5 : "Ini satu lagi keajaiban dunia dari Radit."

3 0 0
                                    

*****



"Bik Nah, aku berangkat," pamit Raina sambil melambai dari dalam mobil pada pembantu rumahnya.

Wanita paruh baya yang berdiri di gerbang rumah Raina itu tersenyum. "Iya, Neng. Hati-hati!" balasnya ikut melambaikan tangan.

Rabu pagi itu Radit hanya sendirian saat menjemput Raina. Saat Raina menanyakan keberadaan Ratih sewaktu Radit datang tadi, Radit memberi tahu kalau Riga datang ke rumah dan mengajak Ratih berangkat bersama pacarnya itu, karena kebetulan jadwal kuliah Riga diundur sehingga membuatnya tidak bisa menjemput Ratih pulang sekolah nanti.

"Siapa?" Radit tiba-tiba bertanya sementara mengemudi mobil.

Kening Raina berkerut. "Bik Nah maksud lo?"

Radit mengangguk.

"Pembantu di rumah," jawab Raina. "Biasanya kerja hari Rabu sama Sabtu pagi sampe siang, karena kerja di rumah-rumah yang lain juga. Tempat tinggal Bik Nah juga nggak terlalu jauh dari rumah gue. Tapi hari ini dari sore sampe besok pagi nginep nemenin gue, karena Tante Desti ada urusan kerja di luar kota. Subuh tadi udah pergi ke bandara."

"Pantesan gue nggak liat barusan di rumah. Emang Tante Desti profesinya apa?"

Raina terdiam. Hanya sejenak, sebelum kemudian menjawab tenang, "Tante Desti aslinya sih penerjemah literatur di Jendela Dunia Pustaka." Raina mengangkat bahu sambil lalu. "Tapi dia juga punya bisnis lainnya di luar."

"Oh gitu," gumam Radit pendek.

Raina mengernyit. Sembari menggigit bibir, Raina menahan diri untuk tidak menyentuh perutnya. Rasa nyeri yang sejak pagi buta tadi menyerang Raina kini bertambah kuat.

"What's wrong?"

Raina menggeleng-geleng cepat. "Nothing," sahutnya dengan kepala menoleh ke jendela samping mobil.

"Rain." Suara Radit berubah memperingatkan, membuat bola mata Raina seketika berputar.

"Gue lagi DB," Raina akhirnya menjawab setelah berdeham.

"DB?" Radit bertanya bingung. Sejurus kemudian ia melepas satu tangannya dari kemudi mobil, dan menyentuh kening Raina dengan punggung tangan. "Badan lo nggak panas."

"Bukan sakit demam berdarah maksud gue," Raina menggerutu seraya meraih tangan Radit itu dan menggenggamnya. "Biasa cewek," tukas Raina kemudian dengan pipi memerah. Kening sekali lagi berkerut menahan sakit.

"Ah, lo lagi datang bulan." Radit tertawa pelan. "Nggak usah malu gitu, Raina sayang. Gue udah biasa kok sama Ratih."

Raina hanya bersungut-sungut dengan bibir merengut. Seandainya saja stok obat penahan nyerinya sedang tidak habis, Raina pasti tidak akan perlu merasa kesakitan seperti ini. Sebelum Raina meminta Radit untuk mampir ke minimarket, Raina menyadari Radit ternyata sudah menghentikan mobil di depan tempat yang diinginkannya itu.

Radit menangkup belakang kepala Raina. "Tunggu gue di sini bentar, oke?" pinta Radit dengan tatapan lekat khas cowok itu padanya. "Gue beliin obat sama cokelat. Lo ada bawa air mineral dari rumah?"

Raina mengangguk. "Bawa kok," jawabnya dengan senyum terkulum lembut. Kehangatan manis membuncahi Raina karena perhatian dan kepekaan Radit tersebut. Lantas, seakan ada kebutuhan mengentak-entak dalam diri dan hatinya, jenis kebutuhan yang sangat sulit ditahan, Raina mengecup sebelah pipi Radit. "Thank you," bisik Raina setelah menjauhkan wajahnya yang memerah tipis.

Sejenak Radit hanya bergeming. Terlalu terpana. Lalu lambat-lambat, senyum menemani netra Radit yang berkilat bahagia. "Anything for you, Baby."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

High School Sweethearts (Ksatria Matahari dan Peri Hujan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang