MAS - 26

3.8K 482 175
                                    

Terima kasih dan selamat membaca 💕

***

PERCAYA nggak percaya, pagi ini, begitu gue turun ke lantai satu, Sri tersenyum saat berjalan membawa sebuah wadah besar berisi nasi panas, berhias kepulan uap yang aromanya menggoda hidung gue. Ditambah lirikan sambil lalu dia yang menggoda iman gue.

Kagak lah, senyuman Sri kecil dan natural seperti biasa. Gue doang yang lebay akibat syok. Pasalnya, setelah genap seminggu dianggap tak kasat mata, akhirnya gue disenyumin lagi sama dia. Mana cute banget, ada malu-malunya.

Wait.

Gue celingukan ke belakang, sekadar memastikan nggak ada siapapun selain gue di sini. Nggak ada. Jadi senyuman barusan memang buat gue. Gue balas tersenyum meskipun Sri udah lewat. Rasa pegal yang mendera bahu gue sehabis nurunin koper raksasa hilang begitu saja.

Sepanjang sarapan, meski tanpa komunikasi, Sri nggak menghindari gue lagi. Dia menatap jika gue bicara, dan nggak berpaling jika gue memperhatikan saat dia yang bicara. Papa, Mama, dan Abang secara alami menjadi perantara kami. Biasanya, Papa menentang percakapan panjang di tengah makan bersama, tapi gue rasa pagi ini adalah pengecualian.

Ya, sebab ini adalah sarapan terakhir gue bersama mereka, sebelum gue bertolak ke Singapore dengan flight jam 11 nanti. Untuk pertama kalinya, sejak 18 tahun gue tumbuh dan berkembang di rumah ini, gue akan merantau jauh dari keluarga inti gue.

Koreksi, nggak jauh sih bagi gue. Singapore-Jakarta dua jam doang kali. Namun, dibanding Papa yang santai, Mama adalah yang paling banyak mewanti-wanti gue sejak semalam seolah gue bakal pindah beda benua. Gue iyain semua biar cepet. Mama terlihat nggak puas dengan respons gue, tapi ciuman di pipi dan pelukan dari gue belum pernah gagal mengambil hati Mama lagi.

Abang dan Sri ngetawain gue. Papa geleng kepala ngatain gue manja, but who cares, gue bakal sangat rindu cuddling sama Mama kayak gini. Terlebih, menghilang dari tengah-tengah kehangatan keluarga ini bakal membuat gue mengalami kekosongan dalam waktu lama.

"Sekarang peluk-peluk, besok ditelepon pura-pura nggak lihat HP," sindir bokap lagi setelah menyeruput kopi.

Ganti gue yang ketawa. "Pa, nyinyir sama sekali bukan Papa. Kenapa, sih? Need a hug juga?" Gue melepaskan Mama lantas berpindah memeluk punggung Papa di sebelahnya. Papa ikut ketawa memegang lengan gue.

"Minta apa kamu? Cash di dompet masih kurang?"

"Nope," gue menggeleng, "Mau nyium bapak-bapak nyinyir." Tanpa menunggu jawaban, gue mencium pipi bokap kanan-kiri yang otomatis mengundang decakan Abang.

"Iyuh!" Abang bergidik.

"Astaga, Bang, mau juga?" Gue mendelik dramatis dan bergeser menangkap Abang dari belakang. "Utututu, mana pipinya? Sini sini sun dulu. Spesial Abang bonus di jidat, nih ...."

"Heh, no! Kumat deh, jangan gila!"

Abang belingsatan mendorong muka gue, berkelit menghindari sosoran bibir gue. Tawa spontan Papa-Mama bikin gue makin nggak siap menghadapi perpisahan. As an introvert, berinteraksi dengan orang lain dalam waktu lama cukup menguras energi gue. Namun, tentu saja keluarga gue adalah pengecualian yang justru jadi sumber energi.

"Bude, kalau ini sudah, Sri bawa ke belakang, nggih?"

Oh, sudah pasti Sri juga. Melihat luwes gerakannya saat mengumpulkan piring-piring kotor, menumpuknya, dan membawanya berjalan ke dapur saja membuat sudut bibir gue terangkat dengan sendirinya. Gestur kalem itu bikin hati gue adem.

"Sekalian sun dia juga, berani nggak? Good bye kiss," bisik Abang, menyentil kesadaran gue setelah bengong cukup lama.

"Silakan, kalau mau Mama selepet," sahut nyokap.

My Adorable Sister (MAS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang