Besok adalah hari yang harus Vasha ingat, ketika dirinya memulai suatu tingkatan baru, menggunakan seragam yang sudah dari dulu dia idamkan.
Sedari dulu, Vasha selalu berpikir jika masa-masanya di SMA akan sangat menyenangkan. Berteman dengan banyak orang baru, memulai perkenalan, menunjukkan kemampuan belajarnya. Aah, Vasha sangat tidak sabar.
Sebenarnya, Vasha sudah berkali-kali mendengar dari teman-teman SMP-nya, jika masa SMA tidak seindah yang dirinya pikir. Tapi Vasha, dia selalu mengenyahkan opini itu untuk membuat dirinya merasa senang.
Masa-masa sekolahnya dulu bisa dibilang buruk. Vasha tidak memiliki sahabat, hanya teman-teman sekelas saja. Itupun tidak terlalu dekat.
Di masa sekolahnya sekarang, Vasha ingin sedikit mengubah sifatnya. Dulu, dia selalu peduli terhadap apapun. Mengurusi urusan orang yang bahkan sebenarnya itu tidak perlu sama sekali.
Vasha agak menyesal. Dia ingin berubah. Perubahan itu diawali dengan perubahan prinsipnya juga.
Dari, urusan dia urusanku juga, menjadi you only live once in the world.
Dia berusaha untuk tidak memperdulikan urusan yang menurutnya tidak perlu ia urusi. Contoh dekatnya, seperti dia yang acuh dengan orang-orang famous di sekolahnya.
Ekhem. Vasha sedang menyinggung Daka.
Tentu saja, perubahan sifatnya ini tidak mudah. Dia seringkali merasa jika dirinya harus mencampuri––membantu–– orang lain. Tapi, pertahanannya cukup kuat untuk tidak melakukan itu semua.
Jika dipikir-pikir, Vasha lebih nyaman dengan kehidupannya yang sekarang.
***
Aah ...
Menyegarkan.
Hari Minggu, salah satu hari yang aku sukai. Bisa berlari pagi, membeli jajanan di jalan––yang biasa nangkring di pinggir jalan–– bisa melihat pepohonan pula.
Tentu di hari yang cerah ini, aku terus-menerus menarik napas dan memejamkan mata menikmati angin pagi yang sejuk.
Posisiku sekarang berada di bawah pohon beringin, menumpukkan tangan ke besi pembatas di ujung jalan yang entah kenapa sepi sekali orang. Padahal menurutku, tempat ini cantik.
Jika menghadap ke Barat, aku bisa melihat matahari yang terbenam––jika sore hari. Jalanan ini buntu, benar-benar buntu. Mungkin, itu sebabnya orang-orang tidak berminat untuk bersantai di sini.
Aku terus-terusan tersenyum. Memandang lurus dengan mata yang agak menyipit untuk melihat awan-awan yang berkumpul di langit.
Sudah beberapa bulan, aku tidak berlari pagi. Otot-ototku rasanya kaku, bahkan tadi aku sempat mengalami keram. Aku sering berpikir untuk mulai berolahraga, tapi nyatanya, itu hanya pikiran bukan niat yang semestinya bakal terjadi.
Hmm, aku kadang merasa iri dengan orang lain. Mereka terlihat sangat bersemangat dan rajin untuk menyehatkan badan mereka dengan berolahraga.
"Sedang melamun apa?"
Aku yang tadinya sedang memejamkan mata, sontak melebarkan mataku begitu mendengar bisikan halus yang terdengar dari sebelah kanan bahu.
Sedikit panik, tetapi rasa panik itu hilang begitu tahu siapa yang berbisik halus.
"Hn, Kak Ardan, lagi nggak ngapa-ngapain." Aku menjawab dengan pandangan yang sengaja aku alihkan.
Kak Ardan tersenyum. Bagaimana aku tahu? Sebab, Kak Ardan menumpukkan kepalanya di atas kedua tanganku yang masih memegang pagar besi itu.
Aku mengernyit, menggerakkan jari dengan pelan bermaksud memberitahu Kak Ardan untuk menjauhkan kepalanya.
Kak Ardan lagi-lagi tersenyum, lesung pipinya yang ada di sebelah kanan terlihat sangat manis.
Kini giliranku yang menampakkan senyum. Tetapi, begitu merasa bahu kiriku terasa berat, senyumku luntur begitu saja.
"Kakk ..." rengekku ketika Kak Ardan malah menumpukkan kepalanya di bahu kiri.
"Hmm?"
Aku mengerutkan kening begitu mendengar laki-laki yang umurnya hanya berbeda 2 tahun––tentunya denganku–– itu hanya bergumam tanpa menjauhkan kepalanya.
Tanpa pikir panjang lagi, aku bergeser ke kanan. Tertawa kecil begitu melihat Kak Ardan mengaduh karena kepalanya kehilangan tumpuan.
"Makanya, kalau dibilangin tuh nurut. Lagian, udah tau berat, malah nyender-nyender segala."
Kak Ardan malah menarik kedua pipiku dengan kencang. Refleks, aku memukul tangan Kak Ardan tak kalah kencangnya.
"Pipiku ini udah tembem, jangan ditambah lagi," peringatku yang dibalas kekehan oleh dirinya.
"Tau lah, malesin banget kalau ngobrol sama Kakak."
Setelah mengucapkan hal itu, aku bergegas pergi ke arah salah satu penjual yang ada di sana.
Hahaha, saatnya berburu makanan.
***
Daka mengernyit kesal. Dia tahu jika dirinya dan Vasha baru bertemu beberapa hari yang lalu. Tapi, banyak yang bilang bukan, jika cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada?
Sebenernya tidak. Awalnya Daka tidak percaya dengan fall in love at first sight, tapi begitu dirinya bertemu dengan Vasha, rasa-rasanya Daka telah mematahkan rasa tidak percayanya itu untuk gadis tersebut seorang.
"Lo itu lagi cemburu. Nggak perlu gue jelasin 'kan, apa itu cemburu?" ujar Eko yang disahuti oleh tawa teman-temannya yang lain.
"Diam, gue juga tau! Lo pikir gue segitu bodohnya sama masalah kayak ginian?!" Daka menatap tajam pada Eko, Eko menyengir lebar.
"Gimanapun juga, lo baru pertama kali ngerasain sama yang namanya jatuh cinta. Kita-kita cuma khawatir lo nggak ngerti sama unsur-unsurnya." Alfa berucap dengan santai, laki-laki bertindik di telinga kanan itu menyeringai melihat Daka––temannya yang pendiam sedang mengepalkan tangan sambil terus menatap intens interaksi kedua manusia berbeda jenis kelamin di depan sana.
"Unsur-unsur apa dah? Gue baru denger soal begituan ..." tanya Adan.
Andra yang mendengar pertanyaan itu hanya bergumam paham. Adan, dia yang terapih diantara teman-temannya yang lain. Rambut klimisnya pun selalu tertata, entah setelah tawuran maupun berkendara.
Selain rapih, Adan juga sebelas-duabelas dengan Daka. Pemuda itu belum menemukan cinta pertamanya.
"Lo bakal paham begitu lo udah nemuin seseorang yang menurut lo cocok buat dijadiin pasangan. Sebelum lo nemuin hal itu, jangan pernah sekalipun lo tanya-tanya tentang yang tadi."
Ucapan Alfa menyinggung Adan. Adan dengan ganas menyikut perut Alfa yang sayangnya berada tepat di samping Adan.
"Set dah, kira-kira lo kalau mau nyikut. Berasa mau muntah gue," ucap Alfa sambil meringis.
Adan hanya menampilkan wajah sinisnya enggan menjawab perkataan Alfa tadi.
"Btw, apa rencana lo sekarang Ka? Gue pikir, tuh cowok pacarnya si Vasha deh. Akrab gitu keliatannya." Pertengkaran kecil tadi terpotong kala Leon yang selalu memakai topi terbalik mengeluarkan suaranya.
Andra terkekeh pelan, "Bener kata Leon. Apa rencana lo buat ngerebut doi dari pacarnya?"
Daka tidak menjawab, dia hanya mengusak rambutnya begitu melihat jika Vasha sedang berangkulan mesra dengan seorang pemuda yang sehari tadi terlihat terus-terusan mengikuti Vasha.
"Gue bakal buat tuh cewek suka sama gue. Gimanapun caranya, gue mau dia jadi milik gue," ujar Daka dengan nada serius dan tatapan mata yang masih melihat kedua subjek di depan sana.
*****
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Excessive Feelings
Novela JuvenilJudul awal : Vasha & Daka. *** Excessive feelings : perasaan yang berlebihan. Sesuatu yang berlebihan memang seringkali tidak bagus. Tetapi, jika kita pergunakan sesuatu yang berlebih itu dengan baik, maka hal tersebut mungkin akan menjadi hal yang...