Otto : Il Primo Incontro di Michelle e Damien

62 4 0
                                    

Venesia, Italia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Venesia, Italia. 2018.

Michella bersenandung, berjalan, sembari melompat-lompat layaknya anak kecil. Matanya berbinar senang, dengan senyum yang tidak luntur dari wajahnya. Cantik. Penggambaran Michella sangatlah sempurna.

Lalu, Damien berjalan pelan di belakang Michella. Memperhatikan setiap gerak yang gadis itu lakukan. Perubahan besar terlihat jelas di diri Michella.

Mulai dari pertemuan pertama mereka hingga kini, Michella melakukan perubahan besar. Dia beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya. Menutupi aib kelam yang sedari dulu hingga kini menghantuinya.

Sorot kosong Michella selalu mengingatkannya akan masa itu. Masa dimana dirinya bertemu dengan gadis itu.

Damien sudah tidak bisa merasakan sakit lagi saat tubuhnya mendapat luka dari sosok yang selalu mengikutinya. Rasa sakitnya sudah menjadi pelengkap dan bumbu manis dalam hidupnya.

Setiap hari hanya ada pukulan, cambukan, sayatan dan luka yang ia terima. Namun, selama beberapa tahun Damien menjalani hari-harinya seperti itu, dirinya sudah terbiasa akan luka yang ia terima setiap harinya. Bahkan saat luka sebelumnya belum pulih, luka baru ia terima begitu saja. Dan itu sudah terbiasa bagi Damien.

Ia bisa saja melawan atau kabur kala itu. Namun, lelaki itu selalu kembali menemukannya.

Dan sejak setahun setelah Damien dianiaya, sorot matanya berubah kosong. Tidak ada tangisan saat besatan cambuk menghantam tubuh ringkihnya. Perlahan rasa benci mulai tumbuh di hati Damien. Api kemarahan akan dendam menyeruak memenuhi rongga dadanya.

Hingga di pertengahan tahun 2005, dirinya di bawa ke Moscow. Di sana dirinya juga selalu mendapat siksaan. Usianya kala itu sudah mencapai 15 tahun. Untungnya, Damien memiliki tingkat kecerdasan yang luar biasa. Sehingga hanya dengan mengamati sesuatu di sekitarnya dia akan langsung paham tanpa penjelasan.

Luka-luka akibat cambukan juga sayatan menghiasi tubuhnya membekas dalam coretan abstrak permanen.

Saat itu di hari ke sepuluh dirinya berada di Moscow. Maks. Lelaki yang menyekap juga menyiksanya membawanya ke sebuah bar. Banyak lalu lalang manusia kotor yang membuat sesak di dada Damien semakin terasa.

Hingga setelah hampir dua jam lamanya Damien duduk di samping Maks yang sedang bermain kartu, dirinya merasa bosan. Damien berbicara pada Maks, "aku akan pergi ke toilet."

Maks menoleh sekilas, dia mengangguk. Namun, Maks meminta salah seorang bodyguard untuk mengikuti Damien.

Damien menghela nafas. Ia harus memikirkan cara kembali untuk bisa lepas dari rantai yang Maks ikat di lehernya.

Damien menyusuri lorong-lorong yang diterangi cahaya remang. Orang yang Maks suruh, masih mengikutinya di jarak tiga meter. Kakinya semakin masuk ke bagian belakang, mencari dimana tempat yang dia tuju.

Damien masuk kedalamnya. Ia mencuci wajahnya menghilangkan rasa kantuk yang menyerangnya. Tidak ada siapapun ditempat ini, namun suara tangis seseorang membuatnya waspada.

Hening, hanya suara tangis yang terdengar memilukan di telinganya. Damien pernah menangis seperti ini. Dulu. Lalu, langkahnya mendekati asal suara.

Suara tangis itu terdengar dari salah satu bilik yang tertutup rapat. Damien menempelkan telinganya ke daun pintu. Mendengar lebih jelas suara yang ada di dalamnya.

"Aku ingin pulang..... Ak-aku takut...."

Suara serak itu membuat Damien mengernyit tak suka. Lalu, suara itu kembali mengalun terdengar telinga Damien.

"Mama,,, Papa,,,, Kenapa ka-kalian membuangku?"

Damien semakin mengernyit tak suka. Lalu, ia mengetuk pintu itu pelan.

Suara tangisan terhenti bersamaan dengan suara ketukan terdengar. Damien tanpa berpikir panjang langsung bertanya.

"Siapa disana?"

Suara jeritan dan teriakkan tiba-tiba membuat Damien terkejut.

"JANGAN....!!!!!"

"AKU MOHON...... JANGAN SENTUH AKU......"

"TUAN.... TOLONG..... AMPUNI AKU....."

"JANGAN......"

"Aku takut....."

"PERGIIII!!!!"

"Tolong pergi...."

Damien kembali mengernyit tak suka kala teriakan itu semakin membuat hatinya resah. Tangannya tergerak memutar knop pintu yang ternyata tidak terkunci.

Lelaki berumur 15 tahun itu membuka pintunya secara perlahan. Sebelum melihat bagian dalamnya, Damien menoleh ke arah pintu masuk, dimana disana ternyata masih tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda orang yang akan masuk. Damien lalu membuka pintu itu lebar-lebar.

Terlihat seorang anak perempuan yang begitu menyedihkan. Teriakan itu berhenti saat Damien repot-repot membekap mulutnya, dan mengancam gadis itu.

"Diam! Atau kau akan mati." Damien kembali menengok ke arah pintu masuk toilet. Masih aman.

Di umurnya ini, Damien paham akan kenapa gadis ini terus menangis dan berteriak ketakutan. Trauma. Itu yang gadis itu rasakan. Damien pernah mengalami ini. Di bayang-bayangi rasa trauma akibat perusakan mental yang di alaminya bensr-benar menghantui. Sama seperti gadis ini.

Dilihat dari pakaian dan rambutnya yang tidak tertata rapi, juga wajah yang di penuhi lebam, tak lupa jejak-jejak merah yang menghiasi lehernya yang terbuka menunjukkan jika gadis itu mentalnya telah di rusak. Dengan dijadikan sebagai budak pemuas nafsu.

Damien iba? Tentu tidak! Hidupnya terlalu melelahkan untuk merasa iba terhadap orang lain. Rasa ibanya mati, saat dulu, tak seorangpun yang bisa menolongnya dari ketidakberdayaannya.

Namun, sebersit ingatan akan perlakuan seorang Maks Todor padanya, membuat dendamnya kian memenuhi rongga dadanya.

Lalu, pikiran liciknya merangkai sebuah rencana. Rencana yang membuat Damien dan gadis itu berada di satu pihak yang sama. Sekutu.

Pembaca yang baik mohon tinggalkan jejak:*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pembaca yang baik mohon tinggalkan jejak:*

Minggu, 12 Desember 2021

Ig : @distrypho

Salam Pho🎭

K A M U F L A S E (SLOW UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang