Angin malam berhembus sedikit kencang. Membuat kerudung coklat susu milik gadis itu beterbangan. Di sampingnya, seorang lelaki mengenakan sarung dan baju koko putih. Ia berjalan menuntun sepeda onthel.
Keduanya berjalan beriringan di tengah ramainya jamaah maulid yang sama-sama hendak pulang.
"Senangkah, kuajak hadir maulid?" Tanya lelaki itu pada gadis di sampingnya.
Gadis itu menyipitkan mata sembari tersenyum simpul. "Senang."
"Setiap tahun hadir?"
"Maulid?"
"Iya."
"3 tahun terakhir tidak pernah hadir."
"Mengapa?"
"Ada uzur."
Lelaki itu menganggukkan kepalanya. "Sudah seharusnya semua umat muslim senang menanyamput bulan Rabiul Awal. Sebab di bulan itu Nabi kita Nabi Muhamman SAW lahir."
Gadis itu mengerutkan dahi. "Kamu... Lulusan pesantren kah?"
Lelaki itu terkekeh. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu, Rin?"
Gadis itu, Rin. Arini namanya.
"Tidak, tidak. Btw, unik ya maulid di sini."
"Unik?"
"Iya. Menggunakan metode budaya wayang untuk berceramah."
Lelaki itu tertawa ringan. "Mengapa banyak orang heran dan menganggap wayang sebagai hal baru? Padahal kan, sejak dulu wayang sudah menjadi sarana penyebaran islam oleh Sunan Kalijaga. Mengapa banyak orang heran?"
Rin menghentikan langkah kemudian menatap lelaki di sampingnya. Merasa ditatap, ia menghentikan langkah dan balik menatap Rin.
"Ada apa, Nona?" Tanyanya.
"Aku mulai curiga kalau-kalau kamu benar lulusan pesantren."
"Cah ayu, ya Allah gusti. Hahaha."
Rin mengerutkan dahi ketika jawaban lelaki di sampingnya di luar ekspetasi Rin. Lelaki itu berlalu, dan Rin mengejarnya untuk menyamakan langkah.
"Mau ke mana?"
Lelaki itu menarik Rin untuk lebih dekat dengannya. "Awas, banyak motor ugal-ugalan."
Rin menoleh untuk berhati-hati. "Mau ke mana kita, Ju?"
"Ke angkringan saudaraku."
"Sepupu kah?"
"Sedulur se-Adam." Jawabnya sambil terkekeh.
Rin memukul bahunya pelan. Lelaki itu, Arjuna. Kaka tingkat yang baru satu minggu Rin kenal karena terlibat event kampus bersama. Keduanya sama-sama berada di prodi seni rupa.
Rin berjalan agak lambat, membiarkan Arju berada di depannya. Dari belakang, Rin terkagum melihat Arju yang sangat berbeda. Arju si pecinta kemeja dan celana belel dengan rambut panjang sepunggungnya yang biasanya ia kepang, tiba-tiba berubah menjadi sosok Arju dengan baju koko dan sarung putih dan peci hitam.
Rapi dan menakjubkan.
Rin masih tidak percaya. Arju, si playboy anak seni rupa kini sedang bersamanya. Sejak pertama bertemu, lelaki itu memang menarik perhatian Rin.
Menyadari Rin tidak ada di sampingnya, Arju berhenti dan menoleh kanan-kiri. Mencari Rin. Dari belakang, Rin menepuk bahu Arju.
"Nyari opo ta?"
Arju menghela napas lega. "Nyari kamu to! Ke mana saja?"
"Dari tadi di belakangmu."
Arju menggenggam tangan Rin. "Sudah, di sampingku saja, Arini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan menangis, Rin
ChickLitSebagian perempuan menangis karena lukanya menyakitkan, dan sebagian lainnya menangis karena lukanya terlalu dalam. Maka, Rin, tertawalah. Lukamu begitu dalam. Jangan menangis, Rin.