•Maaf•

0 3 0
                                    

Begitu sulit terucap. Sering terkalah akibat gengsi yang dijunjung tinggi. Inilah kataku.

Budaya tolong, maaf, dan terima kasih yang seakan telah luntur. Begitu malunya mengucap seakan kata yang diharamkan untuk diucap.

Tentang generasi muda yang tak lagi sama. Bisakah kita menerapkan kembali? Tak perlu menyerukan dengan keras, mengajak melakukan. Cukup mulai dengan diri sendiri. Membiasakan pada diri. Cukup mencontohkan, orang akan segan untuk mendebatkan.

"Gitu aja baper. Itu biasa aja kali. Ga gaul banget."
Mungkin kamu bisa mengucap kata kasar dengan yang sesama tau bahwa itu candaan. Begitu saja tetap ada batas. Tapi tetap saja hal itu tidak dapat di pukul rata. Disamakan untuk semua orang. Yang tak kamu tau dimana titik lemahnya.

Apakah sulit untuk meminta maaf? Sebenarnya mudah. Hanya egomu saja yang terlalu tinggi. Tak mau mengalah dan mengakui bahwa dirimu salah. Bukankah itu pengecut? Basi sekali jokesmu.

Miris rasanya. Melihat, mendengar dan mengamati yang demikian. Berseru pun percuma. Cukup menjaga diri agar tak menjadi pribadi yang sama dengan mereka. Dan, dengan kutulis. Siapa tau, mereka yang sering berucap demikian juga membaca tulisanku.

Maaf memang terlihat sepele. Tapi bukan berarti hal yang patut untuk di sepelekan. Sebuah ucapan yang menyakitkan, akan lebih tajam dari pada pisau yang telah diasah. Menembus dan membekas. Apa kamu bisa menghilangkan luka yang membekas itu? Tentu saja tidak. Lalu bagaimana mungkin kamu dengan bangga berkata "baperan". Begitu menjijikkan sekali kata tersebut jika diucapkan.

Begitu berapi jika mengingat. Itu salah dan tak pantas jika sampai menjadi budaya. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Sungguh ironis. Bisakah kita mulai untuk berubah? Seperti yang kuucapkan. Kita mulai saja dari diri kita sendiri. Tak perlu menyerukan dengan keras jika percuma. Cukup terapkan pada diri. Jika sudah, cukup mengajak orang terdekatmu melakukan hal itu. Bukankah hanya itu yang kita mampu?

Kita hanya memiliki dua tangan, dua telinga, dua mata, dan dua kaki. Kaki untuk berjalan. Mata untuk melihat. Telinga untuk mendengar. Namun cukup mendengar yang baik. Yang membangun dirimu untuk menjadi lebih baik. Dan juga dua tangan. Yang mampu menutup telingamu jika terlalu banyak kata yang tak perlu kamu dengarkan. Kita tidak akan mampu menutup semua mulut tapi kita mampu menutup telinga kita.

Begitu panjang jika kuteruskan. Sudahlah cukup. Mari ucapkan maaf jika memang salah. Ucapkan maaf jika dirasa menyakiti. Tak perlu menghakimi. Cukup kesadaran diri. Jika tak sadar, ya sudah. Mau bagaimana? Memang sudah tak memiliki kesadaran. Disadarkan juga masih buta. Biarkan saja berproses hingga sadar kembali.

Aku tidak memaksa kalian untuk setuju dengan semua yang kutulis. Wajar. Cukup mengambil hal positif dari yang ku tulis. Semua tentang sudut pandang ku yang wajar jika tak sama denganmu. Karna semua, hanyalah kataku.




Terima kasih banyak yang sudah membaca karyaku. Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komen untuk menambah semangat. Share juga ke teman kalian yang mungkin akan menyukai tulisanku. Terima kasih banyak sudah mampir. Tak menyangka rasanya tulisan ini akan dibaca. Salam sayang dari aku untuk kalian❤️

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang