau harum parfum tercium hingga menodai cuping hidung Nadir. Arsya telah berdiri tepat di sampingnya.
Ahh, tambah lagi overthingkingnya. Ia takut jatuh cinta untuk kedua kalinya pada laki-laki yang sama.
"Hai juga," ucap Nadir acuh tak acuh, ia pun segera mengalihkan pandangan agar laki-laki itu tak melihat kelakuannya yang sebenarnya salah tingkah untuk kesekian kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADIR
Novela JuvenilHidup memang penuh cerita nan rahasia. Kadang ia merajuk sempurna dalam diary manusia namun seketika itu pula ia menghantam manusia hingga titik terendahnya. Siapa sangka, hidup ternyata bersekongkol erat dengan lembah takdir Sang Pencipta. Takdir b...