Dia Adalah Seorang Pendeta

18 7 0
                                    

Ichiya menekuk wajah. Bangunan kuno yang dikelilingi tanaman rambat terawat sama sekali berbeda dengan kebanyakan sekolah di kotanya.

Tidak ada pagar besi kokoh. Tidak ada kegaduhan anak-anak yang biasa terdengar ketika memasuki kawasan sekolah dasar. Tidak ada aroma makanan ringan; biskuit cokelat, 𝘴𝘯𝘢𝘤𝘬 cokelat, 𝘴𝘯𝘢𝘤𝘬 bertabur gurihnya keju dan bumbu jagung, segala 𝘴𝘯𝘢𝘤𝘬 dan kerenyahan biskuit yang selalu meninggalkan bau khas di udara saat orang-orang melintas.

Sejauh tertangkap retina, keadaan di sini terlalu tenang. Kelewat tenang sampai-sampai Ichiya berpikir bahwa tempat ini adalah bangsal anak-anak nakal. Dia tidak mengakui dirinya nakal. Dia hanya menduga-duga, mengingat-ingat fakta bagaimana orang tuanya menjadi lebih berang beberapa hari belakangan.

Ichiya ingin bertanya, tetapi dua koper besar menghalangi pandangan. Obrolan orang tua (obrolan ayah dan ibu; obrolan yang selalu diawali perdebatan dan diakhiri teriakan) kini telah mencapai puncak. Kerutan di dahi sang ayah bertambah banyak ketika diharuskan membawa koper-koper tersebut.

"Aku tidak mau meributkan masalah ini lagi, Carl. Aku muak."

Wanita sipit, berambut lurus, dan berjaket cokelat (jaket tipis berbulu lembut, jaket yang biasa ditemui di balik kaca toko-toko kalangan atas─jaket yang lebih sering dibanggakan soal harganya daripada fungsinya) mengeratkan genggaman pada Ichiya seolah dia adalah peredam emosi paling ampuh di setiap pertengkaran yang terjadi. Seperti anjing berkalung tali, dia diseret paksa membelah jalanan berkerikil. Pot-pot bunga berjajar di kanan dan kiri. Jaraknya lumayan berjauhan, tetapi cukup untuk menuntun mereka menuju pintu kayu berkualitas tinggi.

Deretan bangku-bangku panjang menjejali nyaris seisi ruangan. Pilar-pilar seputih tulang menopang langit-langit menjulang. Lampu antik menggantung tenang, berkilau-kilau tertimpa sinar matahari yang menembus kaca mozaik warna-warni dari puncak dinding paling belakang. Lantai bersih dan mengilap mengalasi setiap langkah yang menggema─berdecit-decit kala Ichiya menggesekkan sepatu dengan sengaja.

Namun, bukan kepala sekolah gendut berkacamata, tapi seorang pendeta tua lah yang menyambut kedatangan mereka. Toga hitam dipadu 𝘤𝘰𝘭𝘭𝘢𝘳 putih melekat apik membungkus tubuh bungkuknya. Walaupun tampak ringkih, Ichiya bersumpah bahwa kaki si pendeta berpijak sekuat laki-laki remaja.

"Maaf. Kami mengalami kendala di perjalanan."

Bagi Ichiya, menyaksikan orang tuanya bersikap sopan merupakan pemandangan terburuk sepanjang sejarah. Ichiya tidak peduli. Ichiya pura-pura bisu dan tuli; mengunci mulut saat ditanya serta memalingkan muka ke sembarang arah.

"Dia Ichiya Kumagai, putra kami. Usianya menginjak sepuluh tahun. Mohon jaga dan rawat Ichiya sebaik mungkin."

Sekarang, tujuan mereka sudah jelas.

ΕλπίδαTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang