28

61 9 105
                                    

Hari ini Dinda membulatkan tekad untuk mengakhiri semua dilemanya. Ia tak butuh waktu lagi untuk berfikir, siapa yang harus ia pilih untuk mendapat pengabdiannya sebagai pasangan? ataupun berfikir siapa yang akan terluka akan keputusannya ini? karena ia tak akan memilih siapun diantara mereka. Biarlah mereka sama-sama terluka sampai waktu menyembuhkan luka mereka.

Sore ini ia sudah bersama Rizky di dalam mobil Rizky, menuju galeri Rizky. Sepanjang perjalanan Dinda hanya diam, bahkan cenderung mengabaikan Rizky. Saat tangan Rizky menggapai telapak tangannyapun Dinda menarik kembali tangannya.

Beruntung Rizky bisa menahan emosinya melihat perubahan Dinda hari ini. Dinda sudah tidak peduli, ia sendiri seperti terbakar dalam rumitnya benang merah ini. Apa yang akan ia katakan pada ayahnya saat bertemu di akhirat nanti? jika ia terlalu mempermainkan hati kedua putra sahabat ayahnya.

Keputusannya memang akan menyakiti hati kedua putra sahabat ayahnya, tapi setidaknya Dinda sudah mengakhiri perannya sebagai tokoh utama di antara takdir Imran dan Rizky, fikirnya. Dan Dinda yakin waktu akan mengobati luka yang ia torehkan di hati Imran maupun Rizky.

Dinda sudah membuka pintu mobil sebelum Rizky membukanya, lantas ia segera turun. Rizky meraih tangannya, namun lagi-lagi ditarik kembali oleh Dinda. Rizky masih sabar, hingga mereka tiba di ruang melukis, dan Dinda sudah duduk di sofa.

Rizky berjongkok di depan Dinda, tangannya mendekap tungkai kaki Dinda dan meraih telapak tangan Dinda untuk disatukan dalam tangkupannya di atas paha Dinda. " Ada apa lagi?" tanya Rizky, seolah jengah akan sikap Dinda yang selalu seperti ini saat bertemu, masih hitungan hari ia meyakinkan Dinda bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Mereka hanya sedang mengikuti kata hati mereka yang saling mencinta. Untuk takdir mereka yang terlarang jatuh cinta, biar sang takdir sendiri yang memutuskan. Selama mereka tidak egois dengan tidak menunjukkan cinta mereka di depan Imran dan orang-orang terdekat mereka, maka Imran tidak akan terluka, begitulah Rizky meyakinkan Dinda.

Namun hingga detik ini tampaknya Dinda masih merisaukan perasaan tulus mereka yang terlarang itu. " Apa kau masih ingin mempermasalahkan cinta tulus kita?" tanya Rizky saat Dinda masih bungkam. Dinda hanya menatap Rizky dengan guratan dilema di matanya.

"Kita masih bisa menjaga perasaan Kak Imran, meski kita menjalin cinta kita, Din. Bukan kita yang menginginkan cinta ini, tapi takdir yang menanamnya di hati kita, dan terus memupuknya!" ucap Rizky.

"Tapi takdirku bukan bersamamu, Mas! Aku tidak mau egois memikirkan perasanku saja, kau berhak bahagia bersama wanita lain!" Tak hanya mengkhawatirkan perasan Imran, memang Dinda kerap kali meminta Rizky untuk mencari pasangan lain.

"Hanya kau yang akan menjadi pasanganku!" tekan Rizky melepaskan tangan Dinda, dan bangkit dari berjongkoknya. Ia benar-benar tidak bisa menerima ucapan Dinda.

"Aku sudah menikah, Mas!" geram Dinda tertahan.

"Tapi kau mencintaiku!" tukas Rizky.

"Cinta saja tidak cukup untuk menjalani hubungan!" Dinda masih mendebat.

"Percayalah, Din ... kita akan menemukan jalan keluar dari semuanya ... ini belum berakhir." Rizkypun masih teguh akan pendiriannya. Ia kembali berjongkok menggenggam erat telapak tangan Dinda, seraya menatap Dinda penuh cinta dan penolakan atas perpisahan.

"Ini bahkan tidak pernah bermula! Sejak awal aku sudah milik kakakmu. Jika aku berpisah dengannya bukan karena kau, aku tidak ingin merusak persaudaraan kalian, Mas!" ucap Dinda.

"Aku yakin Tuhan memiliki rahasia, kenapa menciptakan takdir kita seperti ini? dan aku yakin takdir itu pasti selalu baik. Bersabarlah, sampai takdir benar-benar menyingkap tabirnya!" saut Rizky.

Mengikuti TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang