Jeno mengucek rambutnya yang sudah disisir rapi. Ia sudah melompat keluar dari pintu mobil yang terbuka tanpa menunggu Julian membukakan pintu untuknya. Ia sudah bukan anak-anak lagi, jadi Julian tak perlu membukakan pintu dan mengambilkan tasnya. Ia sedang mencoba membujuk Papa agar mengizinkannya menyetir sendiri. Ia iri melihat Yuta, Jaehyun, Ten, dan bahkan Mark sudah bisa menyetir sendiri ke sekolah.
"Renjun!" ia melihat punggung yang dihafalnya begitu mencapai setengah perjalanan ke aula depan.
Tak ada yang pernah repot-repot mengingat luas St. Eredith. Semua siswa takkan lupa hari pertama mereka melalui gerbang utama, mengitari air mancur yang dikelilingi drop off zone berwarna putih pualam, yang mengantarkan mereka berjalan hampir seratus meter ke aula depan mereka. Setelah melewati aula depan dengan puluhan pilar, barulah mereka dihantarkan ke halaman rumput yang teduh dengan pepohonan dan kursi taman. Kemudian berturut-turut gedung-gedung berisi ruang kelas, laboratorium, sasana olahraga, dan lain sebagainya. Belum lagi halaman hijau sejauh mata memandang hingga terantuk pagar batu setinggi nyaris 20 meter.
Hal ini membuat St. Eredith punya dunianya sendiri, yakni tempat para putra-putri keluarga konglomerat ternama dibesarkan dengan berbagai materi yang disesuaikan: khusus dari permintaan perwakilan keluarga setiap pertemuan tahun ajaran baru. Umumnya tak banyak berubah, antara keterampilan berkuda, mencicipi wine, memanah, kriket, dan tata ruang.
Oleh sebab itu, Renjun yang selama ini belajar di rumah tak pernah kesulitan untuk mengejar teman-temannya yang sudah bersekolah sejak dulu. Ia mahir menyesuaikan diri dan mengendalikan keadaan, membuatnya menduduki jabatan pretensius sebagai ketua OSIS. Lagipula, sebelum ia masuk St. Eredith, tentu semua sudah tahu anak sulung keluarga Huang yang ternama (obrolan tentang bagaimana Renjun sukses mengalahkan putra mahkota sebuah kerajaan Eropa dalam permainan bridge di suatu pesta perjamuan masih sering terdengar di ruang loker).
"Renjun!" kali ini Jeno setengah berlari, lalu dirangkulnya bahu temannya itu.
"Jeno," balas Renjun sejenak, sebelum kembali menatap pemandangan di depannya. Jeno mengikuti arah pandang lelaki itu dan mendapati sosok yang tak asing tengah bercumbu dengan seorang gadis.
"Ayo," ajak Renjun. Ia dan Jeno mendekati pasangan yang tampaknya sedang dimabuk asmara itu. Jaemin! Batin Jeno meski ia tak bisa melihat seluruh wajah Jaemin karena gadis itu seolah tengah melahapnya dengan tangan di rambut lelaki itu.
"Jaemin. Ini masih pagi. Berhenti. Chel, masukkan seragammu. Kamu nggak boleh mengeluarkannya begitu saja untuk menunjukkan seolah kalian baru saja bercinta," Renjun menepuk bahu Jaemin, lantas membubarkan adegan mesra itu.
"Peduli apa kamu?" balas Chelsea sengit. Gadis itu masih mengalungkan tangannya di leher Jaemin.
Jaemin tampak tenang, mengusap bibirnya lalu melepaskan tangan Chelsea. "Lets not make a scene. See you after class."
Chelsea pun terpaksa mengangguk, memutuskan berjalan lebih dulu sambil bersungut-sungut merapikan seragamnya, meninggalkan Jaemin, Renjun, dan Jeno.
"Renjun, nggak ada yang bisa menyampaikan betapa aku bersyukur–" belum juga Jaemin selesai berkata-kata, Renjun melangkah lebih dulu sambil menghela napas.
"Lihat, dia ngambek begitu. Padahal aku nggak salah. Ya, kan, Jeno?" Jaemin beralih pada Jeno.
"Well, mungkin memang kamu menarik perhatian," Jeno melirik rambut blonde Jaemin. Keduanya pun melangkah bersama untuk pertama kali.
"Nggak ada yang berani melihat. Barangkali kamu memang terlalu cuek, yang tadi itu Chelsea Arielo. Siapapun yang berani melihat, akan langsung disembur olehnya," Jaemin geleng-geleng kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diamond Cut Diamond | NOMIN
Fiksi PenggemarNa Jaemin adalah putra dari keluarga Na yang kaya raya. Namun ia punya rahasia yang tidak ingin ia bagi kepada siapapun, terutama Lee Jeno. Dengan teman-teman mereka; Mark Lee, Renjun Huang, Haechan Lee, Chenle Zhong, Jisung Park, dan yang lainnya...